Sidang Lanjutan Barisan Emak Militan: Jaksa Tidak Mampu Buktikan Unsur Pidana Melalui Ahli Yang Dihadirkan
Sidang Perkara Ujaran pidana SARA atas Rini Sulistiawati, seorang ibu rumah tangga asal Bandung berlanjut dengan agenda mendengar keterangan Ahli dari Jaksa penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Senin, 09/04).
Rini Sulistiawati didampingi oleh 3 (tiga) Penasehat Hukum dari Koalisi Advokat Bela Islam, yakni Ahmad Khozinuddin, SH. Yashin Hasan, SH. dan Akmal Kamil Nasution, SH.
JPU menghadirkan saksi ahli bahasa dari Universitas Negeri Jakarta, Krisanjaya. Dalam keterangannya, ia berpendapat bahwa secara bahasa/gramatikal beberapa postingan yang diperlihatkan kepadanya dihadapan Majelis Hakim tidak memenuhi unsur sebagai ujaran kebencian kecuali postingan terkait dengan Baliho yang berisikan kalimat ‘Pdi-P Tidak Butuh Suara Umat Islam’.
Ahli menjelaskan bahwa kalimat tersebut hanya memenuhi derajat kebencian yang paling rendah, meminjam istillah ahli bahasa yakni kebencian dalam bentuk “Menghindari”. Penasehat Hukum terdakwa Akmal Kamil Nasution, SH., sempat mempertanyakan literatur ahli tentang kesimpulan pembagian tingkatan kebencian, dijawab oleh ahli tidak ada literatur, hanya pendapat ahli dari kajian muatan bahasa.
Dalam kesempatan tersebut Penasehat Hukum, Yashin Hasan, SH. juga menanyakan kepada ahli, kata ‘Tidak Butuh’ yang jadi soal dalam kalimat ‘PDI-P tidak butuh suara Umat Islam” apakah berbentuk Ajakan sehingga memenuhi unsur kebencian? Ahli berpendapat bukan bentuk ajakan, itu hanya menerangkan.
Ahli kedua yang dihadirkan oleh JPU adalah Ahli Sosiologi yakni Nuryamin, Is menyampaikan pandangan bahwa konten meme bisa dipahami secara subyektif tergantung siapa yang melihat. Setelah menyampaikan secara panjang lebar pendapatnya, ia juga menyampaikan hanya meneliti dari aspek sosiologis bukan dari Unsur-Unsur pidana.
Setelah dikonfirmasi ulang, ahli menyatakan tidak mampu menerangkan unsur pidana secara keseluruhan. Ahli bahasa bahkan hanya membatasi pada unsur ada atau tidaknya kebencian, melalui ungkapan frasa “Tidak Butuh” yang ditafsirkan sebagai sebuah ungkapan kebencian dengan derajat rendah.
“Tadi kami tanyakan, apakah semua unsur terpenuhi namun ahli hanya menjawab unsur kebencian saja. Sementara itu unsur ‘tanpa hak’ menurut ahli IT dalam sidang yang lalu dihadirkan, ditafsirkan merugikan hak PDIP. Sementara, dalam kasus ini PDIP bukan pelapor, tidak pula pernah diperiksa sebagai saksi untuk mengkonfirmasi ada tidaknya hak yang dilanggar atau adanya kerugian yang dialami PDIP”, tegas Ahmad Khozinudin.
Ahmad melanjutkan, melalui ahli bahasa ini ternyata tidak semua unsur pidana yang didakwakan jaksa dapat dibuktikan. Dengan demikian perkara ini lemah. Apalagi, dari 3 (tiga) konten meme, hanya satu saja yang dianggap oleh ahli bahasa bermasalah itupun khusus hanya terkait unsur ‘menyebarkan kebencian’.
“Adapun keterangan ahli sosiologis tidak bernilai secara hukum, karena ahli tidak dalam kapasitas untuk membuat konklusi ada tidaknya unsur pidana yang dilanggar. Pendapat ahli sosiologis juga tidak disertai bukti empiris, sehingga cukuplah untuk dikesampingkan” tambah Ahmad.
Kasus barisan emak militan kedua ini bermula ketika Rini Sulistiawati menshare meme bertuliskan PDIP tidak butuh suara umat Islam. Atas laporan dari penyidik, Terdakwa kemudian diproses sampai di pengadilan.
Rini Sulistiawati didakwa melanggar ketentuan pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 ayat (2) dan pasal 35 jo pasal 59 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE. [].