Cina Melesat Tapi Rapuh, Mengapa?
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
Cina beranjak menjadi adidaya. Cina telah membuat kemajuan yang signifikan, kita perlu bertanya apakah pertumbuhannya cepat dan berkelanjutan?
Obama sendiri pernah menyatakan, “Amerika menghadapi ambisi-ambisi Cina bukan hanya secara regional.” Reuters (24/6) mengabarkan Cina telah meminta dukungan lebih besar dalam organisasi global seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal itu sejalan dengan pertumbuhan kekuatan ekonomi dan diplomatik Cina. Presiden Xi telah mengambil pendekatan yang lebih ‘berotot’ dengan menyiapkan badan global milik Cina, sejak mulai menjabat pada akhir 2012. Badan global itu seperti Bank Investasi Infrastruktur Asia. Cina juga meluncurkan proyek Belt and Road yang bersejarah untuk membangun Jalur Sutra baru.
Dalam hal perdagangan, Cina beranjak menjadi lebih berani. Melihat keberanian Cina melayani perang dagang dengan AS, memungkinkan perubahan menjadi perang dalam skala penuh. Langkah Cina untuk memangkas ekspor minyak AS adalah strategis dan menunjukkan bahwa kepercayaan diri Tiongkok untuk mengambil Amerika semakin kuat dari hari ke hari.
China telah menjadi ekonomi terbesar di dunia setelah AS, menggantikan Jepang, serta telah menggantikan Jerman sebagai eksportir terbesar dunia dan sekarang bahkan mengkonsumsi lebih banyak minyak Saudi setelah Amerika Serikat. Kemunculan pesat Cina di peta global dalam 30 tahun terakhir telah mengejutkan banyak orang, membingungkan orang lain dan beberapa orang menandai pergeseran kekuatan global. Tiongkok saat ini memproduksi sebagian besar barang-barang konsumsi dunia dan banyak yang mewakili alternatif bagi Barat yang eksploitatif. Perkembangan ekonomi Cina mengarah pada pergeseran geopolitik dari barat ke timur ketika ekonomi Barat bergulat di ambang resesi kedua dalam beberapa tahun. Banyak yang berpikir bahwa China mampu menggantikan AS sebagai ekonomi terdepan di dunia dalam waktu dekat.
Para analis telah mengamati bangkitnya Cina sebagai tantangan terbesar terhadap Amerika Serikat (AS) dan banyak anggapan bahwa Cina akan berkembang menjadi negara adidaya. Cepatnya Cina menjadi negara yang diperhitungkan dalam peta politik dunia membuat banyak kalangan terkejut dan memprediksi adanya pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur.
Melihat Cina yang tidak pernah menjadi kekuatan politik dan sejarah masa lalunya yang kelam akibat penjajahan brutal oleh Jepang selalu menjadi memori bagi Cina di masa paska Perang Dunia II. 60 tahun Revolusi pada negara terbesar di dunia merupakan realita baru dan untuk pertama kalinya diperhitungkan sebagai kekuatan adidaya.
Perubahan penting dari kebijakan luar negeri Cina patut dicermati. Cina telah meninggalkan mentalitas yang memandang dirinya sebagai korban (victim mentality) akibat penderitaan selama 150 tahun dan mengadopsi mentalitas adidaya (great power mentality-daguo xintai). Konsekuensinya, Cina mulai mengambil peran aktif dalam isu global, dimana generasi penggeraknya belum lahir semasa Revolusi Cina sehingga tidak memandang Cina dari perspektif sejarah Cina. Pemimpin kontemporer seperti Hu Jintao, yang lahir hanya beberapa tahun sebelum Revolusi adalah pemimpin Cina pertama yang tidak ikut serta dalam long march yang terkenal karena berhasil mengalahkan kaum Nasionalis dan menaikkan partai komunis ke panggung kekuasaan di tahun 1949. Pemimpin yang menanggalkan victim mentality dan yang mengambil mentalitas adidaya adalah tipe pemimpin yang kini memimpin Cina dan memiliki visi sebagai negara adidaya.
Namun Cina tidak mewakili sistem pemerintahan baru atau model ekonomi alternatif. China hari ini menjadi bengkel industri dunia; dimana ekonominya yang berorientasi ekspor sepenuhnya bergantung pada negara-negara asing untuk membeli barang-barangnya. Ini adalah model pembangunan yang sangat rapuh. Sementara banyak yang menyebut model ekonomi China sebagai bentuk baru pembangunan ekonomi. Kenyataannya adalah China telah mengadopsi Kapitalisme dengan pemerintah terlibat dalam segmen ekonomi yang besar. Cina seperti halnya dunia Kapitalis Barat yang berfokus pada produksi daripada distribusi, pertumbuhan dua digit China tidak menyentuh kehidupan ratusan juta penduduknya.
Pembangunan ekonomi dan politik Cina akan gagal ketika tidak memiliki pandangan hidup (worldview)- ideologi yang khas untuk mampu berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luar negeri, energi, integrasi, pemerintahan, dan relasi pria dan wanita. Dengan pandangan hidup yang khas, maka suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah, dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tapi akan memerosokkan dirinya dalam pusaran badai problem yang tidak bisa ia selesaikan.
Hari ini, dunia membutuhkan sistem ekonomi yang stabil yang dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tanpa the bubbles and crashes yang terlalu sering terlihat pada peradaban kapitalisme. Dunia butuh satu sistem yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan seluruh rakyatnya secara adil, bukan sistem maupun rezim yang meninggalkan mereka ke pasar bebas yang rapuh. Kita butuh suatu sistem yang berfokus pada distribusi kekayaan ketimbang model ekonomi yang tamak seperti dalam model kapitalis.
Ringkasnya, baik Cina maupun AS dan Negara-negara kapitalisme secara keseluruhan, selama mereka mengikuti ideologi Kapitalisme sekuler, mampu menjadi bencana bagi seluruh dunia. Ketika mereka berusaha untuk membawa seluruh dunia untuk tunduk pada diri mereka sendiri melalui hegemoni, penyebaran kekacauan dan kehancuran di mana-mana. Ini kontras dengan perdamaian dan keadilan umum yang berlaku di dunia selama 1 milenium ketika Islam menjadi negara adikuasa dunia, dimana yang diuntungkan oleh Barat sendiri untuk sampai pada tingkat peradaban mereka saat ini.[]