Pilpres 2019 : Perang Ideologi Antara Kelompok Moderat Dan Radikal, Benarkah?
Oleh : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)
Calon wakil presiden nomor urut 01, KH. Ma’ruf Amin mengatakan, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bukan lagi sekedar pilih seorang tokoh, namun sudah tahap perang ideologi. Hal itu disampaikan KH. Ma’ruf Amin saat menggelar rapat konsolidasi Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN) wilayah Kendal, Jawa Tengah, Senin (4/2/2019). “Pilpres sekarang bukan sekedar memilih, Pilpres juga perang ideologi, kelompok moderat dan radikal. Karena isu yang dibangun yang begitu itu,” kata KH. Maruf Amin di Kantor PCNU Kendal (https://www.gelora.co/2019/02/maruf-amin-pilpres-2019-perang-ideologi.html?m=1).
Tentu saja, pernyataan itu perlu mendapat tanggapan yang proporsional. Pasalnya saat ini, pemaknaan istilah moderat dan radikal tidaklah objektif, namun sangat sarat dengan kepentingan pihak-pihak yang anti Islam politik. Dalam buku Persepsi-Persepsi Berbahaya Untuk Menghantam Islam Dan Mengokohkan Peradaban Barat karya Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa istilah jalan tengah (kompromi/sikap moderat) tidak muncul di tengah-tengah kaum muslimin kecuali pada masa modern kini. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Sebab, ideologi inilah yang telah membangun akidahnya atas dasar jalan tengah, sebagai suatu kompromi yang lahir akibat pertarungan berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak, dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain.
Setelah pertarungan yang sengit antara dua pihak ini, mereka menyepakati jalan tengah, yaitu mengakui eksistensi agama sebagai interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama tidak diberi hak turut campur dalam kehidupan dan harus menyerahkan pengaturan urusan kehidupan kepada manusia. Kemudian mereka menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) sebagai akidah atau dasar bagi ideologi mereka, yang darinya terlahir sistem Kapitalisme. Atas dasar sistem ini mereka mampu meraih kebangkitan lalu menyebarluaskan sistem ini kepada manusia lain melalui jalan penjahan (imperialisme), termasuk di dalamnya ke negeri-negeri kaum muslimin.
Sementara istilah radikal, perlu juga untuk dicermati oleh kaum muslimin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir dan bertindak”. Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Berdasarkan konotasi yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal dengan istilah radikal bebas. Adapun istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. Th.1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional, dalam hal ini, kehadirannya merupakan antithesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekular, saintifik, maupun keagamaan.
Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Namun kini istilah radikalisme senantiasa dihubungkan dengan isu terorisme. Istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll, yang semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan, karena kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah “Islam radikal” yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk. Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme, dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariat Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat. Maka tidak berlebihan kiranya ada kesimpulan di masyarakat bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. Istilah radikalisme adalah buatan Barat untuk menghancurkan dan mengkooptasi umat Islam. Barat sadar betul bahwa Islam adalah ancaman bagi dia. Hal itu karena kedengkian Barat atas Islam dan umatnya dengan sistem Khilafahnya di masa silam, yang telah mengalahkan hegemoni Barat atas dunia Islam. Sehingga mereka dengan sekuat tenaga dan kemampuan akan menghalangi tegaknya kembali Khilafah Islam di masa mendatang.
Dengan demikian, jika memang saat ini ditengarai ada pertarungan ideologi, maka yang sebenarnya terjadi adalah adalah pertarungan tiga ideologi yang ada di dunia yaitu Kapitalisme, Sosialisme/Komunisme, dan Islam. Ideologi Kapitalisme, yang diemban oleh negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Eropa), senantiasa berupaya untuk menguasai dunia dengan ideologi kapitalisme. Sedangkan Ideologi Sosialisme/Komunisme yang dulu diemban oleh negara Uni Soviet, sejak tahun 90-an dengan runtuhnya negara Uni Soviet, maka ideologi Sosialisme/Komunisme tidak lagi diemban oleh negara super power, kecuali oleh sebagian negara, semisal: Tiongkok, Korea Utara, dan Cuba. Sementara itu ideologi Islam, yang dulu diemban oleh negara Khilafah Islamiyah, sejak tahun 1924 yaitu sejak diruntuhkannya Khilafah oleh konspirasi negara-negara Barat, maka sejak saat itu ideologi Islam tidak diemban lagi oleh negara manapun di dunia ini, kecuali oleh individu-individu umat Islam.
Oleh karena itu, saat ini seluruh komponen umat Islam di manapun berada harus mengarahkan perhatian dan perjuangannya untuk mewujudkan kembali sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyah yang akan menerapkan kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan tuntunan dari Allah SWT dan warisan dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, maka umat Islam akan dapat mandiri menentukan nasib dan eksistensinya dalam percaturan politik dunia dengan tegaknya kembali entitas negara Khilafah Islamiyah, untuk menggantikan sekaligus mengeleminir dominasi ideologi Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme yang telah nyata-nyata membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia dalam seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Wallahu a’lam.[]