Protes Volume Adzan, Mengapa Tak Kepada Pabrik Pengeras Suara?
Oleh: Nindira Aryudhani | Relawan Opini dan Media | tinggal di Kediri
Meiliana, seorang perempuan Tanjung Balai yang mengeluhkan volume adzan, divonis 18 bulan penjara. Vonis tersebut karena Meiliana dianggap menista agama akibat mengeluhkan volume suara adzan masjid di dekat rumahnya pada 2016. Buntutnya, rumah Meliana dirusak warga.
Terkait peristiwa ini, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin turut angkat bicara, Rabu (29/8/2018). Din menyebut, kalau sekadar protes terhadap suara azan yang keras dan mengganggu orang lain di sekitar itu, kalau itu protes baik-baik, itu tidak masuk penistaan agama. Tapi kalau memprotes secara vulgar dengan menolak, menghina, dan mencaci maki, menjelek-jelekkan ajaran agama, apalagi agama orang lain, itu masuk kategori penistaan agama.
Setelah munculnya vonis, dukungan mengalir kepada Meiliana, baik dari kalangan masyarakat maupun politikus. Menurut informasi terakhir yang terakses di dunia maya, petisi ‘Bebaskan Meiliana!’ sudah ditandatangani oleh sekitar 50 ribu netizen. Bahkan, tindakan penistaan agama oleh Meiliana ini mendapat dukungan dari Jokowi. Sungguh, ini pembelaan yang serupa sebagaimana pada kasus penistaan Surat Al-Maidah ayat 51 yang lalu.
Vonis Meiliana nampak begitu diagitasi oleh media, sehingga kasus penistaan agama yang ia lakukan justru tak terlihat sebagai kesalahan utama. Padahal jika sekedar mempermasalahkan adzan, kasus ini jadi seolah hanya sederhana saja. Sementara jika umat Islam dinilai tak toleran karena Meiliana bukan seorang muslimah, toh sampai saat ini tidak pernah ada satu pun umat Islam yang komplain pada suara lonceng gereja. Ini karena umat Islam sangat menghargai kebhinekaan, sangat toleran. Dan jika sungguh-sungguh kasus Meiliana hanya sebatas mempermasalahkan adzan, mengapa protes itu tidak dilayangkan kepada pabrik pembuat alat pengeras suara saja agar alat yang diproduksinya bisa menghasilkan bunyi yang lebih enak didengar? Toh adzan tanpa pengeras suara juga tetap sah. Dan bukankah suara pas-pasan seorang biduan saja bisa ‘disulap’ jadi merdu dengan sebuah alat elektronik?
Tapi masalah terbesar dari umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini adalah berhadapan dengan penguasa yang anti Islam. Termasuk di tanah air kita. Buktinya, telah begitu banyak kebijakan yang kontra dan menindas terhadap umat Islam. Jika Islam yang dinodai, dinista, tidak ada sepatah kata pun ungkapan pembelaan. Sebaliknya, jika tuduhan terhadap umat Islam, penguasa begitu bersegera turut mengadili Islam dengan dalih demi toleransi, tenggang rasa, juga deradikalisasi. Jadi kalau begitu, kapan Islam akan dibela oleh penguasa? Nyatanya, semua elemen Islam jika sudah dekat dengan Istana, mereka jadi mendadak menyerang Islam.
Lihat saja, pengusung Islam kaffah mendadak dianggap kurang nusantara dan anti bhineka. Para ulama garis lurus mendadak dikriminalisasi. Para ustadz yang kritis mendadak jadi pesakitan pengadilan. Sungguh ini tak ubahnya adu domba di dalam tubuh umat Rasulullah ﷺ ini. Bahkan hingga volume adzan pun harus tunduk pada aturan penguasa yang tak masuk akal. Apalagi jika kemudian kasus Meiliana ini dijadikan pemantik menghapus pasal penodaan agama, dampaknya tentu lebih berbahaya. Bukan tidak mungkin, Islam jadi makin mudah ternista.
Namun ingatlah, kebenaran di setiap masa pasti menemukan jalannya. Dalam Islam, yang haq dan yang bathil sudah jelas. Tak ada yang abu-abu. Oleh karenanya, penguasa selaku pengambil kebijakan hendak berpihak ke bandul yang mana?[]