HTI Bukan Organisasi Radikal Versi Ansyaad Mbay (2)

 HTI Bukan Organisasi Radikal Versi Ansyaad Mbay (2)

Oleh: Rokhmat S. Labib

Di antara ciri organisasi yang menganut paham radikal, menurut Ansyaad Mbay, adalah pemahamannya tentang jihad yang bersifat ekstrem. “Jihad diartikan sebagai perang,” ujar mantan Ketua BNPT dalam sidang gugatan HTI kepada Menkumham di PTUN pada Kamis 1/3/18 yang lalu.

Lebih lanjut Mbay mengatakan bahwa perang yang dimaksud adalah untuk mendirikan khilafah. Dengan begitu, syariah dapat ditegakkan.

Bertolak dari ciri tersebut, ahli yang didatangkan oleh pemerintah itu mengatakan bahwa HTI termasuk organisasi yang berpaham radikal. Selain karena menafsirkan jihad dengan makna ekstrem, yakni perang, menurutnya HTI juga menganut paham takfiri.

Mengenai tuduhan bahwa HTI berpaham takfiri sudah dibantah dalam tulisan sebelumnya. Intinya, tuduhan tersebut merupakan fitnah keji dan tak berdasar.

Tulisan ini akan membeberkan kesalahan fatal Ansyaad Mbay tentang pemaknaan jihad.

Pertama, memang HTI memahami bahwa jihad adalah perang di jalan Allah Swt. Inilah makna syar’i jihad yang diperintahkan al-Quran dan al-Sunnah. Dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah III/146 disebutkan:

الجهاد هو بذل الوُسْع في القتال في سبيل الله مباشرة أو معاونة بمال أو رأي أو تكثير سواد أو غير ذلك فالقتال لإعلاء كلمة الله هو الجهاد.

Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secaa langsung maupun pemberian bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak perbekalan, atau lainnya. Jadi, perang untuk meninggikan kalimat Allah adalah jihad.

Kalau begitu, benar apa yang dikatakan oleh Ansyaad Bay?
Nanti dulu. Memang benar HTI memahami bahwa makna jihad secara syar’i adalah perang. Namun, menyebut orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti itu sebagai radikal dengan konotasi negatif jelas merupakan sebuah tuduhan serius.

Mengapa?

Karena yang memaknai jihad dengan perang bukan hanya HTI. Para ulama mu’tabar juga memiliki pandangan yang sama. Silakan periksa dalam berbagai literatur, baik tafsir,hadits, fiqh, sirah, dan lain-lain. Dalam kitab-kitab fiqh dan hadits, ketika disebutkan bab al-Jihâd, maka yang dimaksudkan adalah bab yang membahas tentang perang.

Saya berikan sedikit contoh ulama yang memahami bahwa jihad adalah perang. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ulama terkemuka Madzhab Syafi’i, berkata:

وَشَرْعًا بَذْل الْجَهْد فِي قِتَال الْكُفَّار

Dan secara syar’i, (jihad) adalah mengerahkan segala kemampuan dalam perang melawan orang-orang kafir (Fat-h al-Bari, 8/365).

‘Ala`uddin al-Kassani, seorang ulama Madzhab Hanafi, berkata:

وفي عرف الشرع يستعمل في بذل الوسع والطاقة بالقتال في سبيل الله عز و جل بالنفس والمال واللسان أو غير ذلك أو المبالغة في ذلك

Dalam dalam pengertian syar’i, kata (jihad) digunakan untuk menyebut pengerahan kemampuan dan kekuatan dalam perang di jalan Allah Swt, baik dengan jiwa, harta, lisan, atau selainnya, atau lebih dari itu (Badâ`i’ al-Shanâi’, VI/57).

Al-Syaikh ‘Alisy, seorang ulama Madzhab Maliki, mendefinisikan jihad sebagai berikut:

قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ تَعَالَى

Perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian, untuk menggikan kalimat Allah Swt (Munah al-Jalîl Syar-h Mukhtashar, v/484).

Al-Syaikh Musthafa bin Sa’ad al-Dimasqi, seorang ulama dari Madzhab Hambali, berkata:

وَشَرْعًا : ( قِتَالُ الْكُفَّارِ )

Dan secara syar’i, jihad berarti perang melawan orang-orang kafir (Mathâlib Uli al-Nuhâ fî Syarh Ghâyah al-Muntahâ, VI/465).
Itu hanya sekadar contoh. Sekalipun berbeda redaksional bahasanya, maksudnya sama. Bahwa jihad adalah perang di jalan Allah Swt.

Pertanyaannya: Apakah karena memaknai jihad sebagai perang para ulama mu’tabar itu disebut sebegai penganut paham radikal dengan konotasi negatif dan ajarannya harus dilarang dan dimusuhi?

Patut juga dicatat, selain kata al-jihâd yang secara bahasa tidak selalu bermakna perang, dalam al-Quran juga digunakan kata lain menunjukkan makna perang secara fisik., yakni al-qitâl (perang). Kata ini tidak memiliki makna lain kecuali perang dalam arti perang fisik. Dan secara tegas al-Quran pun menyebutnya sebagai sebuah kewajiban. Allah Swt berfirman:

{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ } [البقرة: 216]

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci (QS al-Baqarah [2]: 216).

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:

هَذَا إِيجَابٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لِلْجِهَادِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ: أَنْ يكُفُّوا شَرَّ الْأَعْدَاءِ عَنْ حَوْزة الْإِسْلَامِ وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: الجهادُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ، غَزَا أَوْ قَعَدَ؛ فَالْقَاعِدُ عَلَيْهِ إذَا اسْتُعِينَ أَنْ يَعينَ، وَإِذَا استُغيثَ أَنْ يُغيثَ، وَإِذَا استُنْفرَ أَنْ يَنْفِرَ، وَإِنْ لَمْ يُحتَجْ إِلَيْهِ قَعَدَ

Ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Swt atas kaum Muslimin, agar mereka bisa menghentikan kejahatan musuh-musuh dari wilayah Islam. Al-Zuhri berkata, ”Jihad wajib atas setiap orang, baik yang berperang maupun yang tidak ikut. Orang yang tidak ikut berperang, apabila dimintai bantuan, harus membantu; apabila dimintai tolong, harus menolong; jika diminta berangkat, harus berangkat; dan apabila tidak dibutuhkan, tetaplah dia berada di tempatnya (Tafsir al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/(1/ 573).

Ibnu Katsir kemudian mengutip hadits Nabi saw:

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِغَزْوٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia belum pernah berperang dan berniat untuk berperang, maka ia meninggal seperti meninngal dalam keadaan jahiliyyah (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Dengan demikian jelaslah bahwa jihad dalam perang merupakan ajaran Islam, termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Apakah berani menyebut radikal dengan konotasi negatif kepada al-Quran dan al-Sunnah karena memerintahkan umatnya untuk berperang di jalan Allah Swt?

Dalam kehidupannya, Rasulullah saw juga telah mempraktekkan pelaksanaan jihad. Ibnu Hisyam meriwayatkan beliau ikut terlibat dalam 27 kali peperangan. Sebanyak 9 kali ikut terjun langsung, dan selebihnya beliau mengatur dan mengorganisirnya. Apakah berani menyebut Rasulullah saw radikal karena telah memobilisasi kaum muslimin untuk perang dan terjun langsung di medan pertempuran?

Mereka yang memusuhi ajaran Islam tentang jihad untuk juga melihat sejarah. Sejarah kemerdekaan negei ini tak bisa dilepaskan dari ajaran jihad. Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Sultan Baabullah, Sultan Agung, Sultan Ageng Tirtaya, dan lain-lain, semua melawan penjajah karena dorongan jihad.

Demikian pula pasca proklamasi ketika Belanda dan sekutu datang hendak menjajah kembali. Umat Islam negeri ini bangkit melakukan perlawanan juga karena seruan jihad. Lalu mengapa setelah negara kafir penjajah itu angkat kaki, sekarang jihad justru dimusuhi dan dikriminalisasi?

Kedua, tentang metode HTI dalam memperjuangjan khilafah. HTI dengan tegas menyatakan bahwa jihad bukan merupakan thariqah atau metode untuk menegakkan khilafah. Sekalipun menyampaikan seruan yang menantang dan terus terang, namun HTI membatasi aktivitasnya hanya dengan dakwah, tidak menggunakan kekerasan. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam Kitab Ta’rîf Hizb al-Tahrîr:

إلاّ أنه اقتصر على الأعمال السياسية في ذلك، ولم يتجاوزها إلى الأعمال المادية ضد الحكام، أو ضد من يقفون أمام دعوته، إقتداء برسول الله – صلى الله عليه وسلم – من اقتصاره في مكة على الدعوة، ولم يقم بأيّة أعمال مادية حتى هاجر،

Hanya saja Hizb telah membatasi kegiatannya hanya bersifat politik tanpa menempuh aktivitas fisik (kekerasan atau senjata) dalam menghadapi para penguasa maupun dalam mennghadapi orang-orang yang menghalangi dakwahnya. Itu dilakukan untuk meneladani Rasulullah saw yang membatasi kegiatannya di Makkah hanya dengan dakwah dan tidak melakukanb kegiatan fisik sama sekali hingga hijrah (Ta’rîf Hizb al-Tahrîr, hal. 11).

Ini adalah thariqah atau metode yang ditempuh HTI. Dalam pandangan HTI, metode ini merupakan hukum syara’ yang harus ditaati. Oleh karena itu, HTI pun konsekuen dan terikat dengan ketentuan tersebut. Dalam praktenya, HTI sama sekali tidak pernah menggunakan kekerasan dalamn kegiatannya. Termasuk dalam aksi-aksi demonstransi, semuanya dilakukan secara damai.

Terhadap berbagai aksi bom dan kekerasan di negeri ini yang mengakibatkan timbulnya korban nyawa dan harta orang yang tak berdosa, HTI juga menyampaikan kecaman dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan.

Dengan fakta tesebut, tuduhan Ansyaad Mbay jelas salah dan tak berdasar. Bisa disebut sebagai fitnah yang sangat keji.

Kami juga perlu mengingatkan kepada Pak Ansyaad Mbay untuk bersikap adil. Jika selama ini tudingan terorisme hanya diarahkan kepada kaum Muslimin, mengapa tudingan yang sama tidak pernah diarahkan kepada Amerika dan negara-negara kafir penjajah lainnya. Padahal apa yang mereka lakukan jelas-jelas menimbulkan kerusakan dan kehancuran luar biasa. Bukankah itu terorisme yang sebenarnya?

Lihatlah, Afghanistan dan Irak. Kedua negara itu hancur dan porak poranda akibat serbuan brutal tentara Amerika. Demikian pula Rusia yang telah membantai kaum Muslimin di Suriah dan menghancurkan negeri mereka. Pula, Israel yang telah merampas tanah Palestina dan mengusir dan membunuhi penduduknya. Mengapa mereka tidak pernah disebut teroris?
Semua realitas itu menunjukkan dengan jelas bahwa isu radikalisme adalah propaganda melawan Islam. Demikian pula war on terrorisme yang dipimpin Amerika sejatinya adalah memerangi Islam.

Dalam keadaan seperti ini, di manakah kita berdiri: di barisan Islam dan kaum Muslimin atau di barisan negara-negara-kafir penjajah? Sungguh, pilihan kita sekarang menentukan nasib kita di akhirat kelak. []

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *