Teror Terhadap Ajaran Islam Khilafah
Catatan Persidangan PTUN Jakarta, antara HTI vs Kemenkumham
Oleh: Ahmad Khozinudin, SH |Koordinator Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Pada sidang lanjutan sengketa TUN di PTUN Jakarta (8/3/2018), antara HTI vs Kemenkumham, pihak Kemenkumham menghadirkan ahli Prof. Drs. YUDIAN WAHYUDI, MA., Ph.D, yang menjabat Guru Besar/ Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Ahli adalah orang yang sebelumnya membuat gaduh jagat sosmed, karena dianggap telah melecehkan ajaran Islam sehubungan dengan kebijakan yang dibuat di UIN Sunan Kali Jaga (SKJ), terkait pembinaan (baca: pelarangan) bagi mahasiswi UIN SKJ yang mengenakan Niqob (cadar) di lingkungan kampus.
Dalam keterangannya, ahli menyebut Khalifah bukan pemimpin Khilafah, Khalifah adalah status terkait keahlian. Khalifah, bisa hadir dalam sistem apapun. Ahli juga menyebut Donald Trump sebagai Khalifah terkuat saat ini. Jokowi, disebut Khalifah level nasional.
Yang paling Ngaco, ahli menyebut proses peralihan kekuasaan dalam Islam dari satu Khalifah ke Khalifah yang lain atas sebab “Perang Tanding”.
Khalifah Abu Bakar RA menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah SAW, karena menang perang tanding. Umar RA menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar RA karena menang perang tanding. Utsman RA menjadi Khalifah menggantikan Umar RA karena menang perang tanding. Ali RA menjadi Khalifah menggantikan Utsman RA karena menang perang tanding. Begitu seterusnya.
Bahkan, ahli juga menyimpulkan runtuhnya keKhilafahan Islam di Turki Utsmani pada Tahun 1924 M adalah karena umat Islam kalah perang tanding.
Istilah “perang tanding” yang diintrodusir ahli sepertinya hal biasa, hanya ungkapan majazi untuk mengungkapkan suatu fakta atau realita. Namun, jika ditelan mentah oleh publik, ungkapan “perang tanding” sebagaimana di dengungkan secara berulang dalam sebuah forum pengadilan akan menimbulkan kesesatan pemikiran (fitnah) terhadap ajaran Islam Khilafah.
Beberapa bahaya penyesatan opini dan pemikiran yang berpotensi timbul, jika frasa “perang tanding” ini tidak segera diluruskan ditengah-tengah umat, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, perang tanding memiliki konotasi negatif. Dalam konteks kekuasaan, perang tanding lebih condong pada upaya perebutan kekuasan yang didasari syahwat politik (keinginan kuat untuk menjadi penguasa).
Kekuasaan yang diperoleh dari perang tanding bisa juga dimaknai kekuasan yang diperoleh berdasarkan pemaksaan dan bukan atas keridlaan. Kekuasaan diambil alih dengan menggunakan pendekatan “kuasa” bukan logika, apalagi sebuah kesepakatan politik.
Padahal, umat Islam paham proses diskusi politik di Saqifah Bani Saidah itu adalah musyawarah (syuro), yang didasari atas urgensi adanya pengganti Rasulullah SAW untuk melanjutkan kepemimpinan negara Islam (bukan sebagai Nabi). Syuro adalah aktivitas meminta pendapat terbaik, yang kemudian dikukuhkan dalam sebuah kesepakatan (keputusan).
Hasil Syuro menyepakati Abu Bakar sebagai pengganti (Khalifah) Rasulullah. Keputusan Syuro dibuat berdasarkan pilihan penuh keridlaan dan bukan atas paksaan.
Khalifah Abu Bakar menjadi Khalifah setelan Ridlo untuk dibaiat sebagai pengganti Rasul, sementara para sahabat yang hadir dalam forum musyawarah di Saqifah Bani Saidah memberikan kekuasaan kepada Abu Bakar atas mufakat, bukan sebab paksaan. Jadi, bukan atas dasar perang tanding sebagaimana dituduhkan ahli.
Kedua, akad untuk memberikan kekuasaan Islam (Khalifah) itu adalah dengan Bai’at. Bukan dengan perang tanding.
Bai’at adalah akad pemberian kekuasaan dari umat baik secara langsung atau melalui wakilnya, yang diberikan kepada Khalifah untuk menerapkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Abu Bakar asy Syidik menjadi Khalifah bukan sebab keputusan musyawarah saja, tetapi setelah musyawarah itu ditindaklanjuti dengan akad Bai’at. Bai’at dari para sahabat yang mengikuti musyawarah (Syuro) di Saqifah Bani Saidah, yang menjadikan Abu Bakar legal (sah) menjadi Khalifah.
Bahkan, Imam Ali Karomallahu Wajhah segera ikut berdesakan untuk ikut memberikan Bai’at kepada Abu Bakar asy siddik, meskipun beliau tidak mengikuti musyawarah (Syuro). Artinya, Ali RA juga ridlo terhadap keputusan musyawarah sahabat-sahabat yang sepakat membaiat Abu Bakar Asy Siddik.
Jadi, satu tuduhan jahat dan amat keji terhadap Para Sahabat (semoga Allah SWT meridloi mereka) jika ada ungkapan yang menyatakan Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA, Ali RA, memperoleh posisi sebagai Khalifah sebab perang tanding.
Ketiga, sebenarnya diskursusnya bukan sekedar terhadap Khilafah, tetapi terhadap ajaran Islam. Khilafah wajib, itu berdasarkan dalil, baik Al Quran, As Sunnah, serta apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma’ dan Qiyas Syar’i.
Artinya, menuding jabatan Khalifah diperoleh melalui perang tanding adalah tuduhan keji yang tidak saja dialamatkan kepada HTI. Tudingan itu adalah tuduhan keji terhadap Al Quran dan As Sunnah, tuduhan terhadap seluruh kaum muslimin, dan ini adalah bentuk penentangan nyata kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dari uraian tersebut diatas, maka keterangan ahli yang menyebut kekuasaan Islam (Khalifah) itu diperoleh melalui perang tanding adalah bentuk teror publik terhadap ajaran Islam.
Menuding Khilafah diperoleh melalui perang tanding, adalah fitnah keji dan melukai perasaan kaum muslimin yang mengimani agamanya, dan hanya mau berhukum dengan hukum yang berasal dari Allah SWT. Padahal, tidak mungkin menerapkan syariah Islam secara kaffah, kecuali dengan institusi Khilafah.
Sampai disini, sebenarnya penulis bisa memahami mengapa ahli memberikan keterangan nyeleneh sebagaimana diuraikan di pengadilan. Sebab, untuk urusan Niqab (cadar) saja ahli dalam kapasitasnya sebagai Rektor juga mengeluarkan pendapat yang kontroversi, menentang pendapat para ulama tentang Hukum Niqob. Jadi, lumrah saja jika dalam persidangan di PTUN Jakarta ahli memberikan keterangan kontroversi seputar Khilafah dengan ujaran “perang tandingnya”. [].