Tolak Pengesahan RUU P-KS!

 Tolak Pengesahan RUU P-KS!

Oleh: Endah Sulistiowati (Direktur Muslimah Voice)

Dianggap tidak mengawal dan melindungi agama dan keadaban, sejumlah protes dan kritik disampaikan banyak pihak terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Secara filosofis, sosiologis dan yuridis RUU ini dianggap berpotensi besar melegalkan pelanggaran Syariah Islam dan moral masyarakat yang dilakukan secara sukarela. Yaitu berpotensi melegalkan perzinaan, berpotensi melegalkan aborsi, dan penyimpangan-penyimpangan seksual lainnya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diwaspadai karena dinilai sarat dengan konsep Barat yang liberal.

Segores Noda

Banyak kasus pemerkosaan terjadi karena korban masuk perangkap pelaku; diajak jalan atau bertemu di suatu tempat untuk kemudian dicabuli. Semua itu sulit terjadi seandainya kaum wanita menjaga diri untuk tidak bercampur baur atau bepergian dengan laki-laki secara bebas.

Di sisi lain, tak sedikit perempuan berpakaian minim yang mengumbar aurat, sensualitas bahkan erotisme di muka umum. Disadari atau tidak, hal itu berpeluang mengundang kejahatan seksual paling tidak membangkitkan nafsu syahwat. Sering terjadinya kasus perkosaan dikarenakan dua hal; kaum wanita keluar rumah dengan pakaian minim, dan makin banyaknya lelaki berperilaku menyimpang.

Jika di negeri ini wanita begitu bebas berbusana minim dan mengumbar sensualitas bahkan erotisme, tak heran semakin banyaknya kejahatan seksual menandakan semakin banyak pria berperilaku menyimpang. Mereka tidak lagi punya rasa hormat kepada kaum wanita. Bagi mereka kaum perempuan hanyalah makhluk lemah dan obyek pelampiasan hawa nafsu yang bisa ditindas.  Hal itu seakan melengkapi anggapan dan perlakuan dunia bisnis yang memperlakukan perempuan layaknya obyek bisnis atau pemanis barang dagangan.

Faktor lemahnya hukum turut memicu kian derasnya kejahatan kelamin ini. Hukuman bagi pelaku yang ada dinilai banyak kalangan tidak memberikan efek jera dan melindungi kaum wanita. Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual, pencabulan atau perkosaan begitu ringan, tidak punya efek jera.

Semua itu jadi bukti, sekulerisme demokrasi dengan sistem dan hukum produk manusianya, tak berdaya membangun masyarakat yang bersih, berakhlak mulia dan menjunjung nilai-nilai luhur. Sistem saat ini justru menjadi bagian dari pemicu dan sebab mendasar berbagai kejahatan yang terjadi itu.

Kembali menyoal RUU PKS, diantara pasal-pasal yangdianggap berbahaya dalam RUU PKS :

Pasal 5

(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya.

(2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi; a. Pelecehan seksual, b. Kontrol seksual , c. Perkosaan, d. Eksploitasi seksual,  e. Penyiksaan seksual, dan f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran

(3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh dan seksualitas atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan

Pasal 6

(1) Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang.

(2) Bentuk-bentuk tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat  2) huruf a meliputi: a. Pelecehan fisik; b. Pelecehan lisan; c. Pelecehan isyarat; d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan e. Pelecehan psikologis atau emosional

Pasal 7

(1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.

(2) Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; b. Pemaksaan kehamilan; c. Pemaksaan aborsi;d. Pemaksaan sterilisasi; dan e. Pemaksaan perkawinan.

Pasal 8

(1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya.

(2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.

Sorotan Kritis

Frasa kontrol seksual  pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini.

Kebebasan seksual ini makin nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT.

Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu;  Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana.

Seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya. Perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk kontrol seksual. Para perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim,  karena itu dianggap hak yang dilindungi undang-undang. Artinya tidak boleh ada pihak manapun, yang melakukan kontrol seksual, termasuk orang tua yang memerintahkan anaknya menutup aurat.

Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan.

Walhasil, jika UU P-KS ini disahkan, justru  yang melakukan pelarangan akan mendapat delik hukum karena melakukan kontrol seksual pada orang lain.

Syariah Islam Solusinya

Hari ini kita diuji sistem dan UU yang banyak tidak berpihak pada kemaslahatan umat. Kejahatan seksual niscaya tidak akan terjadi seandainya masyarakat memiliki ketakwaan yang kuat. Seorang muslim yang bertakwa akan tidak berani melakukan penganiayaan kepada orang lain, apalagi kepada kaum wanita.  Dia yakin bahwa perbuatan jahat sekecil apapun tetap akan dihisab dan dibalas oleh Allah SWT. Maka, sekalipun ada peluang melakukan kejahatan seorang yang bertakwa tidak akan mau melakukannya.

Ketakwaan itu akan membuat kaum muslimin memandang wanita sebagai insan yang setara dengan pria. Bukan sebagai komoditi yang bisa dieksploitasi sebagaimana pandangan ajaran kapitalisme liberalisme. Dengan pandangan yang dilandasi takwa maka interaksi antara pria dan wanita akan berjalan harmonis dan saling memelihara kemuliaan.

Selain itu, aksi kejahatan seksual juga tidak akan meruyak seandainya sistem pergaulan Islam diberlakukan. Dalam pergaulan Islam, laki-laki diperintahkan untuk menundukkan pandangan dari memandang aurat perempuan dan untuk menjaga kemaluan.

Katakanlah kepada mukmin laki-laki: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” (TQS. an-Nûr [24]: 30).

Di sisi lain, para muslimah diperintahkan untuk berpakaian menutup aurat dan tidak menampakkan aurat mereka kepada laki-laki yang selain mahram (QS an-Nur [24]: 31).  Begitupun ketika keluar rumah, para wanita diperintahkan selain mengenakan kerudung juga mengenakan jilbab yakni semacam baju kurung atau jubah di luar pakaian rumahan mereka (QS al-Ahzab [33]: 59).  Selain itu Islam juga melarang perempuan berkhalwat (berduaan) dengan laki-laki dan melarangnya bepergian kecuali ia disertai mahramnya. Rasul bersabda:

Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama perempuan itu mahram (HR al-Bukhari)

Islam makin menutup celah kejahatan seksual dengan melarang ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan.  Kehidupan laki-laki dengan perempuan pada dasarnya terpisah, kecuali pertemuan dan interaksi yang dibenarkan oleh syariah seperti dalam rangka muamalah, urusan medis, pendidikan, dsb.  Maka di dalam Islam tidak akan dijumpai pria dan wanita berbaur di kafe, bar, night club, di kolam renang, dsb.

Negara juga berkewajiban untuk menjaga dan menertibkan pergaulan laki-laki dan perempuan agar tidak bercampur baur. Pada masa Nabi SAW. Laki-laki dan perempuan dipisahkan baik pada shalat berjamaah maupun ketika mereka pulang ke rumah. Ummu Salamah ra. menceritakan: “Di masa Rasulullah saw, para wanita yang ikut shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah SAW dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka untuk waktu yang Allah kehendaki. Bila Rasulullah SAW bangkit, bangkit pula para laki-laki tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 866, 870).

Islam tegas melarang apa saja yang mendekatkan kepada zina.  Untuk itu negara harus melarang semua faktor yang bisa memicu dan mendorong ke arah sana, seperti konten pornografi dan pornoaksi.  Negara juga diwajibkan untuk membina keimanan dan ketakwaan masyarakat termasuk mengajarkan hukum-hukum syariah kepada mereka.

Terakhir, Islam menjatuhkan sanksi hukum yang tegas yang bisa mencegah kejahatan dan memberi efek jera. Abdurrahman al-Malikiy di dalam Nizhâm al-Uqûbât menuliskan bahwa pelaku pelecehan atau pencabulan bila tidak sampai memerkosa korbannya maka akan dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Tetapi bila memerkosa, maka pelakunya dijilid 100 kali jika ghayru mukhshan -belum pernah menikah- (QS an-Nur [24]: 2); dan dirajam hingga mati jika pelakunya mukhshan (sudah pernah menikah). Jika disertai kekerasan, maka atas tindakan kekerasan itu juga dijatuhkan sanksi tersendiri sesuai hukum syara’.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *