Presiden Bertemu Dengan Sejumlah Alumni Aksi 212, Untuk Apa?
Oleh: Ahmad Rizal (Dir. Indonesia Justice Monitor)
Ramai dibicarakan publik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan dengan sejumlah alumni Aksi 212 di masjid Istana Kepresidenan, Bogor, Ahad (22/4) lalu. Melalui pertemuan ini, dikutip dari republika.co.id (25/4) Jokowi juga berharap pemerintah dan para alim ulama bisa menjalin ukhuwah dalam rangka persaudaraan dan persatuan di semua pihak. “Kita harapkan dengan bersambungnya silaturahmi, beriringnya ulama-umara, dapat menyelesaikan banyak masalah, problem yang ada di masyarakat, di umat, diselesaikan bersama-sama,” ujar Jokowi setelah meninjau ekspor mobil di Pelabuhan Tanjung Priok, Rabu (25/4).
Sebagaimana dilansir di beberapa media online, TIM 11 Ulama Alumni 212 memberikan Pernyataan Pers, memuat 7 poin, diantaranya pada poin 3: Pertemuan tersebut diharapkan agar Presiden mengambil kebijakan menghentikan kriminalisasi ulama dan aktivis 212 dan mengembalikan hak-hak para ulama dan aktivis 212 korban kriminalisasi sebagai warga Negara.
Catatan
Rasulullah saw telah mendorong kaum Muslim untuk menentang dan mengoreksi penguasa dzalim dan fasiq, walaupun untuk itu ia akan menanggung resiko hingga taraf kematian. Nabi saw bersabda:
“Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah, serta laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa lalim, lalu ia menasehati penguasa tersebut, lantas, penguasa itu membunuhnya.”[HR Hakim dari Jabir]
Fatwa-fatwa ulama seharusnya mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim. Sebagai pengontrol penguasa, peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ulama juga harus mampu menyingkap makar dan permusuhan orang-orang maupun kaum yang dholim.
“Akan ada pemimpin yang kalian ikuti dan kalian ingkari. Barangsiapa mengikutinya maka ia celaka, namun barangsiapa mengingkarinya ia selamat, akan tetapi barangsiapa ridlo dan mengikuti.” Para shahabat bertanya, “Tidakkah kami perangi mereka? Rasul menjawab, “Jangan! Selama mereka masih sholat.”[HR. Bukhari]
Riwayat di atas menunjukkan, bahwa mengingkari penguasa yang melakukan tindak kedzaliman dan kemaksiyatan adalah fardlu. Sedangkan berdiam diri dan ridla terhadap kedzaliman dan kemaksiyatan penguasa adalah dosa. Mengoreksi penguasa lalim serta mengubah kemungkarannya bisa dilakukan dengan lisan, tangan, dan hati. Seorang Muslim diperbolehkan mengoreksi penguasa dengan tangannya; akan tetapi ia tidak diperbolehkan mengangkat pedang, atau memeranginya dengan senjata.
Seorang Muslim juga diperbolehkan mengingkari kelaliman penguasa dengan lisannya secara mutlak. Ia boleh mengeluarkan kritik baik tertulis maupun disampaikan secara terang-terangan. Ia juga boleh mengingkari kemungkaran penguasa dengan hatinya, yakni dengan cara tidak bergabung dalam kemaksiyatan yang dilakukan oleh penguasa, tidak menghadiri undangan penguasa yang di dalamnya terdapat aktivitas dosa, bid’ah, dan lain sebagainya.
Di samping itu, nash-nash yang berbicara tentang amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar juga berlaku bagi kepala negara dan aparat-aparatnya. Sebab, nash-nash tersebut datang dalam bentuk umum, mencakup penguasa maupun rakyat jelata. Al-Quran telah menyatakan kewajiban ini di banyak tempat.
“Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.”[Ali Imron:104]
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian harus menyeru kepada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.”[Ali Imron:110]
“Yaitu, orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan kemakrufan dan melarang mereka dari yang mungkar.”[Al-A’raf:157]
Ayat-ayat di atas merupakan perintah untuk melakukan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar. Perintah tersebut disertai dengan qarinah (indikasi) yang bersifat pasti (jazm); yakni pujian bagi orang yang mengerjakannya, dan celaan bagi yang meninggalkannya. Ini menunjukkan, bahwa hukum melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar adalah wajib.[]