Antara Sekulerisme dan Rezim Pseudo

 Antara Sekulerisme dan Rezim Pseudo

Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)

Dahaga di dunia Muslim untuk tegaknya kepemimpinan Islami yang tulus dapat dipahami oleh banyak fakta dan isyarat perhatian Umat Islam untuk mewujudkan kepemimpinan Islami, ini menjalar di setiap sudut dan setiap bagian dimensi umat di dunia Muslim. Namun bukan hal baru bahwa penguasa di dunia Muslim melihat fenomena ini dan mengeksploitasi umat Islam untuk memenuhi hasrat politik umat untuk memenangkan motif kekuatan asing.

Ada pemimpin yang mengeksploitasi  istilah perjanjian Hudaibiyah, demokrasi adalah syuro, jihad politik, sebagaimana istilah yang awalnya asing seperti nasionalis relijius, sosialisme Islam, dll. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa umat Islam menginginkan Islam dan oleh karena itu ide-ide asing ini membutuhkan pembungkusan yang rapi agar dapat dirangkul dan diterima di dunia Muslim.

Sedangkan mitos kepahlawanan Recep Tayyip Erdogan telah memberi warna bagi sebagian umat Islam. Padahal Recep Tayyip Erdogan telah berkali-kali menegaskan bahwa partainya tidak memiliki agenda Islam. Ketika ia menjadi pemimpin, ia menyatakan bahwa “AKP bukanlah  partai politik berporos agama.” Demikian juga ia secara kategoris menyerukan penyelarasannya dengan doktrin demokrasi liberal dengan pernyataan “Kami akan mulai bekerja pada konstitusi baru segera untuk mendukung demokrasi dan liberalisme, ”Ini jelas menunjukkan fakta bahwa Erdogan dalam kata-katanya sendiri memiliki agenda liberalisme, sekulerisme dan demokrasi. Lalu sebagian Muslim masih mempromosikan dirinya sebagai pahlawan.

Fakta Erdogan berbeda dengan fakta bahwa Umar bin Al Khattab (ra). Adalah Umar (ra) seorang penguasa yang membawa syiar Islam melalui sebuah negara ke seluruh dunia, dan hanya menerapkan Islam, tidak bergabung dengan aliansi dengan musuh-musuh Muslim seperti NATO. Dia tidak punya teman di antara non-Muslim, seperti Putin, Benjamin Netanyahu, Trump dan dia tidak kagum terhadap Abu Jahl, kalau pada masa abad XX seperti Mustafa Kamal.

Ada banyak pemimpin yang menganjurkan sekularisme, sebuah pemisahan antara agama dari kehidupan dan mencoba menyajikannya sebagai kompatibel dengan Islam. Pertanyaannya apakah mereka benar-benar tahu sekularisme? Atau apakah mereka mempermainkan emosi rakyat?

Sekarang kita harus mempertimbangkan orang yang pertama kali membawa ide sekularisme. Adalah George Jacob Holyoake, penemu kata “sekularisme,” mendefinisikan sekularisme dalam istilah nyata sebagai berikut: ‘Sekularisme adalah sebuah kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan yang didasarkan pada pertimbangan akal murni manusia, terutama bagi mereka yang menemukan teologi tidak terbatas atau tidak memadai, tidak dapat diandalkan atau tidak dapat dipercaya. Lalu apakah para intelektual dan penguasa pseudo di dunia Muslim itu masih belum menyadari arah sekulerisme? Atau ketika mereka sadar, maka pertanyaannya adalah apakah mereka menemukan Islam tidak terbatas, tidak memadai, tidak dapat dipercaya?

Padahal semua problem yang muncul yang terjadi pada kaum Muslim harus disandarkan melalui perspektif al Quran dan as Sunnah. Namun, sayangnya, karena dominasi sistem sekularisme dan rezim sekuler selama hampir satu abad di dunia Muslim, sebagian muslim baru menyesuaikan diri kepada Al-Qur’an dan as Sunnah hanya jika masalah yang berkaitan dengan ritual dan ibadah. Tetapi jika masalah ini terkait dengan ekonomi, politik, dan masalah publik, Islam tidak dilirik.

Ironisnya, jika masalah yang bersangkutan terkait dengan isu-isu politik atau internasional, misalnya jika terkait dengan kerjasama dengan lawan di dunia muslim seperti di organisasi NATO, atau jika terkait dengan hubungan bilateral yang ramah dengan Rusia dan secara pribadi Putin, yang terlibat dalam kejahatan terhadap Muslim Kaukasus Utara, wilayah Volga dan Krimea, dan yang juga berpartisipasi dalam penganiayaan Muslim di Asia Tengah, atau jika terkait dengan masalah tindakan barbar Israel, maka umat Islam jatuh ke dalam perpecahan akut dan diskusi tentang kebolehan atau pelarangan tindakan tersebut.

Inilah cuplikan fakta yang karena dominasi sekularisme di dalam pikiran sebagian umat Islam, terutama karena ketidakmampuan atau keengganan umat untuk menjadikan Islam dalam asas dalam berpolitik, ekonomi dan sistem Negara. Sebaliknya atas nama logika, penggunaan kaidah “Ahwan Asy-Syarrayn” ditempatkan secara tidak tepat untuk menolak penerapan syariah Islam secara kaffah, dan argumen tidak pantas lainnya, yang bertujuan untuk membenarkan posisi dan tindakan mereka yang disebut penguasa kapitalis di negeri muslim.

Bahkan ada sebagian muslim menuding penegakan syariah dan khilafah yang menerapkan hukum Allah, sebagai ancaman dan dianggap makar. Sementara mereka membiarkan boneka-boneka Amerika menyerukan negara sipil republik sekuler. Padahal sistem inilah yang menghasilkan diktator “Bashar”, al Sisi dan yang lainnya. Lalu bagaimana bisa kita menerima kelompok orang yang menyerukan sistem itu? Sementara masyarakat di banyak Negara telah merasakan banyak kepahitan dari rezim-rezim diktator ini. Rezim-rezim ini telah membuat kehidupan mereka diliputi penderitaan bertumpuk-tumpuk. Sungguh kini masyarakat menginginkan Islam yang terpancar dari akidah mereka. Dengan itulah mereka akan meraih kebahagiaan dan kemuliaan.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *