Rupiah Semakin Anjlok, Bisakah Indonesia Selamat
Oleh : Septa Yunis | Staf Khusus Muslimah Voice
Rupiah semakin terpuruk, hingga saat ini menembus angka yang fantastis. Terpuruknya rupiah saat ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya hal ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia yang semakin tidak stabil. Biaya impor semakin mahal, selain itu menyempitnya ruang fiskal yang berdampak negara semakin berat membayar hutang luar negeri. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menanggung. Pemerintah akan menekan rakyat dalam sektor pajak untuk menutupi utang luar negeri.
Dilansir dari CNBC.com (14/82018) Bank Indonesia (BI) memberikan penjelasan soal nilai tukar rupiah yang menembus level psikologis baru. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tertekan hingga Rp 14.600/US$. hal ini disebabkan tingginya CAD (Current Account Deficit/Defisit Transaksi Berjalan) dan inflasi, faktor non ekonomi terkait confidence market yang turun atas kepemimpinan Presiden Turki sangat dominan memengaruhi nilai tukar dan volatilitas di pasar keuangan Turki.
Lira, mata uang Turki anjlok hampir mendekati rekor terendah 4,92. Sejak awal tahun nilai mata uang Turki (lira) terus menghadapi depresiasi. Ini karena lira tak diproteksi terhadap spekulasi mata uang mana pun sejak kudeta gagal pada 2016. Kejatuhan lira terhadap dolar AS kian cepat setelah pemilihan presiden pada Juni silam ketika petahana Recep Tayyip Erdogan terpilih kembali dengan kekuasaan yang sangat besar. krisis moneter Turki tak lepas dari sanksi ekonomi AS dan perselisihan politik kedua negara anggota NATO tersebut. Sejak 10 Agustus, AS meningkatkan dua kali lipat tarif impor aluminium dan baja dari Turki, masing-masing sebesar 20 persen dan 50 persen, hingga menyebabkan nilai tukar mata uang Turki (lira) terhadap dolar AS makin anjlok sampai 40 persen.
Hal tersebut akan berdampak kepada perekonomian Indonesia yang dikendalikan oleh AS. Kebijakan moneter luar negeri Amerika Serikat yang ingin menaikkan suku bunga acuan juga menjadi faktor utama melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Semakin lemah kurs rupiah menandakan semakin tidak berharganya rupiah terhadap dolar.
Namun faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai tukar mata uang adalah penggunaan uang kertas (fiat money). Fiat money adalah uang yang diterbitkan oleh pemerintah dan dilindungi oleh hukum suatu negara. Dalam penggunaannya fiat money digunakan sebagai sarana pembayaran utang dan berbagai transaksi ekonomi baik domestic maupun internasional. Fiat money bisa digunakan dalam transaksi hanya karena adanya keputusan hukum. Sejak berakhirnya perang dunia pertama Fiat dipaksakan penggunaannya di seluruh dunia, Dan uang emas dan perak mulai ditinggalkan.
Namun, penggunaan fiat money ini malah menjadi akar permasalahan ekonomi saat ini. Pasalnya, fiat money adalah uang ini tidak memiliki nilai intrinsik selain harga bahan uang itu sendiri. Selisih antara intrinsik dan nominal ini disebut siagnore yang bisa dijadikan lahan bisnis oleh penguasa. BI dengan mencetak fiat money akan mendapatkan keuntungan dari siagnore walaupun sangat kecil. Namun demikian, pencetakan fiat money tidak seenaknya dilakukan karena akan terjadi inflasi dimana rupiah yang beredar lebih banyak sehingga harga kebutuhan semakin tinggi. Dengan kondisi demikian maka penerbitan uang ini tanpa didasari dengan jaminan akan kestabilannya di masa yang akan datang.
Selain dapat keuntungan dari siagnore, fiat money juga menjadi lahan bisnis dengan diperjual belikan yang disebut valuta asing atau valas. Di dalam valas pergerakan mata uang dari jam per jam selalu berubah. Lagi-lagi para pemilik modal lah yang mengendalikan pergerakan tersebut.
Dalam sistem moneter internasional, untuk transaksinya disyaratkan harus menggunakan mata uang yang merupakan hard currency. Seperti Dolar, Euro, Yen, dan Pound Sterling. Akan tetapi karena cadangan devisa kebanyakan negara di dunia adalah Dolar AS maka setiap transaksi dikonversikan ke dalam Dolar AS terlebih dahulu. Inilah kelicikan AS sebagai penguasa perekonomian dunia.
Dengan begitu, kita sangat membutuhkan alat transaksi yang tidak bisa dimonopoli dan diperjual belikan, yaitu dengan menggunakan uang emas dan perak, dirham dan dinar. Seperti ketika peradaban Islam memimpin dunia. Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter (masyakil naqdiyyah), seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan anjloknya daya beli. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS dalam bukunya The Golden Constant telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil. (Nurul Huda dkk, 2008:104).
Dengan mata uang emas dan perak dan dengan diterapkan sistem ekonomi Islam akan memunculkan sitem ekonomi yang tahan krisis. Demikianlah solusi Islam mengatasi merosotnya nilai mata uang. Hal ini tidak bisa diterpakan dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini. Sistem ekonomi islam hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam.