Tawaran Khilafah untuk Ibu Pertiwi
Tulisan Rubrik Opini (Jawa Pos, 12/5/18) “Menolak Khilafah untuk ibu Pertiwi” oleh Nadirsyah Hosein (NH) patut dikritisi.
Oleh:Ahmad An Nawy | Penasehat pada Pengkajian Islam Mondial (PUSLIM)
Adalah sangat ironis seorang ilmuwan mengawali narasinya dengan premis bohong. Tidak tanggung-tangung, NH mendakwa ajaran Khilafah yang dibawa HTI adalah kewajiban inti, seolah Khilafah adalah rukun Islam sebagaimana shalat. Bahkan, ia menuduh HTI menjadikan Khilafah sebagai Aqidah sehingga siapapun yang tidak setuju dipandangnya sebagai cacat keislamannya. Sepertinya, NH sengaja menggunakan isu ini untuk menyerang HTI; seolah HTI sesat karena meyakini Khilafah sebagai salah satu Rukun Islam. Targetnya: HTI terkategori ke dalam kelompok penganut ideologi Takfiri. Padahal, tidak ada pernyataan HTI yang mengatakan seperti itu, baik dalam wacana verbal maupun dalam kitab-kitab yang diadopsi HTI.
Marilah kita jujur dalam menakar ide Khilafah HTI. HTI tidak pernah mengatakan bahwa Khilafah merupakan rukun Islam. HTI dalam berbagai kitab dan pernyataannya hanya menyatakan bahwa menegakkan Khilafah itu hukumnya wajib. Dan memang, tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Khilafah merupakan bagian dari Syariah Islam. Betul, bahwa dalam perspektif ulama mutakallimin, Khilafah masuk pada domain furu’ (cabang) bukan ushul (pokok/Aqidah). Hanya saja, karena posisinya sangat penting, para ulama salaf menyebut Khilafah sebagai min ahammil wajibat (termasuk di antara kewajiban paling penting). Bahkan, ada yang menyatakannya sebagai taajul furudl (mahkota kewajiban). Kesimpulan ini digali dari ijma shahabat tatkala meninggalnya Nabi SAW, mereka lebih sibuk mendahalukan pembaiatan Khalifah di Saqifah Bani Saidah daripada mengubur jenazah Rasulullah SAW.
Berikutnya, NH menulis bahwa yang dibicarakan para ulama klasik itu adalah kewajiban mengangkat seorang pemimpin bukan kewajiban menganut sistem Khilafah. NH juga menulis Khilafah ala HTI berbeda dengan Khilafah menurut Ulama klasik. Memang, bentuk dan sistem Khilafah secara detail belum pernah ditulis para ulama Salaf. Hal ini karena peradaban (tsaqafah) dan konsepsi Khilafah masih eksis berjalan, sehingga panduan tertulis belum terlalu diperlukan. Baru di masa Abasiyah, ketika dirasa mulai ada bias dan keburukan dalam penerapan sistem (isaa-atuth tathbiiq) kitab-kitab yang berpola sistem mulai muncul atas permintaan Khalifah semisal al-Kharajnya Abu Yusuf, dan al-Amwalnya Abu Ubaid. Di masa akhir Abasiyah, ketika kekhawatiran akan adanya penyimpangan penerapan sistem kuat, ditulislah semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyah (al-Mawardi) dan al-Siyasah al-Syar’iyyah (ibnu Taimiyyah) untuk meluruskan beberapa hal yang dirasa tidak sesuai dengan sistem Khilafah. Dus, kitab-kitab ini ditulis para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan parsial, karena memang realitasnya sistem Khilafah sudah berjalan, hanya saja terjadi kekurangtepatan dalam beberapa bagian penerapannya. Konteks inilah yang membedakan dengan realitas yang dihadapi Syaikh an-Nabhaniy sebagai pendiri Hizbut Tahrir ketika menuliskan konsep sistem pemerintahan Khilafah.
Umat Islam pasca runtuhnya Khilafah Utsmany tidak lagi menyaksikan peradaban khilafah. Mafahim (persepsi) Khilafah pun hilang dari benak umat digantikan demokrasi. Karenanya, untuk membangun kembali peradaban Khilafah yang baru, ummat membutuhkan prototype bangunan Khilafah secara detail. Di sinilah posisi Syaikh an-Nabhaniy mestinya ditempatkan. Setiap abad akan selalu lahir mujaddid, sebagaimana Imam Syafi’i yang menulis konsep ushul fiqh dalam kitabnya al-Risalah. Padahal tradisi ijtihad sudah berlangsung sejak masa Shahabat, namun sistem baku ijtihad baru ditulis oleh Imam Syafi’i ini, yaitu pada abad kedua Hijriyah.
Dari hasil kajian HT, setidaknya ada empat pilar penting penopang sekaligus Negara Khilafah. Pertama, Kedaulatan hukum di tangan Syara’. Dalam realitas sejarahnya, produk hukum fiqh yang begitu dinamis melahirkan 4 madzab besar. Ini adalah bukti tatanan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Dalam sejarah peradaban Khilafah, kaum muslimin tidak tertarik sama sekali untuk mengadopsi hukum Romawi. Kedua, wajib mengangkat seoang Khalifah untuk seluruh kaum muslimin. Kesatuan wilayah Islam tanpa sekat kebangsaan. Imam Al Mawardi sangat terang dalam hal ini. Khalifah itu jumlahnya wajib hanya satu saja untuk seluruh umat Islam sedunia. Pendapat yang membolehkan berbilang adalah pendapat nyleneh/syadz (lihat Adabu al-Din wa al-Dunya 123-124, salah satu karya Al Mawardy). Khilafah Utsmaniy mampu mewujudkan pilar ini. Kekuasannya mencapai tiga benua. Sultan-sultan Nusantara berikut ulamanya dibesarkan oleh sistem ini. Bahkan, tidak dipungkiri bahwa insiprasi perjuangan melawan penjajah datang dari Makkah di masa akhir kejayaan Utsmaniy.
Adapun dua pilar lainnya adalah bahwa kekuasaan itu berasal umat melalui aqad baiat dan bahwa hak legislasi hukum hanya ada di tangan Khalifah. Ini sesuai kaidah amr al-imam yarfa’u al-khilaf (Ketetapan Imam menghilangkan perbedaan).
Kewajiban mengangkat Khalifah berdasar syara’ bukan akal. Ini konsensus di kalangan Ahlussunnah dan mayoritas Muktazilah. Sedangkan soal model pengangkatan melalui tim formatur (ahlu al-halli wa al aqdi) ataupun penunjukkan adalah tata cara teknis. Di sini NH gagal membedakan antara pokok/ pilar pembentuk Khilafah yang bersifat mapan dengan tata cara teknis atau yang disebut uslub (yang sifatnya opsional) yang dapat diadopsi untuk mewujudkan pilar-pilar pokok tersebut.
Terkait dengan Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Khilafah, mestinya ini dipandang sebagai contoh produk fiqh siyasy alternatif. Rancangan tersebut dimaksudkan untuk mendidik ummat agar lebih dekat dan mengenal tatanan sistem pemerintahan yang digali dari dalil-dalil syara’. NH harusnya lebih jujur dalam membaca kajian ini. Rancangan atau draft itu dimaksudkan sebagai sebuah tawaran. Hak sepenuhnya dalam proses legislasi tergantung kepada sang Imam/ Khalifah. Imam An Nabhany dalam sebuah kesempatan menjawab saat ditanyakan kepadanya: “Bagaimana seandainya Anda diangkat menjadi Khalifah sementara di tangan Anda belum ada UUD?” Maka beliau menjawab : “Aku akan mengadopsi Kitab Al Mughni (karya Ibnu Qudamah) atau Al Mabsuth (karya Imam Assarkhosi). Mungkin NH belum membaca bab Dustur wa al Qonun dalam Kitab Nidzamul Islam. Disana tertera kalimat: “Wa ‘ala sabilil mitsali nadlo’u”, (atas dasar ini kami menawarkan kepada kaum muslim RUUD Daulah Islam, yang meliputi seluruh dunia Islam).
Terakhir, tentang Pancasila. HTI tidak pernah mengeluarkan narasi verbal ataupun tulisan yang menentang Pancasila. HTI fokus mendakwahkan Islam secara kaffah. Orientasi dakwah Hizbut Tahrir itu solutif dan bersifat global. Bruno de Cordier dari the University of Ghent di Belgia pada tanggal 16/3/2011 dalam tulisannya yang berjudul “Explaining the Persistence of Hizb Ut-Tahrir”, menjelaskan tentang alasan hingga sikap Hizbut Tahrir yang berusaha menciptakan kemarahan yang sesungguhnya, serta kemauan yang tinggi pada diri umat, bahwa apa yang dilakukan Hizbut Tahrir ini tidak lain adalah jawaban-jawaban yang sesungguhnya atas berbagai masalah ekonomi, politik dan sosial yang ada di dunia. Bahkan, ia menilai solusi yang ditawarkan Hizbut Tahrir ini sebagai solusi terbaik dari solusi terbaik yang ditawarkan oleh berbagai organisasi Hak Asasi Manusia sekuler.
Menarik bagaimana Moeflich Hasbullah, Dosen UIN Bandung, memberi saran untuk memahami HTI. Beliau mengatakan bahwa rival khilafah itu bukan NKRI tapi demokrasi. Mempertentangkan NKRI dengan khilafah itu tak sebanding. Yang satu sistem politik regional (nasionalisme), satu lagi sistem politik global (internasionalisme). Sebagaimana sistem khilafah dulu membawahi negara-negara Muslim, demokrasi juga membawahi negara-negara bangsa. Bedanya, internasionalisme khilafah dikonsolidasikan oleh institusi yang solid dan terpusat, internasionalisme demokrasi dikonsolidasikan oleh nilai-nilai. Tetapi keduanya adalah sistem politik dunia yang ke depannya mungkin akan terus bersaing. Begitu, menurut beliau.
Akhirnya, memojokkan HTI dengan sebutan anti Pancasila tidak lebih hanyalah sekedar strategi politik untuk menutupi kegagalan rezim demokrasi mewujudkan janji-janji politiknya. Sementara pada saat yang sama, posisi rezim di depan rakyatnya terus membangun pranata ekonomi nasional baik mikro maupun makro demi kepentingan pemilik modal. UU SDA coraknya semakin liberal. Rupiah semakin keok di hadapan dollar. Kebijakan menjual aset-aset Negara kepada pihak asing terus berlangsung. Dan era reformasi menghasilkan para politisi korup yang selalu berujung pada OTT oleh KPK. Ratusan mantan kepala daerah dipenjara. Untuk semua ini, kenapa tidak ada stempel berkhianat pada Pancasila? Wallahu A’lam[]