Apakah Rasul saw Menafsirkan al-Quran dan Menjelaskan Makna-Maknanya?

 Apakah Rasul saw Menafsirkan al-Quran dan Menjelaskan Makna-Maknanya?

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Di dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii pada topik “Wujûd al-Hawâiq asy-Syar’iyyah –Adanya Hakikat Syar’iyah-“ dinyatakan teks sebagai berikut: (… terlebih lagi bahwa yang terbukti bahwa asy-Syâri’ telah mengakhiri umat atas pengalihan –penukilan- al-asmâ` (nama-nama) itu dari makna bahasanya ke makna baru yang ditetapkan oleh syara’ untuknya. Hal itu dengan penjelasan Rasul saw untuk makna-makna ini. Allah SWT berfirman:

﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu  menerangkan pada umat manu siaapa yang telah diturunkan kepada mereka …“(TQS a-Nahl [16]: 44).

Yang dimaksudkan, agar kamu menerangkan makna-maknanya, di antaranya adalah makna-makna isim-isim syar’iy. Rasul saw bersabda:

«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ» أخرجه البخاري

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat” (HR al-Bukhari).

Jadi Rasul saw membebani mereka dengan berbagai amal dan memahamkan mereka kepada amal-amal itu, dan beliau tidak membebani mereka dengan apa yang tidak mereka pahami”.

Pertanyaannya: apakah dari ini kita pahami bahwa Rasul saw telah menafsirkan al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya? Ataukah tafsir beliau itu terbatas pada penjelasan makna-makna isim syar’iy? Semoga Allah memberika balasan yang lebih baik kepada Anda.

Hamed Nazzal

Jawab:

Wa’alaikumussalah wa rahmatullah wa barakatuhu.

Untuk menjelaskan jawaban tersebut saya sebutkan perkara-perkara berikut:

Pertama, pertanyaan Anda kembali kepada apa yang dinyatakan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii:

“Faktanya bahwa isim-isim syar’iy itu ada dalam lafazh-lafazh syara’. Dan ada dengansifatnya sebagai hakikat-hakikat spesifik berbeda dari hakikat-hakikat secara bahasa (lingusitik). Dan itu merupakan lafazh yag ditetapkan oleh orang arab, dan datang syara’ mengalihkannya untuk makna lain dan menjadi terkenal. Pengalihan (penukilan) syara’ untuk lafazh-lafazh itu bukan dari sisi majaz. Tetapi itu dari sisi pengalihan hakikat secara konvensi (al-haqîqah al-‘urfiyah). Sebab syara’ tidak mengalihkannya untuk makna kedua dikarenakan hubungan tertentu seperti halnya yang menjadi syarat majaz. Terlebih lagi, lalu menjadi terkenal pada makna kedua itu. Sementara majaz adalah lafazh yang ditetapkan untuk makna kemudian dialihkan kepada makna yang lain karena adanya hubungan dan tidak terkenal pada makna yang kedua itu, yakni tidak dominan pada makna yang kedua itu.  Karena itu, pengalihan isim syar’iy ke makna kedua yang ditetapkan oleh syara’ untuk lafazh itu bukanlah dari sisi majaz sama sekali, tetapi itu dari sisi al-haqîqah asy-syar’iyyah…  Terlebih lagi bahwa yang terbukti bahwa asy-Syâri’ telah mengakhiri umat atas penukilan al-asmâ` (nama-nama) itu dari makna bahasanya ke makna baru yang ditetapkan oleh syara’ untuknya. Hal itu dengan penjelasan Rasul saw untuk makna-makna ini. Allah SWT berfirman:

﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusiaapa yang telah diturunkan kepada mereka …“(TQS a-Nahl [16]: 44).

Yang dimaksudkan, agar kamu menerangkan makna-maknanya, di antaranya adalah makna-makna isim-isim syar’iy. Rasul saw bersabda:

«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ» أخرجه البخاري

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat” (HR al-Bukhari).

Jadi Rasul saw membebani mereka dengan berbagai amal dan memahamkan mereka kepada amal-amal itu, dan beliau tidak membebani mereka dengan apa yang tidak mereka pahami”, selesai kutipan dari asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III.

Kedua: penjelasan Rasul saw terhadap apa yang dinyatakan di dalam al-Quran al-Karim adalah bukan hanya untuk makna-makna isim syar’iy saja, tetapi penjelasan as-Sunah untuk al-Kitab itu bisa diringkas sebagai berikut:

1- Merinci keglobalannya (tafshîl mujmalihi): di antaranya, bahwa Allah SWT memerintahkan shalat di dalam al-Kitab, tanpa penjelasan waktu-waktunya, rukunnya, jumlah rakaatnya, lalu as-Sunnah menjelaskan hal itu. Rasul saw bersabda:

«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ» أخرجه البخاري

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat” (HR al-Bukhari).

Kemudian, Rasul saw menjelaskan kepada kaum Muslim rincian tatacara shalat melalui perbuatan beliau saw, dalam apa yang diriwayatkan oleh Abu Humaid as-Sa’idi ra:

« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى إِلَى الْأَرْضِ سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى عَضُدَيْهِ عَنْ إِبْطَيْهِ وَفَتَخَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ». أخرجه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Rasulullah saw jika beliau berdiri untuk shalat, beliau berdiri tegak, beliau mengangkat kedua tangan hingga keduanya sejajar pundak beliau.Jika beliau ingin ruku’ beliau mengangkat tangan sampai keduanya sejajar pundak beliau, kemudian beliau berucap “Allâhu Akbar” dan beliau pun ruku’, lalu beliau meluruskan punggung dan tidak mendongakkan kepala ataupun menundukkan dan beliau meletakkan kedua tangan pada kedua lutut beliau.Kemudian beliau berucap “sami’allâhu liman hamidahu” dan beliau mengangkat kedua tangan dan berdiri tegak sampai semua tulang kembali ke tempatnya secara benar. Kemudian beliau merunduk ke tanah,bersujud, kemudian beliau berucap “Allâhu Akbar”,lalu beliau merenggangkan kedua lengan beliau dari ketiak dan beliau membuka jari-jari kedua kaki.Kemudian beliau melipat kaki kiri beliau dan duduk di atasnya,lalu beliau duduk tegak samai semua tulang kembali pada tempatnya secara benar.Kemudian beliau merunduk bersujud.Kemudian beliau berucap “Allâhu Akbar”lalu beliau melipat kaki beliau dan duduk serta tegak sampai semua tulang kembali ke tempatnya. Kemudian beliau bangkit melakukan pada rakaat kedua seperti yang demikian” (HR at-Tirmidzi, dan ia berkata: ini hadits hasan shahih).

2- Mengkhususkan keumumannya: Di dalam al-Quran dinyatakan berbagai keumuman, dan datang as-Sunnah mengkhususkan keumuman ini. Di antara hal itu, Allah SWT memutuskan bahwa anak-anak mewarisi bapak sesuai yang dijelaskan di dalam firman-Nya:

﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan(TQS an-Nisa’ [4]: 11).

Hukum ini bersifat umum pada semua bapak yang mewariskan dan semua anak yang mewarisi. Lalu as-Sunnah mengkhususkan bapak yang mewariskan itu pada selain para Nabi dengan sabda Rasul saw:

«لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ» أخرجه البخاري ومسلم

“Kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan merupakan shadaqah” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dan as-Sunnah mengkhususkan ahli waris pada selain orang yang membunuh dengan sabda Rasul saw:

«.. وَلاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ شَيْئاً» أخرجه أبو داود

“… dan orang yang membunuh tidak mewarisi sedikitpun” (HR Abu Dawud).

3- Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat bersifat mutlak dan as-Sunnah datang membatasi kemutlakan itu dengan batasan tertentu. Di antara hal itu, firman Allah SWT:

﴿وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban(TQS al-Baqarah [2]: 196).

Ketiganya ini: shiyâm -puasa-, shadaqah –sedekah- dan nusuk –kurban-, dalam bentuk nakirah mutsbitah maka itu termasuk lafazh mutlak. Dan ketiganya telah dibatasi dengan hadits yang dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalur Ka’ab bin ‘Ujrah dengan sabda Rasul saw kepadanya:

«فَاحْلِقْ رَأْسَكَ وَأَطْعِمْ فَرَقًا بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ وَالْفَرَقُ ثَلاَثةُ آصُعٍ أَوْ صُمْ ثلاَثةَ أَيَّامٍ أَوِ انْسُكْ نَسِيكَةً»

“Cukurlah rambut kepalamu dan berilah makan satu faraq di antara enam orang miskin dan satu faraq adalah tiga sha’ atau berpuasalah tiga hari atau sembelihlah satu ekor sembelihan”.

Jadi kemutlakan shiyâm dibatasi dengan tiga hari, kemutlakan shadaqah dibatasi dengan satu faraq untuk enam orang miskin dan satu faraq adalah tiga sha’; dan kemutlakan nusuk dibatasi dengan menyembelih satu ekor domba/kambing.

4- Mengikutkan cabang hukum dengan pokoknya yang dinyatakan di dalam al-Quran, sehingga cabang itu tampak seolah merupakan tasyri’ yang baru, tetapi ketika didalami tampak jelas bahwa itu dikaitkan dengan pokoknya yang dinyatakan di dalam al-Quran. Dan ini banyak. D antara yang demikian itu, Allah SWT menyebutkan al-farâidh yang telah ditetapkan kadarnya dan tidak menyebutkan bagian waris ashabah kecuali apa yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan(TQS an-Nisa’ [4]: 11).

Dan firman-Nya:

﴿وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan(TQS an-Nisa’ [4]: 176).

Ayat tersebut memutuskan bahwa ashabah selain anak laki-laki dan saudara laki-laki tidak memiliki fardhu yang ditetapkan kadarnya, tetapi mengambil sisa setelah ditunaikan al-furûdh. Rasul saw menjelaskan hal itu. Beliau bersabda:

«أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ» أخرجه البخاري

“kaitkan (berikan) fardhu kepada yang berhak dan apa yang tersisa maka untuk laki-laki yang palig dekat” (HR al-Bukhari).

Jadi ashabah selain anak-anak dikaitkan dengan saudara laki-laki dan anak laki-laki. Demikian juga saudara-saudara perempuan dikaitkan dengan anak-anak perempuan sebagai ashabah. Dari al-Aswad:

«أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَرَّثَ أُخْتًا وَابْنَةً، فَجَعَلَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا النِّصْفَ، وَهُوَ بِالْيَمَنِ، وَنَبِيُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَئِذٍ حَيٌّ» أخرجه أبو داود

“Bahwa Mu’adz bin Jabal menetapkan saudara perempuan dan anak perempuan mewarisi dan menjadikan untuk masing-masingnya setengah dan dia sedang di Yaman dan Nabi saw pada waktu itu masih hidup” (HR Abu Dawud).

Mu’adz tidak memutuskan semisal keputusan ini sepanjang hidup Rasul saw kecuali karena dalil yang dia ketahui. Dan seandainya dia tidak memiliki dalil niscaya dia tidak menjadikan keputusan tersebut… dan sebagainya.

Ketiga: meski demikian, tidak dinyatakan dari Rasul saw hadits yang menjelaskan semua ayat, sebagaimana yang saya ketahui… Dan buku-buku tafsir dengan begitu banyaknya dan begitu luas penjelasannya, di dalamnya tidak dinyatakan hadits shahihuntuk setiap ayat… Dan oleh karena itu apa yang dinyatakan dari Rasulullah saw dijadikan sandaran. Dan apa yang tidak dinyatakan dari Rasul maka di dalamnya diikuti metode yang shahih untuk tafsir sebagai berikut:

1- Tafsir yang dinukilkan dari Rasul saw, jika shahih maka dinilai sebagai bagian dari hadits dan tidak dinilai sebagai tafsir dengan makna yang dikenal di kalangan mufassirin. Sebab apa yang shahih dari Rasulullah saw tentang penjelasan suatu ayat maka ketika itu menjadi nas tasyri’ seperti halnya al-Quran al-Karim.

2- Adapun tafsir yang dinukilkan dari para sahabat maka itu disukai. Para sahabat ridhwanullah ‘alayhim adalah manusia yang paling dekat kepada ash-shawâb (kebenaran/ketepatan) dalam tafsir al-Quran dikarenakan penguasaan penuh mereka dengan bahasa arab dan mulazamah mereka kepada orang yang kepadanya diturukan al-Quran yakni Rasul saw…

3- Tetapi, tetap metode yang baku dalam tafsir adalah bahasa arab dan as-sunnah an-nabawiyah dijadikan sebagai alat satu-satunya untuk memahami al-Quran dan menafsirkannya dari sisi mufradat (kata), tarkîb (frase dan kalimat)-nya dan dari sisi makna-makna syar’iy, hukum-hukum syara’ dan pemikiran-pemikiran yang memiliki fakta syar’iy… Maka jika shahih dari Rasulullah saw hadits yang menjelaskan ayat maka itu yang dijadikan sandaran. Jika tidak maka dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia disengaja kepada bahasa arab yang al-Quran al-Karim diturunkan dengan bahasa arab itu, tetapi diambil dari ahli bahasa yang menguasainya dengan mahir …

Ini adalah metode menafsirkan al-Quran yang wajib dijadikan pegangan oleh mufassir dan menjadi tugas orang yang menginginkan tafsir al-Quran al-Karim. Wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

25 Dzulhijjah 1439 H/5 September 2018 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/54788.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/907387166125022/%D8%9Ftype=3&theater

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/FyzUEqqd41J

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *