Lapas, Suap dan Diskriminasi, Sampai Kapan Begini…
Oleh: Nur Rakhmad, SH.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin Bandung Wahid Husein (WH) atas dugaan penerimaan suap dan jual beli fasilitas lapas. Fenomena pejabat lembaga permasyarakatan (lapas) Sukamiskin Bandung yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan pada Sabtu (21/7) lalu kita khawatirkan sebagai fenomena gunung es. Bisa jadi situasi serupa berpotensi juga terjadi di lapas yang lain.
Masalah ini perlu diantisipasi dengan baik oleh pemerintah agar para pejabat bersih dari tindak pindana KKN. Pembenahan system lapas sangat diperlukan, sebuah sistem yang baik harus mampu menutup peluang adanya indikasi kongkalikong antar petugas dengan warga binaan. Aturan sedapat mungkin mengedepankan tertib hukum dan tertib aturan dalam lapas, serta penguatan integritas para petugasnya lapas. Dengan adanya integritas yang baik, maka peraturan yang ada pun akan dapat diimplementasikan secara tepat.
Kita menyadari dengan kondisi hukum yang sangat rentan dimanipulasi. Misalnya, hukum terkait hadiah. Dalam timbangan syariah Islam, telah dengan jelas merinci hukum-hukum soal hadiah yang boleh dan tidak boleh, termasuk bila untuk seorang pejabat.
Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Salah satu ‘efek samping’ dari diberlakukannya hal tersebut adalah, orang-orang akan sangat kesulitan untuk melakukan aktivitas ‘suap-menyuap’.
Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Bisa jadi secara umum, ‘penghasilan’ yang sedikit mendorong seseorang untuk melakukan pencurian, korupsi, dan sebagainya; untuk memenuhi keperluan hidupnya. Apalagi kalau justru rugi lantaran biaya kampanye lebih besar daripada gaji bersihnya? Maka, untuk lebih meminimalisir tindak kriminal tersebut, perlulah adanya upaya untuk mencukupi keperluan-keperluan seseorang. Termasuk, keperluan seorang pegawai negeri.
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya Rumah, hendaklah dia mengambil Rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Rekrutmen SDM aparat negara, wajib berasaskan integritas dan profesionalitas. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari).
Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Dari 2 riwayat tersebut, jelaslah siapa saja yang hendak menjadi aparatur peradilan, maka mereka harus kredibel, terpercaya, andal (mampu), dan memenuhi kapabilitas, serta tentu kepribadiannya harus Islami. Tidak boleh sembarang bisa menjabat hanya karena ada ‘hubungan dekat’ ataupun sogokan uang.
Terkait standar system, oknum, kesadaran, dan hukum, Islam memiliki langkah preventif mencegah kasus korupsi dan suap. Pada praktiknya, langkah preventif dan kuratif dalam paradigma Islam telah berhasil meminimalisir terjadinya kasus korupsi di Daulah Islam dari zaman Rasul hingga Turki Utsmani dahulu. Jika kelak akan diterapkan lagi sehingga kelak kasus korupsi bisa terminimalisir.[]