[Buletin Kaffah] Merawat Spirit Bela Tauhid

 [Buletin Kaffah] Merawat Spirit Bela Tauhid

[Buletin Kaffah_068_29 Rabiul Awwal 1440 H – 07 Desember 2018 M]

Terharu. Bangga. Sekaligus takjub. Tentu diliputi rasa syukur luar biasa kepada Allah SWT. Menyaksikan Al-Liwa’ dan ar-Rayah berkibar dengan gagah pada Acara “Reuni 212” Aksi Bela Tauhid. Berkibar tak hanya satu-dua. Namun, jutaan Al-Liwa’ dan ar-Rayah. Bendera Rasulullah saw. itu diusung dengan penuh semangat dan kebanggaan oleh jutaan umat Islam yang berkumpul di Monas dan sekitarnya, Ahad, 2 Desember 2018 lalu. Mereka berasal dari berbagai latar belakang suku, bahasa, organisasi, kelompok dan mazhab. Mereka bukan hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Namun, dari berbagai kota dan daerah. Bukan hanya dari Jawa. Namun, banyak yang datang dari luar Jawa: Dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Bahkan ada yang sengaja datang dari luar negeri seperti Malaysia, Australia dan beberapa negeri lain. Aksi besar dan super damai itu pun diliput oleh berbagai media di luar negeri.

Sebelumnya mungkin tak terbayangkan, Al-Liwa’ dan ar-Rayah, yang di negeri ini  senantiasa dengan konsisten diusung dan disosialisasikan oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dalam berbagai aksinya, bisa dikibarkan oleh oleh jutaan umat Islam sebagaimana saat ini. Padahal HTI sendiri telah lama dipersekusi. Diintimidasi. Sekaligus dikriminalisasi. Puncaknya HTI ‘dibunuh’ dengan dicabut status badan hukum perkumpulan (BHP)-nya. Namun, rezim di negeri ini sejak awal salah menduga. “Nyawa” Hizbut Tahrir  bukan terletak pada BHP-nya. Namun, pada ideologinya. Itulah ideologi (mabda’) Islam yang senantiasa hidup di dalam setiap dada para aktivisnya. Sekaligus berusaha dihidupkan dan disebarluaskan di dada-dada setiap Muslim. Bukan hanya di Indonesia. Namun, di seluruh dunia.

Menyaksikan jutaan Al-Liwa’ dan ar-Rayah berkibar seolah membenarkan satu jargon: “Satu Dibakar, Jutaan Berkibar!” Ya, aksi pengibaran jutaan Al-Liwa’ dan ar-Rayah di kawasan Monas pekan lalu tidak lain merupakan reaksi langsung terhadap aksi pembakaran Bendera Tauhid itu oleh oknum Banser di Garut beberapa waktu lalu.

Jelas, Aksi Bela Tauhid yang dilakukan oleh jutaan umat Islam itu sangat fenomenal. Aksi besar tersebut sekaligus membuktikan bahwa berbagai upaya dari rezim dan para pendukungnya untuk mengalihkan isu dengan terus mempropagandakan bahwa yang dibakar adalah Bendera HTI, bukan Bendera Tauhid, gagal total. Umat kini tak lagi bisa dibohongi. Mereka sekarang tak lagi mudah ditipu. Mereka sudah cerdas. Mereka sudah mulai sadar. Mereka kini paham bahwa Al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah milik mereka. Bukan semata-mata milik Hizbut Tahrir.

Misi Utama Islam

Ya, Al-Liwa’ dan ar-Rayah adalah Bendera Tauhid. Bendera milik umat Islam. Tauhid itu sendiri adalah inti semua risalah yang dibawa oleh para nabi dan para rasul ke alam dunia. TawhîdulLâh adalah inti agama yang mereka bawa. Allah SWT  berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami mewahyukan kepada dia bahwa tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku. Karena itu sembahlah Aku oleh kalian  (TQS al-Anbiya’ [21]: 25).

Allah SWT juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Sungguh Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah oleh kalian Allah saja dan jauhilah thâghût-thâghût itu (TQS an-Nahl [16]: 36).

Alhasil, tauhid adalah inti agama Islam. Tauhid  sekaligus merupakan misi utama Islam. Misi Islam ini mengandung makna bahwa manusia hanya layak menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah SWT. Sebaliknya, mereka haram menyembah dan mempertuhankan sesama manusia. Inilah juga yang antara lain ditegaskan oleh Rasulullah saw. di hadapan penduduk Najran yang saat itu beragama Nasrani:

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنِّي أَدْعُوْكُمْ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ…

“Amma ba’du. Sungguh aku menyeru kalian untuk hanya menghambakan diri kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama manusia….” (Al-Baihaqi, Dalâ’il an-Nubuwwah, 5/485; Ibnu Katsir, As-Sîrah an-Nabawiiyah, 4/101).

Pernyataan Rasulullah saw. ini selalu diulang-ulang oleh para panglima Muslim saat mereka menyeberaluaskan Islam dengan dakwah dan jihad. Di antaranya oleh Rib’i bin Amir, salah seorang juru runding dari pihak Islam saat Perang Qadisiyyah, di hadapan Rustum, salah seorang panglima Persia saat itu. Saat itu Rustum bertanya, “Untuk apa kalian (pasukan kaum Muslim, red.) datang kemari?” Rib’i bin Amir menjawab:

اَللَّهُ جَاءَ بِنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، مِنْ جَوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمْ…

“Allah telah mambawa kami ke sini agar kami mengeluarkan orang-orang yang Dia kehendaki, dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada Allah; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 4/106, Ibn al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, 2/463).

Juru runding dari pihak kaum Muslim sebelumnya, yakni Zahrah bin Haubah, juga tegas berkata kepada Rustum, “Islam adalah agama yang haq (benar). Siapa saja yang membenci Islam akan terhina dan siapa saja yang berpegang teguh pada Islam akan mulia.” Lalu Rustum bertanya, “Agama macam apakah itu?” Zahrah bin Haubah menjawab:

أَمَّا عُمُوْدُهُ الَّذِيْ لاَ يَصْلُحُ إِلاَّ بِهِ فَشَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ…

Adapun pilar agama ini—yang tidak mungkin baik kecuali dengan pilar itu—adalah  kesaksian bahwa: Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah…”  (Ibn al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, 1/413)

Konsekuensi Tauhid

Tauhid (tawhîd) dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari fi’il (kata kerja) wahhada-yuwahhidu-tawhîd[an]. Artinya, mengesakan sesuatu. Dengan demikian tawhîdulLâh bermakna mengesakan Allah SWT. Tidak mengakui keberadaan tuhan selain Allah SWT. Hanya menyembah Allah Yang Mahaesa.

Tauhid sejatinya melahirkan ketaatan mutlak hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan hanya kepada Allah SWT tentu menafikan pihak lain untuk ditaati. Tauhid pun meniscayakan bahwa pembuat hukum yang wajib ditaati hanyalah Allah SWT. Dialah sebaik-baik pembuat aturan bagi manusia. Ketika seorang manusia tidak mau berhukum pada hukum Allah dan Rasul-Nya, tentu tauhidnya ternoda. Allah SWT berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan di dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Selain itu Allah SWT juga mengecam orang yang mengada-adakan hukum dengan menyatakan halal-haram untuk membatalkan hukum Allah-Nya.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Janganlah kalian mengatakan apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sungguh orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (TQS an-Nahl [16]: 116).

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (2/267) mengatakan, “Sungguh jika seseorang meyakini bahwa hukum yang Allah turunkan tidak wajib, bahwa boleh dipilih, atau ia merendahkannya, padahal ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekufuran yang besar.”

Ketaatan pada hukum Allah SWT adalah refleksi tauhid seorang Muslim. Ia tidak akan menjadikan syariah Islam sebagai perkara yang boleh dipilih sesuka hati. Ia memahami bahwa memilih hanya syariah Islam adalah kewajiban. Ia pun akan menjauhkan diri dari sikap sombong dan meremehkan hukum-hukum Allah SWT.

Merawat Spirit Bela Tauhid

Akhirul kalam, tentu spirit atau semangat bela tauhid harus terus dirawat. Agar selalu tumbuh dan terus berkembang di tengah-tengah umat. Tak hanya muncul saat simbol-simbol Islam dihinakan. Tak hanya hadir saat syiar-syiar Islam direndahkan. Tak hanya mengemuka saat al-Quran dan kalimat tauhid dinistakan. Namun, yang jauh lebih penting, adalah saat hukum-hukum Allah SWT atau syariah Islam dicampakkan, sebagaimana yang terjadi saat ini. Karena itu spirit bela tauhid ini harus mewujud dalam visi sekaligus misi hidup seluruh umat Islam.

Jika seluruh kaum Muslim memang mengklaim bertauhid, maka tak ada hukum atau aturan yang wajib mereka laksanakan selain aturan dan hukum Allah SWT atau syariah Islam. Jika seluruh kaum Muslim mengaku membela kalimat tauhid, maka tak ada yang pantas mereka lakukan selain berupaya sekuat tenaga untuk menegakkan aturan-aturan Allah SWT atau syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Itu berarti, mereka wajib terlibat bersama-sama secara konsisten menyerukan pentingnya penerapan syariah Islam secara total. Tak hanya dalam urusan ibadah, namun juga dalam urusan ekonomi, pendidikan, politik, pemerintahan, hukum, peradilan, dsb.

Alhasil, mari kita siapkan Aksi Bela Tauhiud selanjutnya: mendorong dan menuntut penguasa untuk segera menerapkan syariah Islam secara kâffah. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ…

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah…” (HR Muttafaq ‘alaih).

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *