Khilafah Itu Ajaran Islam, Lalu Mengapa Menolak Ajaran Islam?
Oleh: Iwan Januar
Ada yang janggal dalam pernyataan sikap sejumlah orang yang tergabung dalam Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Kota Semarang dan Siswa-Siswi Rohani Islam (Rohis) SMA-SMK se-Kota Semarang berkumpul pada Sabtu (16/3). Mereka beramai-ramai menyerukan dua hal; pertama, mendukung penuh kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Kedua, menolak sistem negara khilafah di Indonesia.
Saya akan mengomentari dulu sikap yang kedua, soal khilafah. Pertama soal epistemilogi khilafah; Apakah para guru agama Islam yang ikut dalam deklarasi itu tahu kalau khilafah Islamiyyah adalah bagian dari ajaran Islam? Apakah para guru agama Islam itu pernah membaca berbagai pendapat para ulama ahlussunnah wal jamaah tentang khilafah Islamiyyah? Apakah para guru agama Islam itu sepakat bahwa setiap muslim wajib melaksanakan ajaran Islam mulai dari bersuci sampai ekonomi, politik dan pemerintahan? Bolehkah seorang muslim mengabaikan satu ajaran Islam dan memilih ajaran Islam yang lain? Bila tidak boleh, maka bagaimanakah cara melaksanakan ajaran Islam itu secara keseluruhan?
Lalu kedua, soal sejarah hubungan Nusantara dengan Khilafah Islamiyyah; tahukah para guru itu bahwa Nusantara berutang budi pada Khilafah Islamiyyah, mulai dari penyebaran agama Islam sampai membantu perjuangan melawan penjajah? Bahwa walisongo adalah para dai utusan Khilafah Islamiyyah? Benarkah para ulama Nusantara tidak pernah punya cita-cita menegakkan Khilafah Islamiyyah pasca keruntuhannya di bulan Maret 1924? Bahwa pada 24-27 Desember 1924 terbentuk sebuah komite yang diketuai Wondo Soedirjo dengan wakil KH Abdul Wahab ini mengadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres yang dihadiri oleh ribuan umat Islam termasuk ulama dan tokoh pergerakan ini menyetujui mandat tersebut. Dengan seiya sekata para peserta kongres menyatakan wajib terlibat dalam perjuangan khilafah. Tahukah mereka semua itu?
Bila ada pihak yang mengatakan bahwa sistem republik dan demokrasi yang sekarang berlaku adalah hasil ijtihad para ulama, maka tahukah para guru agama bahwa ijtihad tidak bisa membatalkan hukum syara’ yang telah jelas dan fix? Misalnya haramnya riba tak bisa dibatalkan dengan ijtihad bahwa bunga bank bukanlah riba tapi kompensasi bagi nasabah?
Sampai disini secara pribadi, saya menyayangkan masih ada guru – terutama guru agama – yang lemah dalam budaya literasi. Malas mencari referensi, misalnya tentang khilafah yang mereka tolak, sehingga akhirnya mudah digiring dan atau menggiring orang untuk membenci sesuatu yang belum mereka pahami.
Tepatlah pepatah Arab yang menyatakan;
الانسان عدو ما يجهل
Manusia memusuhi apa yang tidak ia ketahui
Saya berprasangka baik saja bila mereka hanyalah ‘korban’ yang digiring pada sikap tidak terpuji dengan pola ditakut-takuti ‘Islam sebagai ancaman’. Bahwa khilafah dan Syariat Islam itu berbahaya bagi bangsa ini, menyebabkan perpecahan, mengancam warga nonmuslim, dsb. Persis isi video kampanye pendukung salah satu pasangan capres-cawapres yang menipu jamaahnya dengan mengancam kalau sampai jagoannya kalah maka pesantren hanya tinggal fosil, tahlilan terlarang dan Hari Santri dihapuskan. Jelas ini hoax, tapi pola macam itulah yang sekarang gencar dipraktekkan. Ini pembodohan, tapi keterlaluan bila kemudian orang percaya begitu saja dengan omongan seperti itu. Termasuk amat keterlaluan bila seorang muslim, apalagi tenaga pendidik yang harusnya berpikir ilmiah, percaya bila khilafah yang merupakan ajaran Islam adalah ancaman dan buruk bagi umat Muslim di Indonesia. Sementara Allah SWT. berfirman:
Tidaklah kami turunkan al-Qur’an untuk menyusahkan (TQS. Thaha:2)
Deklarasi penolakan khilafah – yang sesungguhnya ajaran Islam – adalah sikap kontradiksi dan kontraproduktif dengan misi pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadikan para siswa muslim taat sepenuhnya pada Allah SWT. Lebih-lebih lagi, deklarasi itu berbahaya karena berisi penolakan pada salah satu ajaran Islam, yang oleh para ulama disebut sebagai taj al-furudl (mahkota kewajiban) dan min a’dzom al-wajibat (kewajiban yang paling agung). Bukankah seorang muslim menolak shaum Ramadlan saja berdosa, menolak kewajiban shalat lima waktu juga berdosa?
Bila para guru agama itu belum seutuhnya memahami hukum fikih dan sejarah Khilafah, maka lebih mulia dan tepat bila para guru dan siswa bersama-sama mendeklarasikan penentangan terhadap sesuatu yang amat jelas untuk ditolak karena berbahaya, semisal menolak pemimpin pendusta, pemimpin yang menjual aset negara, pemimpin yang tidak adil, pemimpin yang tidak berpihak pada umat Muslim. Para guru agama itu bisa memberikan contoh buruk seorang pemimpin diantaranya membiarkan penistaan agama berulang kali terjadi, sehingga patut ditolak pemimpin macam begitu. Atau pemimpin yang tidak menghargai guru, yang justru ‘melarikan diri’ pada saat para guru datang meminta pertolongan, maka sampaikan pada publik bahwa pemimpin seperti itu tidak pantas dipilih kembali.
Sebagai penutup, saya mengajak para guru agama untuk bersama-sama menghidupkan budaya literasi, gemar membaca, berdiskusi secara ilmiah, lalu munculkan ketundukan pada ajaran Islam yang telah dibahas jelas oleh para ulama mu’tabar, bukan pada ulama dunia yang menjual agama untuk mendapat jatah hidup.
Lalu bagaimana soal deklarasi dukungan pada paslon 01/Jokowi? Ah, saya malas berkomentar. Setahu saya ASN, termasuk para guru agama sekolah negeri, bukankah terlarang berkampanye? Lagipula, lebih positif bila guru-guru agama berdeklarasi pembersihan Kementerian Agama dari praktek KKN dan jual beli jabatan. Menurut saya itu momennya lebih tepat. Itupun bila para guru agama masih cinta agama dan cinta negeri ini, dan bukan cinta jabatan.[]