Khilafah Islam, HTI Bukanlah Kriminal, Sebaliknya… Menjadi Penyelamat NKRI
Oleh: Achmad Fathoni (Pengasuh Majelis Taklim al Hikmah)
Pendahuluan
Visi Islam adalah visi pembebasan dari belenggu kejahiliyahan. Pada awal kedatangan Rasulullah saw. di Tanah Yastrib (Madinah), beliau membangun Masjid Quba, kemudian Masjid Nabawi, dilanjutkan dengan mempersaudarakan kaum Muslim dari kalangan Muhajirin dan kaum Anshar atas dasar ikatan akidah tauhid “Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh”. Saat itu Rasulullah saw. secara de facto menjadi kepala negara di Tanah Yastrib (Madinah al-Munawwarah). Beliau membangun masyarakat istimewa yang berdiri di atas ideologi wahyu (Islam). Beliau melahirkan peradaban mulia. Ideologi Islam mewarnai setiap aspek kehidupan masyarakat Islam. Baik di ranah keyakinan, ibadah ritual maupun ruang publik (kehidupan politik), Islam sejak saat itu menjadi nilai sekaligus sistem yang melekat sepanjang perjalanan hidup kaum Muslim. Dari Darul Muhajirin (Darul Islam) ini, Islam diemban ke seluruh pelosok negeri untuk menebar kabar gembira dan mengajak setiap insan menghamba hanya kepada Allah SWT. Mereka diajak untuk mengikuti tuntunan Islam yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan kalbu.
Rasulullah saw. selama sepuluh tahun di Madinah telah meletakkan pondasi bangunan masyarakat islami dalam wujud yang teraba dan terasa. Masyarakat islami ini menjadi kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Hijrah Rasulullah saw. ke Madinah juga dirasakan hakikat dan tujuannya oleh orang-orang Quraiys yang berada di Makah al-Mukaramah pasca Futuhat terjadi. Sebagian besar mreka menekuk wajah karena malu saat mengingat masa lalu perlawanan mereka terhadap Rasulullah saw. Padahal akhirnya mereka merasakan bahwa kehidupan mereka sebelumnya adalah Jahiliah dalam ruang kegelapan nilai serta sistem hidup yang fasad (rusak), menuhankan akal dan menyembah sesama hamba; juga dalam sistem sosial yang hewani dan sederet kerusakan lain yang menjadi inti dari seluruh aspek kehidupan mereka. Hijrah pada akhirnya memisahkan antara haq dan batil serta antara hidup dalam kegelapan dan hidup dalam naungan cahaya terang-benderang. Sebagian besar manusia yang telah tersentuh dengan cahaya Islam enggan kembali pada sistem Jahiliahnya karena telah memahami perbedaannya secara hakiki. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. sudah saatnya dijadikan sebagai momentum untuk segera meninggalkan sistem Jahiliah, yakni sistem Kapitalisme-sekular yang diberlakukan saat ini, menuju sistem Islam. Apalagi telah terbukti, sistem Kapitalisme-sekular itu telah menimbulkan banyak penderitaan bagi kaum Muslim.
Setelah Rasulullah wafat, para shahabat mengangkat seorang khalifah, seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atau imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii juga mengatakan: Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim (VI/291) menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban itu berdasarkan syariah, bukan akal.” Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, lanjut Hamidi, Syaikh Abdurrahman menyebutkan, ”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum Muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum Muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.”
Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn disebutkan: Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam/khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).
Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan: Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268).
Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan : “Sebab, mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah)… (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan: …Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham… (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim) (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali, menyatakan: Berkata (Ibnu al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl disebutkan: Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang imam (khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijmak kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).
Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan: “(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang imam (khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang imam (khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang membuktikan berbagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan imam/khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi saw. wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205).
Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan: “Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan: Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh Imam ath Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam/khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijmak) tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan. (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan: Pembicaraan tentang imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).
Haram Menegakkan Khilafah di Indonesia?
Ada indikasi pemerintah keliru memahami konsep “khilafah”. Secara empiris, Khilafah telah berdiri hampir 14 abad lamanya dengan wilayah dari Maroko sampai Nusantara. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariah dan khilafah bukanlah negara totaliter.
Kami mengingatkan agar pemerintah menyambut baik seruan untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT yang akan mendatangkan rahmat dan berkah dari-Nya. Dalil terkait kewajiban untuk menerapkan syariah dalam bingkai khilafah sangat kuat, hendaknya pemerintah menyambut seruan ilmiah dan pemikiran tanpa kekerasan seperti yang dilakukan organisasi HTI sehingga pemerintah melakukan pekerjaan serius untuk memulai kembali cara hidup Islami dengan mengadopsi Khilafah Rasyidah menurut metode Kenabian, yang dijanjikan oleh Allah melalui kabar baik dari Rasul-Nya. Sebagaimana hadits yang bersumber dari Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, juga musnad al Bazzar (no. 2796). Riwayat ini termasuk hadits marfu’ (bersambung hingga sampai Rasulullah saw):
Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, “Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, “Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam”.[HR. Imam Ahmad]
Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
Urgensi untuk menerapkan ajaran Islam –Khilafah- bukanlah hanya pendapat organisasi Hizbut Tahrir Indonesia saja (HTI), tidak ada ikhtilaf (perbedaan) tentang wajibnya Khilafah, diantaranya, berdasarkan pendapat Imam Alaudin (madzhab Hanafi), Imam Umar bin Ali (madzhab Hanbali), Ibn Taimiyah, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan mayoritas ulama madzhab sepakat mengangkat seorang imam sebagai fardhu.
Khilaf Memahami HTI
Sesungguhnya kekeliruan yang besar terhadap suatu bangsa dan kemanusiaan adalah pemutarbalikan fakta sejarah. Ada tudingan bahwa HTI melakukan bughat terhadap konstitusi yang sudah ada. Secara bahasa, bughât adalah bentuk jamak dari al-bâghi, yang artinya azh-zhâlim wal ‘âniy (orang yang berbuat zalim dan sewenang-wenang). (Kamus al Munawwir hal 98).
Sedangkan secara istilah, para fuqaha’ mendefinisikan bughât sebagai:
“Kaum muslimin yang keluar dari ketaatan kepada Imam (Kepala Negara) yang benar dengan menggunakan ta’wil, dan mereka memiliki kekuatan” (al Mausû’ah al Fiqhiyyah al Kuwaytiyyah, 8/130)
Dalam al Mausû’ah al Fiqhiyyah, bughât itu terjadi jika terpenuhi semua syarat berikut:
1) Pelaku penentangannya adalah sekelompok kaum muslimin yang punya kekuatan. Kalau pelakunya tidak punya kekuatan maka tidak disebut bughât, begitu juga jika pelakunya non muslim maka tidak pula disebut bughât, namun harbiyyun, perlakuannya tentu berbeda.
2) Penentangannya bukan karena alasan yang benar, dengan maksud menggulingkan penguasa dengan ta’wil yang salah, yang masih ada sisi kebenarannya.
Jika keluarnya dari ketaatan tanpa takwil, itu namanya qutha’ut tharîq. Jika penentangannya karena alasan yang benar, seperti menentang kedzaliman penguasa, maka juga tidak disebut bughât, dan dalam kondisi ini hendaklah penguasa meninggalkan kedzalimannya, dan hendaklah manusia tidak membantu penguasa dalam melakukan kedzaliman melawan kelompok tersebut, juga tidak membantu kelompok tersebut memerangi penguasa.
Jika ta’wilnya jelas-jelas fasid, seperti menakwilkan hal yang keharamannya sudah pasti, maka tidak disebut bughât.
3) Menentang Imam (Kepala Negara) yang hak, yang betul-betul berkuasa dan masyarakat sepakat atas kepemimpinan mereka, yang dengan Imam tersebut masyarakat menjadi aman, jalan-jalan menjadi aman. Jika hal ini tidak terjadi, berarti Imam tersebut lemah atau sewenang-wenang, hal ini membolehkan keluar dari ketaatan kepadanya dan memecatnya jika tidak dikhawatirkan timbul fitnah.
4) Melawannya dengan kekuatan fisik, atau dengan peperangan. Oleh karena itu, kelompok yang keluar dari ketaatan tanpa kekuatan fisik yang memadai, tidak dihukumi sebagai bughât.
Jika kelompok tersebut bermodalkan kekuatan, termasuk senjata, namun belum secara riil digunakan berperang, maka tetap saja disebut bughât.
5) Kalangan Syafi’iyyah mensyaratkan bahwa kelompok tersebut memiliki pemimpin yang mereka taati.
Oleh sebab itu, menyebut Hizbut Tahrir Indonesia yang hanya sekedar menyampaikan aspirasi yang berbeda dengan penguasa dengan sebutan bughât (pemberontak), dari sisi manapun dilihat, adalah penyebutan yang jelas-jelas keliru, apalagi jika dilihat bahwa penguasa yang diprotes tersebut adalah penguasa yang tidak tunduk kepada hukum-hukum Allah.
Mengganti NKRI?
Ketika Islam bisa diterapkan secara kaffah, sejatinya keadilan membumi bersama penerapan syariah Islam tersebut. Hak untuk menerapkan seluruh hukum Islam bagi umat Islam sesungguhnya terkebiri dalam alam demokrasi, konsep demokrasi, kebenaran adalah suara rakyat, maka kendati suara yang diwakili oleh wakil rakyat salah, akan menjadi produk hukum. Sedang dalam Islam kebenaran adalah apa yang datang dari sang Pencipta. Inilah esensi perbedaannya.
Islam dan syariat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya artinya “sekuler”. Maka wajar jika kehadiran Hizbut-Tahrir mencoba membuka pemikiran pemerintah, agar mengadopsi dengan ajaran Islam sendiri, dimana dalam hukum Islam non-muslim wajib diayomi. Maka hendaknya pemerintah obyektif melihat keagungan syariat Islam, keindahan dan keadilan Syariat Islam ketika diterapkan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, kita bisa lihat kiprah HTI justru menyelamatkan NKRI, disaat bangsa ini mencari solusi alternatif mengelola SDA, Migas, pengelolaan Tenaga kerja, perempuan, pergaulan, hukum, ekonomi dan sebagainya, Hizbut Tahrir Indonesia selalu menyodorkan solusinya yang digali dari nilai-nilai syariah Islam. Hizbut Tahrir Indonesia dalam menyerukan gagasannya tidak memaksakan kehendak, disinilah HTI hanyalah berdakwah ke tengah masyarakat umum secara damai. Agar masyarakat menyadari, memahami dan mempertimbangkan ide dan gagasan yang diserukan HTI yang notabene seluruhnya adalah syariah Islam yang agung yang datang dari Allah SWT.
Perjuangan HTI sesungguhnya menyadarkan umat Islam untuk hidup sejahtera dibawah naungan Islam. HTI menyampaikan syiar dakwah bukan seperti gerakan separatis yang akan mengambil sebagian wilayah atau mengambil seluruh wilayah NKRI. HTI justru ingin menyelamatkan NKRI dari penjajahan Asing yang selama ini menjarah kekayaan negeri. Mengapa harus Khilafah Islam? Selain karena ajaran Islam memang demikian, juga karena kekuatan asing itu suatu Negara adidaya yang tamak dan rakus, maka Indonesia tidak bisa menghadapi kecuali negeri-negeri Islam yang ada harus bersatu dalam wadah Khilafah Islamiyyah. Maka dari itu, jika dengan Khilafah Islam, rakyat menjadi sejahtera tanpa ada penjajahan neoliberalisme dan neokapitalisme, tidak ada korupsi dan hukum tegak seadil-adilnya, apakah kita tetap akan menolaknya? []