Menyoal Isu Pasukan Buzzer Polisi Dukung Jokowi…
Oleh: Agung Wisnu (Stafsus Indonesia Justice Monitor)
Gempar! Akun Twitter anonym @Opposite6890 mengunggah video dengan narasi ‘polisi membentuk tim buzzer 100 orang per polres di seluruh Indonesia yang terorganisir dari polres hingga mabes’. Akun itu menyebut ada akun induk buzzer polisi bernama ‘Alumni Sambhar’ yang beralamat di Mabes Polri.
Menyikapi persoalan ini, sebagaimana dikutip dari detik.com (5/3/2019) Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyatakan apa yang di-posting @Opposite6890 tidak benar. “Tidak benar,” tegas Dedi saat dimintai konfirmasi detikcom di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (5/3/2019). Dikabarkan, pihak kepolisian akan menyelidiki penyebar informasi tersebut dan akan berkoordinasi dengan Direktorat Siber Bareskrim Polri.
Sebagaimana kabar yang berseliweran di medsos, bahwa akun Instagram @AlumniShambar juga disebut mem-follow hanya satu akun, yaitu akun Instagram milik Presiden Joko Widodo, sehingga polisi dianggap tidak netral karena mendukung calon presiden petahana. Jika berita dari akun @Opposite6890 benar, saya jadi teringat yel-yel yang belakangan viral: “Tugasmu mengayomi… tugasmu mengayomi… pak polisi, pak polisi, jangan ikut kompetisi.”
Terlepas dari hal di atas, sejumlah kalangan menilai, ketika legitimasi pemerintah kuat, berita palsu tidak mudah beredar. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengeksploitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal ‘hoax’ adalah krisis legitimasi di otoritas.
Penilaian kegagapan sistem informasi pemerintah inilah yang menjadi kesempatan timbulnya hoax, sehingga pemerintah harus cukup beradab untuk mengerti bahwa peredaran lalu lintas informasi membutuhkan filter pertama, yaitu kecerdasan publik. Dan kecerdasan publik itu bukan urusan pemerintah untuk mengatur. Melawan hoax dengan mengontrol informasi memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. Hal ini dianggap buruk, bahwa negara menjadi penjamin kebenaran. Pasalnya ada banyak pemerintah di banyak negara rajin melakukan rekayasa informasi untuk menjaga legitimasinya.
Di satu sisi, masyarakat juga bosan dengan janji-janji saat Pemilu yang tidak ditepati. Ada banyak usulan, jika aparat ingin berantas hoax ini, janji-janji palsu tersebut perlu diberantas. Janji-janji Pemilu yang diabaikan tak kalah merugikan, konstruksinya sama dengan penipuan 378 KUHP, tapi dengan korban yang massif dan kerugian yang ekstrim. Wallahu a’lam.[]