Keterhubungan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Teroris dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ketua Dewan Pembina Lembaga Advokasi DPP Pertai Bulan Bintang
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (RUU Terorisme), sempat terjadi deadlock, sebab utama adalah perihal pendefinisian terorisme.
Definisi tentang terorisme memang tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Menurut hukum internasional, ketiadaan definisi yang seragam memang tidak serta-merta meniadakan definisi terorisme itu sendiri. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme.
Pasal 1 angka 1 RUU Terorisme hanya menyebutkan tindak pidana terorisme, yakni “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Dalam Pasal 6 RUU Terorisme disebutkan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang :
a. menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;
b. menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan/atau
c. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis lingkungan hidup fasilitas publik, dan/atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengertian terorisme itu adalah menunjuk kepada unsur delik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 RUU Terorisme.
Permasalahannya adalah tidak ada kejelasan dalam rumusan “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas”.
Kekaburan rumusan tersebut dikhawatirkan dapat membuka ruang penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum dalam mengidentifikasi perilaku dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas.
Seharusnya ada batasan atau indikator tentang kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut tersebut.
Menjadi pertanyaan serius, apakah suatu pemikiran tertentu dapat tergolong dari kualifikasi terorisme? Memang dalam Pasal 6 huruf a tidak secara eksplisit disebutkan tentang pemikiran yang terkualifikasi terorisme, namun dalam Pasal 1 angka 8 ditegaskan bahwa adanya suatu perbuatan atau pemikiran yang menuntut suatu perubahan yang diungkapkan secara keras atau ekstrim yang mengarah pada tindak pidana terorisme. Ketentuan Pasal 1 angka 8 ini menunjuk kepada keberlakuan counter terrorism, dalam bentuk program deradikalisasi.
Namun, tidak ada pula batasan atau indikator tentang apa yang dimaksudkan dengan “pemikiran” yang menuntut suatu perubahan yang diungkapkan “secara keras atau ekstrim” yang mengarah pada tindak pidana terorisme. Dikhawatirkan dalam penerapannya terjadi perluasan penafsiran secara subjektif atas norma “pemikiran secara keras atau ekstrim.”
Kemudian, dalam Pasal 13A dinyatakan :
“Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan an individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pada rumusan Pasal 13A, terdapat “perluasaan kesengajaan”, tidak hanya “dengan maksud”, tetapi meliputi kesengajaan “dengan kepastian” atau “dengan kemungkinan.” Dikatakan demikian oleh karena Pasal 13A menyebut dengan frasa “dengan sengaja”, sehingga kesengajaan mencakup ketiga gradasi tersebut.
Padahal, ketiga corak kesengajaan itu memiliki perbedaan yang signifikan terkait dengan faktor “kesalahan” (mens rea).
Keberlakuan dari perbuatan menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan adalah bersifat formil, ditandai dengan frasa “yang dapat”, jadi tidak memerlukan akibat konkrit tertentu. Namun, di sisi lain terdapat rumusan “yang mengakibatkan tindak pidana terorisme.”
Pada rumusan demikian, menimbulkan pertanyaan serius dalam hal hubungan antara suatu penyebaran ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang memiliki konten kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan, merendahkan atau mengintimidasi dengan tindak pidana terorisme.
Dengan demikian, diketahui adanya perluasan tindak pidana teorisme melalui rumusan Pasal 13A. Dalam hal unsur “merugikan” tidak juga jelas dalam hal apa terjadi kerugian dimaksud.
Kemudian unsur “merendahkan harkat dan martabat” individu atau kelompok tertentu adalah sangat jauh dengan tindak pidana terorisme. Khusus tentang “kelompok tertentu”, menurut hemat penulis mengacu kepada rumusan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE).
Pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan “kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Terkait dengan itu, maka rumusan merugikan dan/atau merendahkan harkat dan martabat sangat identik dengan unsur kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Sepanjang pengetahuan penulis, terkait penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE berlaku demikian longgar dan cenderung bersifat subjektif. Penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE lebih menggunakan delik formil, sehingga walaupun tidak ada akibat konkrit, seseorang dapat dikenakan pasal tersebut. Terlebih lagi antar golongan, dimaknai pula sebagai badan hukum (termasuk partai politik dan pemerintah), padahal tidak demikian.
Dalam beberapa kesempatan penulis menjadi ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh penasihat hukum, beberapa orang yang ‘terjerat’ rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Penuntut Umum tidak mampu membuktikan adanya suatu akibat konkrit di persidangan. Fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan bahwa tidak pernah ada akibat yang timbul dari penyebaran informasi yang dilakukan oleh Terdakwa.
Tegasnya, tidak pernah ada (in concreto) di masyarakat timbulnya rasa kebencian atau permusuhan baik terhadap individu maupun terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Frasa “yang ditujukan untuk menimbulkan,” menunjukkan harus adanya akibat berupa timbulnya rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA, atas akibat penyebaran informasi yang dilakukan. Sebutlah pada persidangan Buni Yani, Alfian Tanjung, Asma Dewi,
Jonru Ginting, Rini Sulistiawati, ke depan menyusul Ahmad Dani.
Pada perkara Alfian Tanjung di PN Jakarta Pusat, Penuntut Umum mendalilkan partai politik (incasu PDI-P) termasuk sebagai golongan. Pada perkara Sahiduddin di PN Kota Baru Kalimantan Selatan, Penuntut Umum juga mendalilkan pemerintah daerah termasuk golongan. Padahal, keberlakuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus merujuk kepada Pasal 156 KUHP sebagai genus delict.
Menurut doktrin, golongan penduduk yang dimaksudkan berdasarkan Hukum Tata Negara, yang mengacu kepada ketentuan Pasal 163 jo Pasal 131 IS (indische staat Regeling) yang membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan Timur Asing.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan adanya keterhubungan RUU Terorisme dengan UU ITE. Penulis – begitu pun pihak yang lainnya – mengkhawatirkan jika terjadi perluasan tindak pidana terorisme akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Menurut penulis, seseorang yang dianggap telah memenuhi unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE, dapat saja dikategorikan sebagai pelaku terorisme.
Dalam dogmatika hukum pidana terkandung asas legalitas. Menurut Jan Remmelink makna dalam asas legalitas adalah bahwa undang-undang yang dirumuskan harus terperinci dan cermat. Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla poena sine lege certa”.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum itu sendiri.
Penulis sepakat dengan pendapat Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafii, yang mengatakan dalam rumusan tindak pidana terorisme harus ada ketegasan perbuatan yang dilakukan terkait dengan ancaman terhadap Keamanan Negara, dengan menunjuk pada adanya motif ideologi dan politik. Keterkaitan itu sangat penting dalam hal pembedaan tindak pidana terorisme dengan tindak pidana umum lainnya. [].