Lima Perkara, Termasuk LGBT, yang Binasakan Masyarakat
Wahai kaum Muhajirin, lima perkara jika kalian ditimpanya dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya. 1. Tidaklah zina tampak di suatu kaum hingga mereka melakukannya terang-terangan kecuali akan menyebar di tengah mereka penyakit Tha’un dan berbagai penyakit yang belum terjadi di generasi-generasi yang sudah berlalu sebelum mereka. 2. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan ditimpa as-sinîn, menipisnya persediaan dan kezaliman penguasa terhadap mereka. 3. Tidaklah mereka tidak mau menunaikan zakat harta mereka kecuali hujan akan ditahan turun dari langit. Seandainya tidak ada binatang-binatang, tidak akan diturunkan hujan atas mereka. 4. Tidaklah mereka melanggar perjanjian (dengan) Allah dan perjanjian (dengan) Rasul-Nya kecuali Allah menjadikan mereka dikuasai musuh mereka. Lalu musuh mereka itu akan mengambil sebagian yang mereka miliki. 5. Dan tidaklah imam-imam mereka tidak menghukumi dengan kitabullah dan mereka memilih-milih dari apa yang diturunkan oleh Allah, kecuali Allah menjadikan al-ba’su terjadi ditengah mereka. (HR. Ibn Majah, al-Bazar, al-Hakim, al-Bayhaqi, dan Abu Nu’aim)
Hadits ini merupakan peringatan Rasul SAW akan terjadinya lima perkara dan akibatnya jika hal itu terjadi di tengah suatu kaum. Kelima perkara dan akibatnya itu:
Pertama, tampaknya al-Fâhisyah dilakukan terang-terangan. Fâhisyah secara bahasa adalah perbuatan keji dan tercela, atau semua bentuk perbuatan dosa. Secara lebih khusus fâhisyah menunjuk kepada dosa besar. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai perbuatan zina, dan bisa juga mencakup homoseksual dan lesbianisme (LGBT). Rasul memperingatkan, jika perbuatan fâhiysah ini tampak dan dilakukan secara terang-terangan, sesuai hadits di atas, masyarakat akan ditimpa wabah tha’ûn (pes) dan muncul penyakit yang belum terjadi pada generasi sebelumnya. Hal itu persis seperti muncul dan menyebar luasnya penyakit aids, penyakit menular seksual dan lainnya yang belum dikenal pada generasi-generasi lalu.
Kedua, kecurangan dalam takaran dan timbangan. Kecurangan itu dilakukan untuk mengumpulkan kekayaan. Namun akibatnya, Allah justru akan mendatangkan as-sinîn, menipisnya stok bahan-bahan kebutuhan dan terjadinya kezaliman penguasa terhadap masyarakat. Sebagian ulama menafsirkan as-sinîn dengan kefakiran. Menurut Abu Muhammad al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, as-sinîn adalah jamak dari as-sanah (tahun), yang dimaksud adalah tahun-tahun kering di mana bumi tidak menumbuhkan apa-apa baik dalam keadaan diguyur hujan atau tidak.
Ketiga, enggan membayar zakat mal. Hal itu biasanya didorong oleh kekikiran dan nafsu menumpuk kekayaan. Perilaku enggan membayar zakat, bukan akan menambah kekayaan masyarakat, tetapi justru membuat hujan tidak diturunkan dari langit. Kalaupun hujan diturunkan, hal itu karena masih adanya binatang-binatang ternak. Ini menyiratkan bahwa keberkahan dan rahmat tidak selalu menyertai hujan yang diturunkan.
Keempat, melanggar perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya. Menurut para ulama, perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya itu maksudnya adalah ketentuan dan perjanjian dalam masalah peperangan yang terjadi di antara kaum Muslim dengan musuh mereka. Termasuk pesan yang disampaikan Rasul SAW ketika mengutus sariyah atau ghazwah. Bisa juga dimaknai secaa lebih umum, mencakup semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Kelima, ketika para pemimpin suatu kaum tidak memerintah dan tidak menghukumi dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dan mereka memilih-milih di antara hukum yang diturunkan oleh Allah. Jika hal itu terjadi, akibatnya akan terjadi al-ba’su di tengah mereka. Menurut az-Zarqani, al-Ba’su adalah peperangan, fitnah dan perselisihan. Kondisi kaum Muslim saat ini yang terpecah-pecah menjadi lebih dari 50 negara, terjadinya perselisihan dan peperangan di antara kaum Muslim, membenarkan sabda Rasul tersebut. Karena semua itu terjadi setelah para pemimpin kaum muslim tidak lagi memerintah dan memutuskan perkara dengan hukum-hukum Allah. Mereka lebih rela menerapkan hukum-hukum buatan manusia. Yang menguntungkan atau sesuai dengan kepentingan, mereka ambil. Sebaliknya yang tidak menguntungkan atau tidak sesuai dengan kepentingan, mereka tolak. Hadits ini mengajarkan jika kaum Muslim menghendaki persatuan, ketenteraman dan keharmonisan, maka mereka harus mewujudkan pemimpin yang menerapkan seluruh hukum yang diturunkan oleh Allah tanpa memilih-milihnya. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [] Yahya Abdurrahman
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 211