Apakah I’tikaf itu Harus 10 Hari?
Soal:
Apakah i’tikaf itu harus 10 (sepuluh) hari?
Jawab :
Tidak ada dalil syar’i yang mewajibkan bahwa i’tikaf itu lamanya harus 10 hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Bahkan beri’tikaf selama satu malam saja (tanpa siang harinya) dibenarkan oleh syara’. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :
“Bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi SAW, Umar berkata,’Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram.’ Nabi SAW bersabda,’Penuhilah nadzarmu!” (HR Bukhari, hadits no 2032, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ad-Daruquthni). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).
Dalil hadits di atas menunjukkan bahwa beri’tikaf pada malam hari saja tanpa siangnya adalah boleh. Jadi, tidak ada dalil yang mewajibkan bahwa i’tikaf harus sepuluh hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.
Meski demikian, memang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah suatu ibadah yang afdhol (lebih utama), dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar. (Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, 1/212; Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/125). Hal itu dikarenakan Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh ‘A’isyah RA :
“Bahwasanya Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sesudah beliau [meninggal].” (Muttafaq ‘alaihi) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/174).
Hadits ‘A’isyah di atas dengan jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW selalu beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Namun, tidak berarti bahwa i’tikaf itu lamanya wajib sepuluh hari, dalam arti tidak boleh kurang dari sepuluh hari. Sebab dalil hadits Ibnu Umar di atas telah menunjukkan bolehnya beri’tikaf selama satu malam saja.
Maka dari itu, yang perlu diketahui adalah berapa tempo i’tikaf paling singkat yang dibolehkan syara’? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yang rinciannya sebagai berikut :
Pertama, Ulama mazhab Hanafi (Hanafiyah) berpendapat bahwa minimal tempo i’tikaf adalah “tempo yang singkat tanpa batas tertentu” (muddatun yasiratun ghairu mahduudatin), tapi cukup sekedar “berdiam diri” (al-lubtsu) disertai niat. (Maraqi Al-Falah wa Nurul Idhah, hal. 119; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695). Ada riwayat lain mengenai pendapat ulama mazhab Hanafi, yakni minimal adalah satu hari (siang hari saja tanpa malamnya) (yaumun). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 299).
Kedua, Ulama mazhab Maliki (Malikiyah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun wa lailatun). Dan pendapat yang terpilih (ikhtiyar) menurut ulama Malikiyah : i’tikaf itu hendaknya tidak kurang dari sepuluh hari. (Asy-Syarhul Kabir, 1/541; Asy-Syarhush Shaghir, 1/725; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).
Ketiga, Ulama mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah suatu kadar yang dapat disebut “berdiam diri” (ukuuf / iqamah), yaitu lebih lama dari waktu tumakninah dalam ruku’ dan yang semisalnya (fauqa zaman at-tuma`niinah fi ar-rukuu’ wa nahwihi), dan tidak cukup disebut i’tikaf kalau lamanya hanya selama waktu tumakninah. (Lihat Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/215; Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, 1/213; As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, 2/259; Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/125).
Keempat, Ulama mazhab Hanbali (Hanabilah) berpendapat tempo i’tikaf minimal adalah “sesaat” (saa’atun), yaitu suatu kadar yang dapat disebut “berdiam diri” (mu’takifan laabitsan) walaupan hanya sekejap (lahzhatan). (Kasysyaf Al-Qana’, 2/404; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).
Ringkasnya, pendapat jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menyatakan bahwa tempo i’tikaf minimal adalah “waktu yang singkat” (muddatun yasiiratun). Sedang pendapat ulama mazhab Maliki tempo i’tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun wa lailatun). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 299-300; Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A`immah, hal. 71).
Menurut pentarjihan kami (wallahu a’lam), yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur. Hal ini dikarenakan dalil-dalil tentang i’tikaf dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah dalil-dalil yang bersifat mutlak, yakni mutlak dari segi tidak menyebut batas tempo yang minimal untuk i’tikaf. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil yang membatasi (men-taqyid) bahwa tempo minimal i’tikaf adalah satu hari satu malam (sebagaimana mazhab Maliki). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).
Kaidah ushul dalam masalah ini menyatakan :
Al-Mutlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘alaa at-taqyiid
“Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan atau sifat tambahan).” (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164).
Maka dari itu, berdasarkan pendapat jumhur, sah hukumnya beri’tikaf selama waktu yang singkat yang dapat disebut “berdiam diri” (al-lubstu), meski hanya sebentar saja. Dalam mazhab Syafii bahkan diberi keterangan bahwa sah beri’tikaf walaupun lamanya hanya sedikit lebih lama daripada waktu untuk tumakninah (katakanlah 20 hingga 30 detik saja).
Namun demikian, kami menganjurkan agar dalam beribadah kita berusaha bukan sekedar pada batas minimal, namun yang lebih dari itu. Meski pada batas minimal itu sudah sah dan tidak mengapa. Kaidah fiqih menyatakan :
Maa kaana aktsaro fi’lan kaana aktsaro fadhlan
“Suatu aktivitas yang lebih banyak perbuatannya, lebih banyak pahalanya.”(Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, Maktabah Syamilah, 1/257).
Berdasarkan kaidah itu, memisahkan shalat witir yang tiga rakaat (yakni dua rakaat salam, ditambah satu rakaat salam), lebih utama dari menggabungkannya (tiga rakaat sekali salam), dikarenakan lebih banyak niat, takbir, dan salamnya; shalat sunnah dengan berdiri lebih utama daripada dengan duduk; shalat dengan duduk lebih utama daripada shalat dengan berbaring; dan seterusnya. Demikian pula, i’tikaf satu jam lebih utama daripada i’tikaf seperempat jam, dan i’tikaf sepuluh hari lebih utama daripada lima hari, dan seterusnya.
Kesimpulannya, tidak ada dalil yang mewajibkan bahwa i’tikaf itu lamanya harus sepuluh hari. I’tikaf sah dilakukan walau hanya sebentar saja, sesuai pendapat jumhur yang lebih kuat (rajih). Namun syara’ lebih menyukai agar kita melakukan ibadah dengan perbuatan yang lebih banyak. Maka i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah afdhol (lebih utama), dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar. Wallahu a’lam. [ ]
KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi