Duh… Impor Beras Lagi
Oleh: Yuli Sarwanto (Dir. FAKTA)
Pemerintah membenarkan adanya tambahan impor beras sebanyak 500 ribu ton yang didatangkan dari Vietnam dan Thailand. Penambahan beras impor tersebut diputuskan dalam rapat koordinasi (rakor) di kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membenarkan pemberitaan pada laman the Voice of Vietnam Online (vov.vn), yang menyebutkan bahwa Perum Bulog telah menandatangani kontrak untuk melakukan pembelian beras sebanyak 300 ribu ton dari Vietnam dan 200 ribu ton dari Thailand. “Iya, betul. Itu pemasukan April hingga Juli 2018,” kata Enggartiasto di Jakarta, Senin (14/5). (http://republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/05/14/p8pzs5382-pemerintah-akan-kembali-impor-beras)
Beras merupakan komoditi pangan paling penting di Indonesia sehingga setiap gejolak harga beras sangat berdampak bagi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Bagi wong cilik, uang yang susah payah didapatkan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga setiap kenaikkan harga beras berimplikasi pada bertambahnya porsi pengeluaran penduduk untuk mendapatkannya. Artinya kenaikan harga beras apalagi dengan tingkat yang tinggi menurunkan kemampuan penduduk yang berpenghasilan rendah dan miskin untuk hidup layak.
Di samping memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat, melonjaknya harga beras tidak otomatis menyebabkan bertambahnya penghasilan petani di Indonesia sebab pihak yang paling diuntungkan dari naiknya harga beras adalah para pedagang besar khususnya para spekulan. Apalagi sebagian besar petani di Indonesia adalah petani penggarap bukan petani pemilik lahan produksi. Petani penggarap mendapatkan upah dari lahan yang mereka garap berupa uang ataupun beras. Bila harga beras naik biaya yang mereka keluarkan untuk membeli beras bertambah. Sementara pendapatan petani dari penjualan beras dibatasi oleh kebijakan pemerintah berupa adanya ketetapan Harga Pokok Produksi (HPP) sehingga kenaikkan harga beras tidak menyebabkan pendapatan petani bertambah baik.
Carut marutnya kondisi perberasan di Indonesia merupakan implikasi dari politik beras yang telah diterapkan pemerintah. Perburuan rente ekonomi merupakan faktor utama yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan perberasan di Indonesia. supply dan demand (mekanisme pasar) semata. Akibatnya ketika harga beras melambung penyebabnya disandarkan pada tingkat supply and demand masyarakat. Sehingga untuk mengatasi gejolak harga solusi yang ditempuh dengan menyeimbangkan tingkat supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras. Sedangkan HPP dibuat pemerintah sebagai jangkar harga beras. Dengan berlindung di balik argumentasi melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau oleh masyarakat, pemerintah hanya melihat harga beras dan pemenuhan pasokan beras dari sisi beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat
Pola pikir mekanisme pasar serta supply dan demand merupakan watak Kapitalis yang menjadi asas kebijakan pemerintahan di Negara-negara kapitalis. Memang benar kenaikkan harga beras sangat berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah. Tetapi kemiskinan yang terjadi bukanlah disebabkan oleh pelarangan impor beras melainkan karena struktur ekonomi yang timpang sebagai akibat kebijakan Kapitalisme pemerintah.
Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menyatakan pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang mana bila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan dapat menyebabkan goncangannya perekonomian, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Dalam bidang pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan negara-negara maju dalam bentuk perdagangan bebas dan pasar bebas yang dinaungi oleh organisasi World Trade Organization (WTO). Negara-negara berkembang didesak oleh negara-negara maju agar membuka pasar dalam negeri mereka dengan menghilangkan proteksi pertanian nasional baik dengan pencabutan subsidi maupun dengan penghapusan hambatan tarif. Sebaliknya negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman dan Prancis melakukan proteksi luar biasa terhadap para petani mereka dalam bentuk subsidi, hambatan tarif, dan halangan-halangan impor lainnya. Negara-negara maju tersebut menyadari betapa pentingnya pertanian bagi perekonomian dan vitalnya ketahanan pangan untuk kemandirian negara.[]