[Buletin Kaffah] Ramadhan Pengokoh Iman
[Buletin Kaffah_042_7 Ramadhan 1439 H — 25 Mei 2018]
Saat ini kita masih berada pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Di negeri ini bulan Ramadhan tahun 1439 H ini datang dalam kondisi situasi negeri yang sangat memprihatinkan. Berbagai problem menerpa bangsa ini mulai dari problem ekonomi, politik, keamanan hingga menyentuh sendi sosial kemasyarakatan.
Sembari mengisi bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, kami mengajak kaum Muslim merenungi situasi yang terjadi. Dengan itu hikmah Ramadhan dapat kita rasakan tidak hanya dalam konteks pribadi, namun juga dalam konteks kita sebagai bagian dari masyarakat negeri ini.
Sesuai Kemampuan
Sungguh setiap perkara yang Allah SWT wajibkan atas manusia tidaklah berat karena pasti dalam kadar kesanggupan manusia. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا…
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dalam kondisi tertentu Allah SWT bahkan memberikan rukshah (keringanan) kepada hamba-Nya. Jika tidak mampu shalat berdiri, misalnya, Allah SWT membolehkan shalat dengan duduk; atau jika tidak mampu juga, boleh sambil berbaring. Begitu juga dengan shaum Ramadhan. Yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak shaum, tetapi wajib mengqadhanya pada hari lain. Demikian seterusnya. Itulah yang Allah SWT kehendaki sebagaimana firman-Nya:
… يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…
…Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian… (QS al-Baqarah [2]: 185).
… وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ…
…Tidaklah Allah menjadikan dalam agama (Islam) ini kesempitan atas kalian… (QS al-Hajj [22]: 78).
Jelas, dalam kondisi normal, setiap kewajiban atau ibadah tidaklah berat. Setiap shalat paling-paling menyita lima menit dari waktu kita. Begitu juga dengan shaum. Sebenarnya hanyalah memajukan waktu sarapan pagi lebih awal dan hanya mengurangi satu dari tiga kali kesempatan makan. Apanya yang berat? Jadi kita hanya diminta untuk menahan diri tidak makan siang. Sejarah tak pernah mencatat ada orang sakit parah, terluka berat, apalagi mati gara-gara shaum. Tak ada juga orang jatuh miskin gara-gara membayar zakat atau patah tulang karena shalat. Yang lebih banyak terbukti, shaum dan shalat membuat orang sehat jasmani dan ruhani. Adapun zakat berdampak bagi penyucian jiwa dan pemerataan kekayaan.
Belum lagi pujian dan ganjaran yang telah Allah SWT janjikan bagi hamba-Nya yang taat beribadah. Khusus bagi mereka yang shaum Allah SWT berjanji:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ اْحتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa saja yang shaum Ramadhan dengan landasan iman dan semata-mata mengharap ridha Allah SWT, niscaya Dia mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Ahmad).
وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ
Bagi orang yang shaum ada dua kebahagiaan yaitu: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu Tuhannya (di surga) (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Peran Iman
Jika untuk mengerjakan kewajiban diperlukan kemampuan, tidak demikian halnya untuk meninggalkan keharaman. Sama sekali tidak diperlukan kemampuan. Anda tak memerlukan uang untuk tidak minum alkohol, tidak melacur atau tidak berjudi. Anda juga tidak memerlukan kemampuan fisik untuk tidak membunuh atau tidak korupsi. Bahkan bila Anda tidak berjudi atau menenggak miras, dana akan bisa dihemat. Apalagi fakta membuktikan bahwa setiap pelanggaran terhadap larangan Allah SWT pasti berdampak buruk. Siapa yang menyangkal adanya dampak buruk alkoholisme, prostitusi, perjudian dan sebagainya?
Di sinilah, selain kemampuan, untuk mengerjakan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya ternyata diperlukan pula kemauan karena berbagai dorongan. Dari sekian macam dorongan itu, yang tertinggi adalah dorongan iman. Tanpa kemauan yang muncul dari iman, kewajiban agama yang sangat ringan sekalipun akan terasa berat dikerjakan. Apalagi kewajiban yang memang memerlukan pengorbanan harta atau bahkan nyawa, tentu akan lebih terasa berat. Dari situlah mengapa perintah shaum Ramadhan ditujukan kepada orang-orang beriman (QS al-Baqarah [2]: 183).
Iman di dada seorang Muslim membuat ia tunduk kepada Allah SWT. Inilah yang akan membuahkan takwa, yakni senantiasa selalu siap sedia mengerjakan perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Iman memberikan dorongan kuat untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Dorongan semacam itulah yang menciptakan kemauan. Dengan kemauan seperti itu pula dulu para sahabat ra. berjihad kendati pun pada bulan Ramadhan. Perang Badar, saat 300 tentara Islam melawan sekitar 1000 tentara kafir, terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 Hijrah. Perang Ahzab terjadi pada bulan Ramadhan tahun 5 Hijrah. Pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah) terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijrah. Perang Tabuk—perang pertama tentara Islam melawan kekuatan adikuasa Romawi—terjadi pada bulan Ramadhan tahun 9 Hijrah. Bahkan kisah Pembebasan Spanyol—yang menandai awal masuknya Islam ke daratan Eropa yang dipimpin oleh panglima yang gagah berani, Thariq bin Ziyad rahimahulLâh—juga terjadi pada bulan Ramadhan tahun 92 Hijrah.
Kemauan yang bersumber dari iman inilah yang kini langka pada jiwa kaum Muslim. Akibatnya, sekian banyak perintah agama diabaikan dan sekian banyak larangan agama dilanggar.
Problematika Umat
Sebagaimana Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya, berbagai peristiwa dan kemelut di berbagai aspek kehidupan seakan tak pernah berakhir dan seolah menjadi sesuatu yang biasa bagi kita. Pembunuhan sadis, pemerkosaan menjijikkan, perampokan ganas dan berbagai bentuk kriminalitas keji terjadi hampir tiap hari. Belum lagi tawuran antarpelajar, kerusuhan serta huru-hara merusak yang terus meningkat. Tayangan porno dan kekerasan makin merajalela di TV, internet dan media social. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang makin mewabah. Jurang kesenjangan ekonomi makin melebar, sementara berbagai upaya yang telah ditempuh untuk mengatasinya belum membuahkan hasil. Pasalnya, faktor-faktor utama yang menimbulkan kesenjangan—seperti kebijakan peredaran uang (secara ribawi), penanganan milik umum yang kapitalistik, kebijakan perijinan yang hanya memihak pemilik modal besar, dan sebagainya—justru tidak ditangani secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Sudah 20 tahun reformasi berlalu. Problematika yang dulu dipersoalkan ternyata kini masih tampak di depan mata, bahkan semakin parah. Polarisasi di tengah masyarakat semakin menjadi. Hal ini makin dipicu oleh beberapa kebijakan dan statemen para pejabat yang tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat yang rentan dan sensitif.
Secara umum keadaan umat Islam di dunia juga masih menyedihkan. Palestina masih terus dijajah oleh Zionis Israel. Apalagi setelah Amerika Serikat memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke al-Quds (Jerussalem). Ini menunjukkan secara jelas bagaimana keberpihakan negara adidaya itu terhadap Zionisme Israel. Tentunya tindakan itu memicu kemarahan kaum Muslim di Palestina dan di belahan penjuru dunia.
Nasib memilukan masih dialami juga oleh kaum Muslim di Rohingya, Cina dan daerah konflik lainnya. Mereka tidak bisa menjalani Ramadhan yang mulia ini dengan penuh sukacita. Mereka tak bisa mengisi bulan penuh berkah ini dengan ibadah yang tenang dan khusyuk. Pasalnya, mereka berada dalam situasi konflik dan dalam tekanan rezim yang menindas mereka.
Perlu Kemauan
Kita semua tentu prihatin atas semua problem itu. Untuk mengatasi berbagai problem yang demikian kompleks dan hampir meliputi semua aspek kehidupan itu, tentu diperlukan sejumlah kemampuan. Apabila semua potensi umat sedunia digabungkan niscaya hal itu dapat memenuhi kemampuan yang diperlukan untuk menangani berbagai problem itu, baik problem sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Kemampuan lebih dari 1,5 miliar umat Islam sedunia tidak bisa dipandang remeh. Tentu, itu bila mereka bersatu di bawah naungan Khilafah global.
Untuk itu diperlukan kemauan. Dengan kemauan, negara-negara Eropa bisa bersatu dalam Uni Eropa. Jika orang-orang kafir saja bisa bersatu, mengapa umat Islam tidak? Padahal jelas-jelas Allah SWT telah memerintahkan mereka bersatu dan melarang bercerai berai (QS Ali Imran [3]: 103).
Kemauan bersatu tersebut dapat ditumbuhkan dan dibina dengan ibadah puasa Ramadhan. Sungguh ibadah puasa itu akan menempa kemauan dan kemampuan umat Islam untuk menahan hawa nafsu dari bermaksiat maupun untuk taat kepada perintah Allah SWT. Jelas, kemauan bersatu di bawah naungan Khilafah Islam yang menerapkan syariah secara kâffah merupakan manifestasi terpenting dari ketaatan kepada Allah SWT. Tentu hal itu bisa terwujud jika kaum Muslim menjalani shaum dengan kesadaran bahwa problem utama umat Islam hari ini adalah tiadanya persatuan dan kesatuan di antara mereka. Mereka terpecah-belah dalam negara-negara kecil yang jumlahnya tak kurang dari 50 negara!
Jika hal ini tidak disadari dan kaum Muslim mengisi Ramadhan hanya sekadar melaksanakan ibadah ritual sebagaimana biasanya, maka kaum Muslim akan tetap terbelit oleh berbagai masalah yang tak pernah habis-habisnya. Na’udzubilLâhi min dzâlik!
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman menundukkan kalbu-kalbu mereka untuk mengingat Allah dan pada kebenaran (Islam) yang telah turun (kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diberi al-Kitab, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik (QS al-Hadid [57]: 16). []