Media Mainstream Bumper Petahana, Ironi Akut Hari Pers Nasional 2019
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA, Relawan Opini dan Media)
Hari Pers Nasional (HPN) 2019 baru saja kita lewati. Tepatnya tanggal 9 Februari lalu, puncak peringatan Hari Pers Nasional digelar di Surabaya, Jawa Timur. Presiden Jokowi yang hadir dalam acara tersebut berpesan agar media terus mengedukasi masyarakat, memberitakan informasi dan kritik yang membangun, serta dapat menjadi penjernih atau penyaring informasi, di tengah gencarnya informasi bohong yang beredar di dunia maya.
Namun demikian, kondisi di lapangan seringkali berbeda dengan indahnya pernyataan kepala negara. Di antara realitanya, telah masyhur di tengah-tengah masyarakat, betapa sangat mudahnya sebuah media massa beredar. Meski telah memasuki era digital, nyatanya tak dapat dipungkiri kemudahan peredaran suatu media cetak. Sekalipun media tersebut sangat mungkin bersifat abal-abal. Dalam arti, bukan menjadi media percerdasan masyarakat. Melainkan media provokatif, terlebih di tengah panasnya tahun politik seperti saat ini. Sebut saja contohnya tabloid “Indonesia Barokah” dan tandingannya, “Pembawa Pesan”. Yang mana kasus serupa pernah terjadi pada 2014 lalu, dengan terbitnya tabloid “Obor Rakyat” yang dianggap mencemarkan nama Presiden Jokowi.
Tak hanya media-media cetak semacam ini, publik juga sudah paham ketika menyaksikan sepak terjang media-media elektronik nasional. Diakui atau tidak, media-media ini sedikit banyak justru telah menjadi corong petahana yang kiranya banyak menerbitkan kebijakan-kebijakan nyleneh, berikut revisi dadakan termasuk tarik ulurnya.
Sungguh ini adalah ironi akut. Ketika bangsa ini tengah memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2019 pada 6-9 Februari 2019 ini, ternyata diiringi arus yang kurang mencerdaskan, bahkan isinya cenderung provokatif, dari media-media mainstream.
Tentu dapat dimaklumi jika kehadiran sebuah media sejalan dengan visi-misi pers pada umumnya. Yaitu dalam rangka menyajikan informasi sesuai dengan peristiwa yang terjadi atau berisi gagasan-gagasan yang mencerdaskan. Tapi jauh berbeda dampaknya ketika suatu media disesatkan menjadi instrumen saling serang kedua belah pihak yang tengah beroposisi. Jelas ini telah mencederai misi tulus insan pers berikut kode etik jurnalistik, yang mana sejauh ini dunia media telah terlegitimasi sebagai pihak penyaji informasi yang benar dan terpercaya.
Padahal, dalam melakukan tugasnya, jurnalis mempunyai kode etik tersendiri agar tidak menyalahgunakan profesinya. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Berikut ini beberapa dari keseluruhan 11 pasal dalam KEJ, yang perlu diperhatikan tatkala kita saksikan bahwa dunia media saat ini mulai nyata arah condongnya pada penguasa.
⑴ Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Artinya, setiap wartawan harus senantiasa bersikap independen yang artinya memberitakan fakta atau peristiwa nyata tanpa adanya paksaan atau gangguan dari siapapun. Akurat berarti berita yang jelas darimana sumbernya dan dapat dipertanggungjawabkan. Setiap wartawan juga harus memberi kesempatan yang sama untuk setiap pihak (berimbang) dan tidak mempuyai niat buruk untuk merugikan pihak lain.
⑵ Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Artinya, setiap wartawan harus selalu berhati-hati dan melakukan pemeriksaan secara berulang-ulang sebelum memberitakan sesuatu, berimbang dalam arti tidak condong terhadap satu pihak. Selain itu, setiap wartawan juga harus dapat memisahkan fakta dan opini, serta tidak menghakimi orang.
⑶ Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
⑷ Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Artinya, menyalahgunakan profesi adalah segala sesuatu yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi dan dilakukan selama bertugas. Suap disini juga bukan hanya sekedar uang, namun segala bentuk barang dan fasilitas. Jika wartawan tersebut tidak bisa menolak “amplop” karena dengan kondsi yang ada, maka ia bisa menerimanya terlebih dahulu dan kemudian diberikan kepada atasannya. Biar atas nama medianya saja yang mengembalikan kepada pihak yang bersangkutan tersebut.
Bagaimana pun, menyalahgunakan media sebagai media provokasi, bukan informasi, tak ubahnya pembiaran potensi relativitas kebenaran berita yang bersangkutan. Jika tak hendak diibaratkan menyuburkan potensi politik pembohongan publik oleh media yang bersangkutan. Sungguh, ini jauh dari motif yang mencerdaskan.
Terlebih, ketika demokrasi telah mencanangkan media sebagai salah satu pilar penjaganya, tak ayal beragam informasi yang bebas hingga seolah tak berbatas akan begitu masif menyerang pemikiran masyarakat. Karena itu, bagi Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar, media memang menjadi instrumentasi yang sangat efektif digunakan oleh dunia Barat, untuk menyerang umat Islam dalam konteks opini sekularisasi. Namun ketika di sisi lain media-media Islam tumbuh subur, pada gilirannya malah dibredel dan dituding radikal, bahkan intoleran. Padahal media-media Islam tersebut hanya berisi syiar dakwah. Ini benar-benar PR besar mandat HPN.
Terkait kebijakan dunia media, sejatinya Islam telah memiliki manifestonya. Di antaranya, negara Khilafah Islam akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah. Hal itu dalam rangka menjalankan kewajiban negara dalam melayani kemaslahatan Islam dan kaum Muslim; juga dalam rangka membangun masyarakat islami yang kuat, selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Allah SWT, serta menyebarluaskan kebaikan dari dan di dalam masyarakat islami tersebut.
Di dalam masyarakat islami tidak ada tempat bagi pemikiran-pemikiran yang rusak dan merusak; juga tidak ada tempat bagi berbagai informasi yang sesat dan menyesatkan. Masyarakat islami akan membersihkan keburukan berbagai pemikiran atau pengetahuan itu, akan memurnikan dan menjelaskan kebaikannya, serta senantiasa memuji Allah, Tuhan semesta alam.
Untuk informasi-informasi keseharian masyarakat di dalam negeri, seperti program/acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang berbagai peristiwa internasional, akan ditangani oleh suatu jawatan khusus di bawah koordinasi Lembaga Penerangan. Jawatan ini berperan mengatur keberadaan media resmi negara maupun berbagai media swasta.
Pendirian media-media informasi itu, khususnya swasta, tidak memerlukan pendaftaran. Media-media tersebut hanya perlu menyampaikan informasi dan laporan yang memungkinkan Lembaga Penerangan mengetahui pendirian media yang bersangkutan. Media-media tersebut beraktivitas untuk menyebarluaskan berita yang juga tanpa memerlukan izin dari negara. Namun demikian, pemilik media informasi bertanggung jawab atas semua obyek (konten/isi) berita yang
disebarkannya. Lembaga Penerangan, bisa dibantu qadhi hisbah dan polisi (syurthoh), akan melakukan kontrol sebagai bentuk tindakan preventif akan terjadinya penyimpangan konten siaran dari koridor syariah. Selanjutnya, media yang bersangkutan akan dimintai pertanggungjawaban atas bentuk-bentuk penyimpangan terhadap hukum syariah sebagaimana individu-individu rakyat secara keseluruhan.[]