Perubahan Jokowi Menjadi Otoriter

 Perubahan Jokowi Menjadi Otoriter

Oleh: Tom Power

Sebagian analisa yang mendalam mengatakan Jokowi telah membuat kemajuan dalam pendekatan yang dilakukannya sebagai presiden sejak dia menjabat. Bagi sebagian besar orang, pendekatan yang dilakukan telah terfokus pada keasyikan utamanya dengan pembangunan ekonomi dalam negeri, dan kurangnya orientasi ideologis yang jelas pada wilayah sosial dan politik. Jacqui Baker menggambarkannya sebagai presiden pembangunan (developmentalist), yang menunjukkan “ketidaksabarannya dengan kompleksitas hukum” dan “cenderung tidak bersikap liberal” yang sama dengan asal kelas borjuisnya. Eve Warburton mengembangkan gambaran ini, dengan mencatat “orientasi kaum ideologis nasionalis statis” dari pemerintahnya yang melihat pentingnya pengaturan sebuah negara yang kuat dan lanskap politik yang stabil untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi, dengan mengutip penilaian Burhanuddin Muhtadi bahwa “Jokowi tampaknya menganggap bahwa sektor non-ekonomi sebagai hal sekunder, atau hanya sebagai instrumen untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat ”.

Beberapa analisa itu menunjukkan bahwa jika Jokowi bertindak dengan cara yang tidak liberal atau anti-demokrasi, itu merupakan hasil dari kepekaan politik yang sempit, pemikiran jangka pendek dan pengambilan keputusan secara ad hoc. Tetapi saat Jokowi memasuki masa akhir dari masa jabatan pertamanya, adalah  tepat untuk merefleksikan lebih jauh implikasi  pendekatan dari tindakan presiden ini bagi demokrasi Indonesia. Pendekatan serampangan yang dilakukan Jokowi untuk menghadapi tantangan politik, mungkin terinspirasi oleh kampanye bergaya sektarian di Jakarta pada tahun 2019, dimana hal itu telah menciptakan beberapa preseden yang sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

Upaya untuk mengkonsolidasikan posisi politiknya menjelang pemilu April mendatang telah mulai melanggar norma-norma demokrasi fundamental, yang merupakan pencapaian inti dari era reformasi Indonesia. Pada tahun 2018, kami melihat semakin banyak bukti pemerintah Jokowi yang melakukan tindakan otoriter yang berkontribusi terhadap percepatan status quo demokrasi Indonesia yang diidentifikasikan oleh Vedi Hadiz tahun lalu. Sebagian besar dari proses ini adalah upaya yang terus menerus untuk mendapatkan keuntungan  partisan yang sempit dari instrumentalisasi politik lembaga-lembaga utama negara.

Jokowi dan hukum

Politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum bukanlah fenomena baru di Indonesia. Kompleksitas peraturan hukum dan kriminalitas-khususnya kasus korupsi- di dalam negara telah lama memberikan kesempatan bagi para penyokongnya yang kuat untuk mengontrol dan memanipulasi bawahan-bawahan politiknya itu dengan ancaman secara implisit atau eksplisit dengan tuntutan hukum. Namun, upaya pemerintah untuk menggunakan instrumen hukum dengan cara seperti ini telah menjadi jauh lebih terbuka dan lebih sistematis di bawah pemerintahan Jokowi.

Tanda-tanda peringatan dari pergeseran sikap ini tampak jelas ketika Jokowi menunjuk politikus Nasdem Muhammad Prasetyo sebagai jaksa agung — suatu pos yang secara tradisional disediakan untuk seorang yang non-partisan — pada tahun 2014. Segera setelah penunjukan itu, Kantor Kejaksaan Agung bergerak untuk menggerogoti kekuatan mayoritas yang ada pada saat itu dengan menangkapi sejumlah anggota partai oposisi dari koalisi oposisi dengan tuduhan korupsi. Pelemahan lebih lanjut terhadap koalisi oposisi dicapai pada tahun 2015–16, karena Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggunakan kontrolnya atas verifikasi legal atas dewan kepengurusan partai-partai untuk memanipulasi perpecahan faksi di dalam Golkar dan PPP, dan akhirnya memaksa mereka masuk ke dalam koalisi yang berkuasa.

Investigasi kriminal telah diarahkan kepada para penyelenggara dan penyokong kampanye oposisi. Suatu penangkapan tiba-tiba terhadap para pengkritik pemerintah terjadi pada demonstrasi Aksi 212 di Jakarta pada akhir tahun 2016; tuduhan secara diam-diam dijatuhkan begitu krisis itu berlalu. Kasus-kasus kriminal diajukan terhadap beberapa ulama terkemuka dalam gerakan 212, terutama terhadap pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang dipaksa mengasingkan diri ke Arab Saudi setelah dituduh melakukan tindakan pornografi. Pemilik media, penentang oposisi dan Ketua Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo tiba-tiba menunjukkan kesetiaannya kepada Jokowi pada 2017 setelah polisi menuduhnya mencoba mengintimidasi jaksa penuntut umum atas  suatu pesan teks; Kasus Hary tampaknya tidak mengalami kemajuan sejak saat itu. Di luar penggunaan penuntutan taktis untuk menjinakkan musuh-musuhnya, Jokowi mengeluarkan kekuatan hukum baru untuk menghukum organisasi masyarakat sipil. Keputusan presiden, atau Perppu, terhadap organisasi-organisasi massa yang dikeluarkannya pada pertengahan tahun 2017 berfungsi untuk mencabut “hampir semua perlindungan hukum yang bermakna dari kebebasan berserikat”, dengan menambahkan instrumen represif lain sebagai alat pemerintah.

Koalisi oposisi pro-Prabowo 2014–15, yang berusaha menghilangkan pemilu langsung dan memonopoli tempat-tempat patronase di dalam badan legislatif, memiliki karakter yang jelas tidak liberal dan tujuan-tujuan anti-demokrasi. Demikian pula, kampanye anti-Ahok dilakukan di atas sebuah agenda yang sangat tidak toleran dan mayoritas yang mengancam dasar-dasar demokrasi pluralis yang religius, dimana kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir secara terbuka menuntut negara demokratis untuk diganti dengan teokratis. Meskipun pemerintah Jokowi menggunakan strategi otoriter dalam menanggapi lawan-lawan politik ini, pendekatannya dapat secara kredibel digambarkan sebagai “memerangi illiberalisme dengan illiberalisme”.

Namun, menjelang pemilu 2019, pemerintah telah mengubah strategi represif ini dalam melawan kekuatan-kekuatan oposisi yang bekerja dalam batas-batas status quo demokratis. Dengan mengubah institusi keamanan dan penegakan hukum untuk melawan oposisi demokratik, pemerintahan Jokowi telah mengkontrol kaburnya batas antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah. Selain itu, kebijakan-kebijakan ini harus dipahami sebagai bagian dari upaya yang disengaja dan semakin sistematis untuk menghambat dan melemahkan kelompok oposisi yang sah secara esensial bagi rezim demokratis.

Perlindungan untuk mendapat dukungan

Sepanjang pertengahan tahun 2018, sejumlah pemimpin daerah yang berafiliasi dengan pihak oposisi, telah mengumumkan dukungan mereka untuk Jokowi. Pandangan yang tersebar luas di kalangan elit adalah bahwa aktor-aktor pemerintah telah mengancam orang-orang itu dengan dakwaan hukum — khususnya yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi — kecuali jika mereka mau “menyesuaikan diri” dengan petahana. Mungkin yang paling menonjol dari para pembelot ini adalah Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang; TGB), Gubernur Nusa Tenggara Barat dan seorang ulama berpengaruh dan anggota Partai Demokrat. TGB telah memimpin tim kampanye Prabowo di provinsi itu pada tahun 2014, mendukung demonstrasi anti-Ahok, dan dinobatkan sebagai salah satu nominasi calon presiden Gerakan 212.

Pada akhir Mei, KPK mengumumkan akan menyelidiki dugaan keterlibatan TGB dalam kasus korupsi yang berkaitan dengan penjualan saham perusahaan tambang raksasa Newmont yang beroperasi di Nusa Tenggara Nusa Tenggara Barat. Pada awal Juli, TGB mengumumkan dukungannya untuk pemilihan kembali Jokowi, sehingga mengecewakan banyak orang terhadap Gerakan 212 dan para pemimpin oposisi lainnya, sebagian diantaranya menuduhnya mencari perlindungan hukum. Penerus TGB sebagai gubernur NTB, politikus PKS Zulkieflimansyah — yang namanya juga disebut-sebut terkait dengan kasus Newmont — segera menampilkan foto dirinya bersama Jokowi pada profil WhatsApp-nya dan mengisyaratkan kepada rekan-rekannya bahwa dia lebih menyukai presiden berkuasa.

Di Maluku Utara, gubernur PKS yang berkuasa, Abdul Ghani Kasuba, meninggalkan partainya setelah bersikukuh dengan PDI-P dalam pilkada 2018. Juga di Papua, Gubernur Lukas Enembe — yang terlibat dalam berbagai skandal korupsi selama masa jabatannya — juga mengumumkan dukungannya kepada Jokowi setelah terpilih kembali dalam pilkada sebagai kader Partai Demokrat. Pada bulan Juli, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim bahwa Gubernur Sumatera Barat, dari PKS ‘Irwan Prayitno – dan beberapa anggota lain tim sukses Prabowo tahun 2014 – telah “ditata ulang” dengan cara yang sama.

Upaya-upaya yang oleh para kritikus disebut sebagai “kriminalisasi” para politisi oposisi paling sering dikaitkan dengan Kantor Kejaksaan Agung, yang menangani sejumlah besar investigasi dan penuntutan korupsi daripada oleh KPK. Kegiatan departemen ini hampir seluruhnya tidak jelas: tidak seperti KPK, kegiatan mereka tidak mempublikasikan informasi tentang investigasi apa yang sedang berlangsung, dan Kejaksaan memiliki wewenang untuk membuka dan menutup kasus atas kebijakannya sendiri. Seorang pejabat PDI-P yang saya ajak bicara menggambarkan kantor Kejaksaan Agung sebagai “senjata politik” yang “secara rutin saat ini digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan para politisi oposisi, dan oleh Nasdem untuk memaksa eksekutif subnasional bergabung dengan mereka.”

Sejumlah besar kepala daerah memang bergabung dengan Nasdem pada tahun 2017–2018. Sebagai contoh, selama perjalanan singkat ketua Nasdem Surya Paloh ke Sulawesi Tenggara pada bulan Maret, tiga bupati setempat mengalihkan kesetiaan kepada partainya. Kampanye Jokowi sekarang mengklaim mendapatkan dukungan 31 dari 34 gubernur, dan 359 dari 514 walikota dan bupati. Implikasi elektoral dari perubahan  dukungan elit subnasional ini masih harus dilihat, tetapi kapasitas mobilisasional dari eksekutif subnasional terdokumentasi dengan baik, dan hasil pemilihan sebelumnya menunjukkan adanya tingkat korelasi antara afiliasi gubernur dan walikota, dan pilkada dalam saham calon presiden.

KPK juga terlihat semakin berkompromi di bawah Jokowi. Penuntutan terhadap Setya Novanto pada akhir tahun 2017 karena perannya dalam skandal kartu identitas elektronik (e-KTP) dipuji sebagai kemenangan bagi lembaga itu, tetapi KPK juga dituduh mengalah pada tekanan politik setelah munculnya beberapa nama pejabat tinggi

politisi PDIP yang sebelumnya terlibat dalam kasus itu lalu dihapus dari dakwaan Setya. Hingga Oktober 2018, tidak ada politisi tingkat tinggi PDI-P yang dijadikan tersangka oleh KPK karena kelompok komisioner saat ini ditunjuk pada bulan Desember 2015. Hal ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan: Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, yang diyakini memiliki pengaruh besar di antara para agen KPK yang direkrut dari kepolisian, adalah sekutu dekat ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Melawan oposisi akar rumput

Penggunaan kasus-kasus korupsi untuk pengaruh politik bukanlah satu-satunya cara di mana aparat negara digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk keuntungan partisan menjelang pemilu. Selama tahun 2018, polisi telah meningkatkan tekanan terhadap gerakan # 2019GantiPresiden (# 2019ChangePresident; 2019GP). Selama paruh pertama tahun 2018, 2019GP bermetamorfosis dari sebuah hashtag Twitter yang diposting oleh politisi PKS Mardani Ali Sera, menjadi kendaraan politik dengan kehadiran media sosial yang kuat, dengan pakaian bermerek dan memiliki barang dagangannya sendiri, dan struktur organisasi formal. Sementara 2019GP tidak memiliki karakter Islamis yang jelas dari Gerakan 212, banyak kelompok yang menarik dukungan dari konstituen yang sama, dan berbagi landasan yang mendasari kepentingan agitasi dalam melawan petahana daripada dukungan bagi suatu penantang tertentu. Sungguh, pesan simplistik dari gerakan 2019GP — yang bermuara pada siapapun “asal bukan Jokowi” —mengubahnya sebagai kendaraan yang dapat mengungguli calon oposisi. Fleksibilitas ini, yang mencerminkan ketidakpastian di antara para pemimpin oposisi atas keinginan Prabowo untuk berdiri sebagai capres, tampak jelas bahkan empat hari sebelum nominasi presiden ditutup ketika organisator 2019GP dan politisi PKS Mardani Ali Sera mengatakan kepada saya bahwa “Anies Baswedan adalah orang yang tepat untuk mengalahkan Jokowi”.

Sepanjang pertengahan 2018, penyelenggara 2019GP sering menerima laporan bahwa polisi menyita barang dagangan dari para penjual kaos GP dan mengintimidasi orang-orang yang menampilkan hashtag GP. Pada bulan Juni hingga September, jadwal acara 2019GP di Serang, Bandung, Pekanbaru, Surabaya, Pontianak, Bangka Belitung, Palembang, Aceh dan wilayah-wilayah lain  dilarang atau dihentikan oleh polisi, yang seringkali dengan bantuan kelompok “kontra demonstran” pro-pemerintah. Setelah pembubaran acara Ganti Presiden di Surabaya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan berpendapat bahwa kegiatan 2019GP memang harus dilarang, sehingga dapat mencegah bentrokan sosial dan bentrokan antara demonstran pro-pemerintah dan oposisi. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang berusaha menampilkan diri sebagai kekuatan baru politik progresif dan demokratis, juga mendukung penindasan gerakan Ganti Presiden dengan alasan “mengarahkan kebencian kepada presiden”.

Banyak justifikasi hukum telah dibuat untuk mendukung tindakan keras tersebut. Pada bulan Maret, polisi mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki seorang penyanyi yang menjadi aktivis, Neno Warisman, karena curiga bahwa pembuatan grup WhatsApp olehnya yang menggunakan hashtag # 2019GantiPresiden dapat melanggar UU Transaksi Elektronik (UU ITE), atau bahkan merupakan dasar tuduhan pengkhianatan. Unsur lain dari serangan pemerintah terhadap gerakan 2019GP adalah memberikan label anti-sistem, ekstremis, dan pendukung khilafah pada penyelenggara gerakan itu. Pesan media sosial yang beredar bahkan mengklaim bahwa salah satu pelaku bom bunuh diri yang bertanggung jawab atas serangan dahsyat di Surabaya pada Mei adalah pendukung 2019GP. (Namun hal ini telah dibantah).

Upaya sistematis pemerintah untuk menekan dan mendelegitimasi kegiatan 2019GP merupakan tantangan baru bagi status quo demokratis Indonesia. Penindasan terhadap 2019GP secara kualitatif berbeda dari taktik koersif yang digunakan terhadap koalisi partai Prabowo antara tahun 2015–16, atau pelarangan di tahun 2017 terhadap Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara koalisi Prabowo telah mencoba untuk mengurangi elemen-elemen demokrasi Indonesia, dan Hizbut Tahrir secara terbuka dalam mengekspresikan ambisi khalifahnya, gerakan 2019GP belum mendukung tujuan anti-sistem, tetapi merasa teragitasi  atas kekalahan elektoral dari Jokowi. Memang, para pemimpin 2019GP telah berusaha keras untuk menetapkan gerakan mereka sebagai suatu ekspresi konstitusional oposisi demokratis. Legitimasi kegiatan kelompok ini telah didukung Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan bahkan beberapa LSM dan beberapa figur publik yang pluralis, sementara upaya pemerintah untuk menggambarkan gerakan 2019GP sebagai ancaman terhadap keselarasan sosial dan persatuan nasional telah terbukti sepenuhnya tidak meyakinkan.  Penindasan terhadap 2019GP merupakan kali pertama sejak jatuhnya Suharto dimana pemerintah menggunakan aparat keamanan negara untuk melakukan represi skala besar yang terbuka terhadap gerakan oposisi demokratik.

Memobilisasi militer

Kekhawatiran telah tumbuh selama masa kepresidenan Jokowi tentang munculnya kembali falsafah “fungsi ganda” di dalam militer, termasuk melalui konsolidasi struktur komando teritorialnya dan keterlibatan baru tentara dalam program-program sosial dan ekonomi yang dipimpin pemerintah. Pada tahun 2018, setelah memperkuat pengaruh pribadinya di dalam angkatan bersenjata melalui dipilihnya sekutu pribadi sebagai Panglima TNI, Jokowi bahkan melangkah lebih jauh dalam mendorong re-politisasi TNI.

Pada bulan Juni, Jokowi mengumumkan peningkatan besar dan segera pendanaan untuk komando desa TNI, tingkat Bintara Pembina Desa/Babinsa. Pada bulan Juli, dia menyampaikan pidato kepada para petugas Babinsa di Makassar di mana dia menginstruksikan para prajurit di tingkat desa untuk menghentikan penyebaran “hoax” seperti yang mengkaitkannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada bulan Agustus, Jokowi berpidato lagi di mana dia menginstruksikan polisi dan perwira militer untuk mempromosikan pencapaian program pemerintahnya kepada masyarakat:

Berkaitan dengan program pemerintah, yakni pekerjaan yang telah kami lakukan — saya meminta semua petugas babinsa untuk pergi dan mempromosikan pencapaian ini kepada masyarakat. Teruskanlah [pencapaian] ini kapan pun waktunya tepat untuk melakukannya.

Salah satu prestasi besar tahun pemerintahan Yudhoyono adalah penerimaan oleh elit TNI bahwa “militer adalah alat pemerintahan eksekutif” daripada kekuatan politik otonom dalam dirinya sendiri. Namun Jokowi tampaknya siap menggunakan alat ini untuk melayani tujuan-tujuan partisan, dalam konteks kampanye pemilihan umum. Tidak pernah sejak jatuhnya Orde Baru, militer dan polisi dikerahkan secara sistematis untuk memberikan keuntungan politik kepada pemerintah yang berkuasa. Jika tren ini terjadi pada tahun 2019, hal ini akan menandai langkah lain dalam ketidakseimbangan yang parah dari medan permainan antara pemerintah dan oposisi – suatu fitur yang tidak terkait dengan demokrasi, tetapi terkait dengan otoriterisme pemilu dan hibriditas rezim.

Salah satu alasan digunakannya instrumental penegakan hukum dan lembaga keamanan oleh Jokowi mungkin adalah kurangnya kepercayaannya pada keandalan dan efektivitas partai politik, organisasi sosial, dan kelompok “sukarelawan”. Interaksinya dengan partai-partai, elit politik dan organisasi masyarakat sipil sering tidak diinginkan; di sisi lain, dia telah belajar bahwa alat-alat negara jauh lebih mudah digunakan dan jauh lebih efektif dalam mengatasi tantangan politik.

Mudharat yang lebih kecil?

Saat menulis tidak lama setelah terpilihnya Jokowi, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner menggambarkan pemilu 2014 sebagai “pemilu terpenting dalam sejarah demokrasi pasca-Soeharto”. Mereka berdua melanjutkan dalam tulisannya:

Baik kontestasi tahun 1999 antara Megawati dan Abdurrahman Wahid maupun kontestasi tahun  2004 dan 2009 antara Megawati dan Yudhoyono adalah persaingan tentang arah fundamental negara tersebut. Sebaliknya, pilihan antara Jokowi dan Prabowo menghadirkan pemilih Indonesia dengan pilihan untuk mempertahankan pemerintahan demokratis yang ada atau mengirimnya ke jalur eksperimen populis dan regresi neo-otoriter.

Sulit untuk membingkai pemilu 2019 dengan persyaratan yang sama. Yang pasti, Prabowo memberikan setiap indikasi pada tahun 2014 bahwa dia berniat secara sengaja dan gigih memutar balik demokrasi Indonesia; jika dibandingkan, konsesi Jokowi untuk otoritarianisme telah meningkat dan serampangan — seperti yang dikatakan Eve Warburton tentang sikap presiden Jokowi secara lebih luas, mereka telah “ditentukan oleh ad hocery”. Namun dia sekarang tampaknya telah menetapkan suatu formula untuk mengatasi tantangan politik, yang sebagian besar berkisar pada penerapan instrumen yang paling dapat diandalkan dan efektif yang tersedia bagi presiden — yakni lembaga-lembaga negara. Yang paling penting untuk kualitas demokrasi di Indonesia, Jokowi dan pemerintahannya telah datang untuk memperlakukan penegakan hukum dan layanan keamanan sebagai alat untuk menindas oposisi, apakah itu yang illiberal dan anti-sistem, atau yang demokratis dan konstitusional.

Tentu saja, semakin banyak strategi ini yang dianggap normal, semakin mereka siap untuk menghadapi gaya seorang Prabowo yang menyimpan kebencian ideologis terhadap demokrasi. Para pendukung Prabowo sudah menanggapi tuduhan tentang tujuan otoriter pemimpin mereka dengan menunjuk pada regresi demokratis yang diawasi oleh Jokowi. Seorang politisi Gerindra yang saya ajak bicara baru-baru ini mengatakan:

Ada yang bilang Prabowo itu otoriter. Bagaimana dengan pemerintah ini? Bukankah demokrasi mundur selama masa Jokowi? Bukankah presiden saat ini telah mengkriminalisasi kelompok oposisi, melarang organisasi-organisasi massa … [dan] menggunakan aparat negara terhadap para pengkritiknya? Siapa yang otoriter?

Demokrasi Indonesia telah terbukti tangguh selama 20 tahun. Saat pendekatan pemilu tahun depan, ketangguhan itu akan diuji lagi. Layak untuk merefleksikan apa yang telah berubah sejak siklus pemilu sebelumnya. Seperti pada tahun 2014, pemilu 2019 akan menjadi seperti balapan dua kuda. Seperti pada tahun 2014, kita akan memiliki satu sisi kandidat yang menata dirinya sebagai sangat nasionalistis; anti-kiri; pro-militer; dan terbuka untuk masuknya agenda-agenda Islam konservatif lebih lanjut ke dalam arena politik nasional. Catatan tentang pengjagaannya terhadap HAM, perhatiannya terhadap prinsip-prinsip inti demokrasi, komitmennya pada pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dan dukungannya untuk agenda antikorupsi yang berarti semuanya sangat meragukan. Dia akan bertarung dalam pemilihan presiden dengan dukungan koalisi besar partai, yang memiliki cengkeraman kuat pada media, dan kumpulan elit politik yang kredibilitas demokratis dan reformisnya harus mengilhami sedikit kepercayaan dari para pemilih Indonesia.

Dan di sisi lain kertas suara pilpres, kita akan memiliki Prabowo Subianto.

Artikel ini didasarkan pada presentasi Political Update yang dibuat oleh penulis pada konferensi Pembaruan ANU Indonesia pada bulan September 2018. Tulisan lengkap akan muncul pada edisi mendatang dari Buletin Kajian Ekonomi Indonesia (Bulletin of Indonesian Economic Studies). Pandangan yang diungkapkan di sini adalah milik penulis dan tidak mewakili pandangan Australian National University.

Sumber : http://www.newmandala.org/jokowis-authoritarian-turn/

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *