Ghouta Timur Adalah Srebrenica yang Lain
Mengenang Pembantaian Srebrenica
Pembantaian Srebrenica (disebut juga Genosida Srebrenica) adalah kejadian pembantaian sekitar lebih dari 8000 lelaki dan remaja etnis Muslim Bosniak pada Juli 1995 di daerah Srebrenica, Bosnia oleh pasukan Republik Srpska pimpinan Jenderal Ratko Mladić. Pada 27 Februari 2007, Mahkamah Internasional menetapkan kejadian ini sebagai sebuah genosida. Selain pasukan Serbia Bosnia, pasukan paramiliter Serbia Scorpion (pernah menjadi bagian dari Kementerian Dalam Negeri Serbia sampai 1991 serta ratusan sukarelawan dari Ukraina dan Rusia juga turut bersalah atas pembantaian ini.
Pada April 1993, Persatuan Bangsa Bangsa menyatakan daerah enklave yang terkepung di Lembah Drina, Srebrenica, Bosnia timur laut, sebagai “daerah aman” di bawah perlindungan PBB. Namun, pada Juli 1995, Pasukan Perlindungan Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations Protection Force/ UNPROFOR), terdiri dari kontingen sebesar 400 tentara Belanda (Dutchbat), tidak mencegah pendudukan Srebrenica dan pembantaian yang terjadi setelahnya.
Daftar Awal dari Orang Hilang atau Terbunuh di Srebrenica yang disusun Komisi Federal Bosnia untuk Orang Hilang mencatat 8,373 nama.Sampai Juli 2012, 6.838 korban sudah teridentifikasi melalui tes DNA dari bagian tubuh yang diambil dari kuburan-kuburan massal sampai Juli 2013, 6.066 korban sudah dimakamkan di Pusat Peringatan Potočari.Pembantaian Srebrenica dianggap secara meluas sebagai pembunuhan massal terbesar di Eropa semenjak Perang Dunia II. Ia juga merupakan kejadian pertama yang ditetapkan sebagai genosida secara hukum. Akibat bentuk kejadian ini, jumlah sebenarnya, butiran terperinci, dan sebab kejadian dipertikaikan sampai kini. Kejadian ini dianggap sebagai kejadian paling menakutkan dan kontroversial dalam sejarah Eropa modern pasca Perang Dunia II.
Pada tahun 1992, peperangan pecah antara Serbia dan Bosnia. Karena kekejaman dan pembersihan etnis yang dilakukan para tentara Serbia, umat Muslim Bosnia harus mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Srebrenica adalah salah satu kamp terbesar dan dinyatakan oleh PBB sebagai zona aman. Kamp itu sendiri dijaga oleh 400 penjaga perdamaian dari Negeri Belanda.
Pada tanggal 6 Juli 1995, pasukan Korps Drina dari tentara Serbia Bosnia mulai menggempur pos-pos tentara Belanda di Srebrenica. Pada tanggal 11 Juli pasukan Serbia memasuki Srebrenica. Anak-anak, wanita dan orang tua berkumpul di Potocari untuk mencari perlindungan dari pasukan Belanda. Pada 12 Juli, pasukan Serbia mulai memisahkan laki-laki berumur 12-77 untuk “diinterogasi”.
Pada tanggal 13 Juli pembantaian pertama terjadi di gudang dekat desa Kravica. Pasukan Belanda menyerahkan 5000 pengungsi Bosnia kepada pasukan Serbia, untuk ditukarkan dengan 14 tentara Belanda yang ditahan pihak Serbia. Pembantaian terus berlangsung. Pada 16 Juli berita adanya pembantaian mulai tersebar. Tentara Belanda meninggalkan Srebrenica, dan juga meninggalkan persenjataan dan perlengkapan mereka. Selama 5 hari pembantaian ini, 8000 Muslim Bosnia telah terbunuh.
Tregedi Berulang
Tragedi mengerikan pembantaian Bosnia tahun 1995 terulang pada hari ini di Suriah. Dengan setiap anak yang mati, dengan segala tindakan brutal yang tidak dijalani, Ghouta bagian timur lebih mirip dengan apa yang Kofi Annan sebut sebagai kejahatan terburuk yang dilakukan di tanah Eropa sejak tahun 1945. Ghouta Timur menjadi Srebrenica di Suriah.
“Ini bukan perang. Ini adalah pembantaian ‘: terlihat dari tingginya jumlah korban terbunuh di wilayah kantong di Suriah
Sebagaimana wilayah kantong Muslim Bosnia pada tahun 1995, Ghouta timur, di pinggiran kota Damaskus, telah dikepung oleh pasukan rezim sejak awal perang Suriah. Bertahun-tahun tindakan pembantaian untuk jumlah penduduk telah gagal mengusir faksi-faksi pejuang yang mengendalikan wilaya itu.
Sebagaimana yang terjadi di Srebrenica, persediaan makanan, bantuan dan bantuan medis telah terputus. Pada tahun 1993, PBB menunjuk wilayah Srebrenica sebagai sebuah “wilayah yang aman”. Tahun lalu, sebagai bagian dari proses perdamaian Kazakhstan yang gagal, orang-orang Rusia mengumumkan Ghouta bagian timur sebuah “zona de-eskalasi”.
Tindakan yang gagal. Seperti halnya di Bosnia, tidak ada seorangpun yang mencoba melindungi penduduk sipil ketika serangan ofensif dimulai di sana pada bulan Desember setelah gagalnya negosiasi. Serangan udara dan pemboman yang sekarang memakan jumlah korban yang mengerikan dilakukan dengan impunitas (tanpa mendapatkan hukuman) oleh pasukan Suriah dan pasukan Rusia yang menjadi pendukung mereka.
PBB hampir memohon agar koalisi pro-Assad, yang termasuk milisi yang dipimpin Iran, untuk menyetujui gencatan senjata kemanusiaan segera. Permohonan itu telah diabaikan. Permintaan lembaga bantuan untuk mendapatkan akses ke wilayah itu juga tidak dijawab.
Perhatian kekuatan-kekuatan besar – AS dan Rusia – dan para aktor regional seperti Turki, hanya terfokus pada permainan strategis besar yang dimainkan di atas mayat setengah juta rakyat Siria. Mata mereka tertuju pada bagaimana mengontrol masa depan sebuah negara Suriah. Bagi pemerintahan Trump, hal ini berarti membatasi apa yang dianggap sabagai ambisi Iran untuk menciptakan “jembatan darat” ke Mediterania, atau “bulan sabit Syiah” yang membentang dari Herat di Afghanistan hingga lembah Bekaa di Lebanon. Bagi Turki, hal ini mengenai cara untuk menghancurkan penduduk Kurdi. Bagi Vladimir Putin, hal ini tentang kekuasaan.
Tapi bagi penduduk Ghouta timur, hal ini adalah tentang kelangsungan hidup. Jumlah korban yang meninggal dalam 36 jam terakhir di wilayah di mana jumlah korban tewas keseluruhan sejak 2011, saat perang dimulai, telah mencapai ribuan orang, yang tidak terhitung jumlahnya. Dan tidak ada jalan keluar. Ratusan orang terluka dan terbunuh, rumah sakit dibom. Kekerasan itu berlangsung tanpa henti dan tindakan kekejaman tidak terhentikan.
Di Srebrenica, sekitar 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim dibantai dalam beberapa hari. Antara 25.000 hingga 30.000 wanita Bosnia, anak-anak dan orang tua harus diungsikan secara paksa dan menjadi korban pelecehan. Pengadilan pidana internasional atas bekas Yugoslavia kemudian memutuskan bahwa kejahatan tersebut merupakan genosida.
Pada saat itu, dunia hanya diam berdiri dan menyaksikan tentara paramiliter Serbia pimpinan Ratko Mladic dan tentara paramiliter Scorpion menutup pintu masuk, mengalahkan jumlah pasukan penjaga perdamaian Belanda. Komunitas internasional tahu betul apa yang mungkin dilakukan Mladic, bahwa pembantaian sudah di depan mata.
Penderitaan di wilayah Ghouta timur, yang sudah terkenal sebagai tempat serangan senjata kimia tahun 2013 dengan menggunakan gas sarin, terjadi lebih lambat tapi juga diabaikan. Sekali lagi warga sipil, termasuk sejumlah besar anak-anak, telah terbunuh. Sekali lagi, kekuatan-kekuatan barat, dengan pasukan yang dikerahkan di negara tersebut, menolak untuk campur tangan. Sekali lagi, PBB tidak berdaya, dewan keamanan tidak berdaya oleh hak veto Rusia.
Presiden Suriah, Bashar al-Assad – seperti halnya Mladic pada tahun 1995 – tampaknya tidak mempan dengan tekanan argumen maupun tekanan luar. Bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Assad dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sangat banyak. Sejauh ini tidak ada tuduhan yang diajukan, dan dia terus melakukan apapun yang dia mau.
Pada hari ini, di Ghouta timur, seperti halnya Srebrenica pada tahun 1995, kejahatan keji yang merupakan genosida sedang dilakukan. Pada bulan November, Mladic akhirnya dihukum karena genosida di Den Haag. Itu butuh waktu 22 tahun. Berapa banyak lagi anak-anak yang akan mati sebelum keadilan ditegakkan di Syria? []AF/Riza
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 215