33 Resolusi PBB Saja Dicuekin Israel, Apalagi Sekadar Diplomasi Yahya Staquf
Mediaumat.news- Rencana kehadiran Watimpres Yahya Staquf sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Konsulat Hubungan Luar Negeri Israel di Tel Aviv pada 13 Juni mendatang, dinilai menunjukkan eksistensi penjajah Israel.
“Jadi kedatangan Yahya Staquf itu menunjukkan pengakuan eksistensi penjajah Israel,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.news, Ahad (10/5/2018).
Menurut Ismail, salah satu penolakan terhadap penjajahan yang paling mendasar yaitu menolak eksistensi penjajah. “Dengan kita hadir saja berarti kita mengakui eksistensi penjajah. Kalau mengakui eksistensi penjajah berarti mengakui penjajahan yang dilakukan oleh penjajah itu. Ini prinsip sekali,” ungkapnya.
Ketika ditanya bagaimana kalau Yahya Staquf datang untuk membawa pesan perdamaian, dengan tegas Ismail mengatakan itu menunjukkan seolah-olah Yahya Staquf tidak tahu reputasi Israel. Israel itu penjajah dengan reputasi bebal. Tidak peduli dengan apa pun kata orang.
“Jangan lagi seorang Yahya Staquf, sekian banyak resolusi PBB bahkan resolusi Dewan Keamanan PBB pun diingkari. Lebih dari 33 Resolusi PBB yang dicuekin Israel, apalagi hanya sekadar diplomasi seorang Yahya Staquf. Jadi yang dikenal oleh Israel itu hanya satu, seperti yang Hamas katakan, yaitu bahasa perang saja!” beber Ismail.
Dan Ismail pun menduga bahwa Yahya Staquf tidak akan berani mengatakan bahwa Israel itu penjajah dan harus hengkang dari bumi Palestina karena sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Menurut Ismail, dari sisi undangan memang Yahya Staquf diundang bukan sebagai Watimpres, tapi dia tetaplah seoarang Watimpres. Sebagai negara yang dalam konstitusinya menolak penjajahan di muka bumi semestinya dia tidak melakukan itu karena itu sudah melanggar konstitusi.
“Tapi Presiden tidak aware terkait yang seperti ini, tidak peduli. Tetapi soal radikalisme peduli sekali, seolah-olah Israel itu bukan penjajah, negara yang sopan santun, lemah lembut. Padahal kalau kita mau lihat contoh negara radikal ya Israel, kalau kita mau melihat contoh negara teroris, zalim, bengis ya Israel. Sementara kepada kelompok yang tidak melakukan kekerasan apa-apa, rezim ini begitu sengitnya,” pungkas Ismail.[] Joko Prasetyo