Hukum Fiqih Seputar Qurban
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Definisi
“Qurban” disebut “Udhhiyyah”. Dalam fiqih, “Udhhiyyah” adalah hewan ternak yang disembelih pada Hari Nahr, dengan niat untuk mengerjakan kesunahan.
“Udhhiyyah” hukumnya sunah, sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih, maka hendaknya dia tidak memotong rambut dan kukunya.” [Hr. Muslim][1]
Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama, yang menyatakan, “Wa Arada Ahadukum an Yudhahhiya” [salah seorang di antara kalian ingin menyembelih], mempunyai konotasi sunah, bukan wajib.
Pekurban
Qurban tidak ditetapkan, kecuali terhadap orang yang memenuhi syarat:
- Islam: karena qurban merupakan ibadah, dan ibadah tidak diberlakukan, kecuali terhadap kaum Muslim. Sedangkan non-Muslim tidak.
- Mukim: qurban hanya berlaku untuk orang mukim, bukan musafir.
- Kaya: qurban hanya berlaku bagi orang yang mempunyai nafkah untuk Hari Raya, dan dana untuk qurban, dan telah menyelesaikan kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan dan pangan. Bisa ditambahkan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
- Tidak harus baligh dan berakal: qurban boleh dilakukan oleh wali anak-anak kecil dan orang gila, karena qurban merupakan nafkah yang diberikan secara makruf, yang disyariatkan untuk harta.
- Niat berkurban: Karena niat bisa membedakan antara sembelihan yang merupakan tradisi, dengan qurban yang merupakan ibadah.
- Qurban orang yang berhutang: membayar hutang harus didahulukan ketimbang berkurban, meski orang yang berhutang tersebut tidak ditagih untuk membayar hutangnya.
- Qurban untuk orang yang sudah meninggal: Qurban boleh diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, dan insya Allah, bermanfaat bagi mayit.
- Menyembelih dengan tangan sendiri: bagi orang yang berkurban lebih baik menyembelih qurban dengan tangannya sendiri, atau menyaksikan sembelihannya. Meski boleh juga digantikan oleh orang lain.
Hewan Qurban
Disyaratkan hewan yang dikurbankan harus:
- Hewan ternak: Hewan ternak [al-an’am] tersebut adalah unta [al-ibil], sapi [al-baqar], kerbau [al-jamus], kambing [al-ghanam] dan biri-biri [al-ma’iz].
- Umur: Disyaratkan untuk unta, sapi dan kerbau harus tsaniyya. Untuk unta harus 5 tahun. Untuk sapi dan kerbau harus 2 tahun. Kambing [biri-biri/Ma’iz] harus 1 tahun. Kambing domba [Dha’n] disyaratkan harus jad’u. Usia jad’u adalah 6 bulan.
- Jumlah Qurban: 1 domba atau biri-biri boleh untuk 1 orang, atau 1 keluarga, misalnya seorang pria dan anak-anaknya. 1 unta atau sapi untuk 7 orang.
- Selamat dari cacat yang berat: Qurban adalah persembahan yang dipersembahkan kepada Allah SWT, karena itu harus layak dipersembahkan. Karena itu, qurban ini syaratnya harus selamat dari cacat yang berat. Cacat berat itu antara lain, buta, pincang, telinga, tangan dan kaki terpotong, sakit dan kurus sekali. Ini berdasarkan riwayat al-Barra’ bin ‘Azib, berkata, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallama, berdiri di antara kami, lalu bersabda:
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِي الأَضَاحِيْ: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهَا، وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِيْ لاَ تَنْقِي
“Empat yang tidak boleh dijadikan qurban: cacat yang berat, yang jelas sekali cacatnya. Sakit, yang jelas sekali sakitnya. Pincang yang jelas sekali pincangnya. Patah yang tak te..” [Hr. Abu Dawud, Ibn Majah, an-Nasa’i] [2]
Qurban juga harus dipilih dari hewan yang paling disukai. Karena apa yang paling disukai oleh seseorang, jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka itu lebih baik ketimbang yang lain. Meski kedunya nilainya sama.
Siapa saja yang membeli hewan qurban yang baik dan layak, lalu terbukti mempunyai cacat, setelah dibeli, maka boleh diganti dengan yang lain, yang baik, juga boleh tetap dengan menyembelih yang cacat.
- Waktu Penyembelihan: Penyembelihan hewan qurban dimulai setelah shalat Idul Adhha, dari tanggal 10 Dzulhijjah, hingga matahari tenggelam, pada tanggal 13 Dzulhijjah.
- Tempat Penyembelihan: Apa saja yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah halal, selain tanah haram Makkah, disebut qurban [udhhiyyah]. Sedangkan apa yang disembelih pada hari-hari Nahr, di tanah haram Makkah, disebut Hadyu.
- Penggantian Qurban: Jika membeli kambing, dan diniatkan sebagai qurban, maka hewan qurban boleh diganti yang lain, jika:
- hewan qurban tersebut cacat, maka boleh diganti dengan yang lain.
- Jika ingin mengganti, diganti dengan yang lain, yang lebih baik, tanpa cacat.
- Tidak boleh diganti dengan dirham [uang]. Jika itu dilakukan, maka statusnya sedekah biasa, bukan qurban. Menyembelih qurban lebih baik ketimbang menyedekahkan harga [dana]-nya. Karena, mengalirkan darah di hari Nahr, adalah ibadah.
- Memanfaatkan Daging Qurban: Disunahkan untuk daging qurban, sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dimakan, dan sepertiga untuk dihadiahkan. Daging qurban yang dimakan boleh disimpan pada saat-saat lapang, tetapi pada saat sulit, terjadi kemiskinan dan putus asa, makruh disimpan.
Tata Cara Menyembelih
- Batasan Menyembelih: Menyembelih [dzabh] adalah memotong tenggorokan, dua urat leher [wadijain], yaitu dua urat yang mengalirkan darah ke otak.
- Dampak Sembelihan pada Hewan: Hewan bisa dibagi menjadi dua: (a) Hewan yang dagingnya bisa dimakan; (b) Hewan yang dagingnya tidak bisa dimakan.
- Hewan yang Bisa Dimakan Dagingnya: Hewan yang bisa dimakan dagingnya bisa dibagi menjadi dua: (a) Hewan yang mempunyai darah, dan mengalir; (b) Hewan yang tidak mempunyai darah, yang mengalir.
- Hewan yang Mempunyai Darah yang Mengalir: Hewan jenis ini bisa dibagi lagi: (a) Hanya hidup di air; (b) Hidup di darat; (b) Hidup di dua alam [darat dan air], atau ampibi.
- Hewan yang Hidup di Air: Hewan yang hanya bisa hidup di dalam air, contohnya seperti ikan, maka boleh dimakan tanpa disembelih. Ini berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
هُوَ طَهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Itu adalah suci airnya, dan halal bangkai [mayit]-nya.” [Hr. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan An-Nasa’i] [3]
- Hewan yang Hidup di darat: Jika hewan tersebut hidup di darat, atau hidup di air, tetapi keluar dari air, seperti anjing laut, maka tidak halal dimakan, kecuali dengan disembelih, dengan penyembelihan yang syar’i.
- Hewan yang tidak Mempunyai Darah: Mengenai hewan yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, maka boleh dimakan, sekalipun tidak disembelih. Karena alasan kerusakannya ada pada darah. Karena itu, kalau hewan tersebut tidak mempunyai darah, maka hewan tersebut tidak mempunyai alasan kerusakan.
- Hewan yang Tidak Boleh Dimakan: Hewan jenis ini ada dua: (a) Suci ketika hidup; (b) Najis ketika hidup. Adapun hewan yang suci selama hidupnya, adalah semua hewan, kecuali babi dan anjing. Maka, hewan yang suci [tapi tidak boleh dimakan] tersebut, jika disembelih, daging dan kulitnya suci, tetapi dagingnya tetap haram. Tidak halal dimakan. Jika mati, tanpa disembelih, maka najis, karena tidak disembelih. Karena penyembelihan ini menjadi alasan kerusakannya. Tetapi, jika hewan tersebut najis ketika hidup, maka tetap najis, baik disembelih maupun tidak.
- Penyembelih: Orang yang menyembelih hewan sembelihan ini disyaratkan harus: (a) Berakal; (b) Mumayyiz;[4] (3) Muslim; (4) Ahli Kitab [Yahudi/Nasrani]. Karena itu, sembelihan orang gila tidak halal. Begitu juga sembelihan anak kecil, yang belum Mumayyiz. Juga sembelihan orang Majusi atau Musyrik yang lainnya. Karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallama telah meneken perjanjian dengan Majusi Hajar:
صَالَحَ مَجُوْسَ هَجَرَ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمُ الْجِزْيَةَ، غَيْرَ مُسْتَحِلِّ مُنَاكَحَةِ نِسَائِهِمْ، وَلاَ أَكْلَ ذَبَائِحِهِمْ
“Mengambil jizyah dari mereka, perempuan mereka tidak halal dinikahi, dan sembelihan mereka tidak halal dimakan.” [Hr. Abu Yusuf] [5]
Juga tidak halal sembelihan orang yang kekufurannya lebih kuat ketimbang Majusi, seperti orang Musyrik [Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain], orang Murtad dari Islam, meski dia murtad menjadi Yahudi atau Nasrani. Juga orang Ateis, yang tidak mengimani salah satu agama, juga orang yang diklaim Muslim, tetapi sektenya divonis Kafir, seperti Nushariyyah atau ‘Alawiyyah dari kalangan Syiah, atau Ahmadiyyah.
- Hewan yang Disembelih: Syarat hewan yang disembelih, meski halal dimakan, adalah hewan yang: (a) Tidak dinyatakan keharamannya untuk dimakan oleh syara’, seperti babi, anjing, atau hewan yang memiliki taring, atau burung yang memiliki cakar. (b) Hidup dengan kehidupan yang stabil, ketika disembelih. Kehidupan yang stabil bagi hewan adalah kehidupan yang memungkinkannya untuk melakukan gerakan. Adapun kehidupan yang tidak stabil adalah kehidupan saat disembelih. Kehidupan yang kehilangan dari gerakan bebas hewan tersebut. (c) Jika hewan yang disembelih itu bunting, kemudian dari perutnya keluar janin, maka janinnya boleh dimakan tanpa disembelih. Berdasarkan sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan untuk janin mengikuti sembelihan induknya.” [Hr. Abu Dawud dan at-Tirmidzi] [6]
- Hewan yang disembelih itu bukan hewan buruan tanah Haram. Karena hewan buruan yang ditangkap di tanah Haram, tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dimakan.
- Alat Sembelihan: Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah alat yang bisa memotong. Makruh menyembelih dengan menggunakan gigi, kuku dan alat-alat sejenis lainnya, padahal ada alat yang bisa digunakan untuk memotong. Sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallama:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَّ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوْا، لَيْسَ السِّنُّ وَالظَّفْرُ
“Apa yang bisa mengalirkan darah, dan ketika disembeli disebut nama Allah, maka makanlah. Tetapi, bukan gigi dan kuku.” [Hr. Bukhari] [7]
Membaca “Basmalah” Saat Menyembelih
- Hukum Membaca “Basmalah”: Menyebut asma Allah SWT, dan tujuan menyembelih semata untuk Allah, hukumnya wajib. Karena itu, sembelihan tidak boleh dimakan, jika ditujukan kepada yang lain, selain Allah SWT. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
﴿فَكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ، إِنْ كُنْتُمْ بِأَيَاتِهِ مُؤْمِنِيْنَ﴾
“Maka, makanlah apa yang ketika disembeli disebut nama Allah, jika kalian benar-benar mengimani ayat-ayat-Nya.” [Q.s. al-An’am: 118]
- Jika Lupa Membaca “Basmalah”: Jika saat menyembelih lupa membaca “Basmalah”, tetapi sembelihan tersebut memang disembelih karena Allah, maka sembelihan tersebut tetap boleh dimakan, baik penyembelihnya Muslim, maupun Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi].
- Jika Penyembelihnya Diam: Jika saat menyembelih, penyembelihnya diam, maka hukum sembelihannya tetap halal dimakan, baik penyembelihnya Muslim, maupun Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi]. Karena, dzann [dugaan] terhadap kaum Muslim, bahwa dia tidak menyembelih, kecuali semata karena Allah. Sementara Ahli Kitab, baginya membaca “Basmalah” tidak wajib dalam ajaran agamanya, karena sembelihannya halal dimakan. Ahli Kitab [Nasrani atau Yahudi], biasanya memang tidak menyebut asma Allah ketika menyembelih. Meski begitu, Allah tetap menghalalkan kita memakan sembelihannya, berdasarkan firman Allah SWT:
﴿وَطَعَامٌ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ﴾
“Makanan orang-orang Ahli Kitab itu halal bagi kalian.” [Q.s. al-Maidah: 05]
- Jika Selain Nama Allah yang Disebut: Jika dalam penyembelihan tersebut bukan nama Allah yang disebut, tetapi yang lain, maka sembelihan tersebut haram dimakan, sekalipun yang menyembelih adalah orang Islam, atau Ahli Kitab [Yahudi atau Nasrani].
- Waktu Membaca “Basmalah”: Waktu membaca “Basmalah” yaitu saat menyembelih, atau tidak lama sebelum menyembelih. Jika membaca “Basmalah”-nya belakangan, atau antara penyembelihan dengan membaca “Basmalah” tersebut dipisah dengan waktu yang lama, misalnya, setelah membaca “Basmalah” kemudian tidur, lalu bangun, setelah itu baru menyembelih hewan sembelihannya, maka ini tidak termasuk membaca “Basmalah”.
- Siapa yang Membaca Bacaan “Basmalah”? Bacaan “Basmalah” dibaca oleh penyembelihnya, karena itu tidak sah, jika yang membaca “Basmalah” orang lain, sementara penyembelihnya tidak membaca. Atau, bacaan “Basmalah”-nya direkam, kemudian rekaman tersebut diputar, sehingga bisa diulang-ulang, ketika penyembelih tersebut menyembelih hewan sembelihan, maka ini pun tidak bisa dihukumi membaca “Basmalah”. Karena yang membaca bukan penyembelihnya, tetapi rekaman.
Tata Cara Menyembelih
Proses penyembelihan tersebut berbeda-beda mengikuti kondisi hewan yang disembelih. Karena hewan tersebut adakalanya bisa disembelih secara syar’i, dan adakalanya tidak.
- Hewan yang Bisa Disembelih: Hewan ini bisa berupa unta, atau yang lain. Jika yang disembelih tersebut adalah unta, maka kaki depan dan belakangnya sebelah kiri diikat, kemudian pangkal lehernya disembelih, dalam keadaan sambil berdiri menghadap kiblat. Tetapi, jika hewan tersebut bukan unta, maka ditidurkan miring, dimana lambung sebelah kiri di bawah, kemudian disembelih menghadap kiblat.
- Bagian Yang Harus Dipotong: Dalam menyembelih hewan sembelihan, ada 4 urat yang harus putus, saat penyembelihan. (a) Tenggorokan [hulqum]; (b) 2 urat leher [wadijain]; (c) kerongkongan [mari’]. Jika tiga dari empat urat ini terputus, maka sah.
Namun, ketika hewan tersebut disembelih dari tengkuk, hingga tulang lehernya terputus, lalu mati, tetapi empat uratnya justru belum terpotong, maka sembelihan seperti ini tidak boleh dimakan. Tetapi, ketika tulang lehernya terputus, seketika juga diikuti dengan terputusnya empat urat tadi, maka halal dimakan. Karena itu, makruh hukumnya menyembelih dari tengkuk, karena menyiksa hewan sembelihan.
- Disunahkan Segera: Dalam penyembelihan, disunahkan untuk sesegera mungkin. Ini sebagaimana sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ كَتَبَ الإحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذَّبْحَ، وَلْيَحُدَّ أَحَدُكُمْ شَفَرَتَهُ، وَلْيُرحِ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan [sempurna dalam menunaikan kebaikan] dalam segala hal. Jika kalian membunuh [hewan buruan], maka berbuatlah baik terhadap buruanmu. Jika kalian membunuh, maka berbuat baiknya terhadap sebelihanmu. Hendaknya salah seorang di antara kalian mengasah [menajamkan] mata pisaunya, dan tidak menyakiti sembelihannya.” [Hr. Muslim] [8]
- Disunahkan Menguliti Saat Sudah Tidak Bernyawa: Hewan yang sudah disembelih tidak boleh segera dikuliti, kecuali setelah benar-benar ruhnya sudah lepas dari jasadnya. Karena disunahkan menguliti setelah ruhnya lepas, begitu juga memotong-motong bagian tubuhnya yang lain.
Hewan yang Tidak Bisa Disembelih
Mengenai hewan yang tidak bisa disembelih, bukan karena haram disembelih, tetapi karena buas atau liar. Misalnya, kerbau atau sapi liar, yang susah dijinakkan, sehingga tidak bisa disembelih sebagaimana kriteria penyembelihan yang telah dijelaskan di atas, baik karena tidak mungkin disembelih, atau mungkin karena terperosok di dalam sumur, dan sejenisnya, maka hewan seperti ini diperlakukan seperti hewan buruan.
Karena itu, sebagaimana status hewan buruan [shaid], boleh dibunuh dengan mengalirkan darah dari badannya, dari posisi mana pun. Tidak harus dari leher, atau empat urat yang biasa disembelih. Telah diriwayatkan dari Abu al-Asyra’ dari ayahnya, berkata:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَمَّا تَكُوْنُ الذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ؟ قَالَ: لَوْ طَعِنْتَ فِي فَخِذِهَا أَجْزَأَ عَنْكَ
“Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukanlah penyembelihan itu di tenggorokan dan leher? Baginda saw menjawab, “Kalau kamu menikamnya di pahanya [hingga mati], maka [tikaman] itu pun cukup bagimu.” [Hr. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i] [9]
Khatimah
Ini ketentuan hukum fiqih tentang qurban. Bagi yang ingin mendalaminya, termasuk rincian perbedaan di kalangan ulama’ di dalamnya, maka hendaknya merujuk kitab-kitab muktabar. Karena yang ditulis di sini hanyalah ringkasan secara umum dari pandangan mereka.
Referensi
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I.
Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H.
Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
Abu Yusuf, al-Kharaj, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
[1] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, al-Adhahi, Bab Nahyi Man Dakhala ‘alaihi Dzi al-Hijjah; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz I/221.
[2] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Adhahi, Bab Ma Yukrahu min ad-Dhahaya; An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, al-Adhahi, Bab al-Arja’.
[3] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bab al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Fi at-Thaharah Bab Ma’ al-Bahr Innahu Thahurun, An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Bab al-Wudhu’ bi Ma’ al-Bahr
[4] Mumayyiz adalah isim fa’il dari Mayyaza-Yumayyizu, yaitu anak yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah ber-bagai hal. Mumayyiz juga bisa didefinisikan sebagai anak yang telah mampu memahami seruan [khithab], memberikan jawaban, bisa memilah antara yang manfaat dan mudarat. Tidak ada batasan umur baku, tetapi bisa berbeda, antara orang satu dengan yang lain. Lihat, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1426 H, hal. 429-430.
[5] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.
[6] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi al-Adhahi Bab Dzakatu al-Janin; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, fi al-Ath’imah, Bab Dzakatu al-Janin.
[7] Lihat, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 129.
[8] Lihat, Muslim, Shahih Muslim, Bab al-Amr Bi Ihsan ad-Dzabh wa al-Qatl
[9] Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, fi Adhahi Bab Dzabitu al-Mutaraddiyah; at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Bab ad-Dzakatu fi al-Halaq wa al-Labbah; an-Nasa’I, Sunan an-Nasa’i, fi al-Mutaraddiyatu fi al-Bi’r al-Lati la yushalu ila Halqiha.