Angka Bunuh Diri Meningkat, Cermin Kegagalan Sistem Kapitalisme
Oleh : Rahmat Abu Zaki | Dir.Lingkar Opini Rakyat-LOR
Warga Dusun Sambilanang Desa Karobelah, Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang, dihebohkan dengan aksi bunuh diri Evy Suliastin Agustin (26), bersama tiga anaknya. Kepala dusun Sambilanang, Khamim mengatakan, yang pertama kali mengetahui kejadian tersebut adalah adik korban, saat membawakan makanan datang ke rumah korban. “Adiknya seusai kuliah datang, karena kondisi rumah sedang sepi dan dicarilah mereka serta mendapati ketiga anak tersebut sudah terbaring di dalam kamar mandi,” katanya saat ditemui di lokasi kejadian, Selasa (16/1).
Selanjutnya di tempat yang sama, Evy Suliastin Agustin ditemukan dalam kondisi kritis dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Kemudian, ia bersama warga langsung melapor kepolisian karena menemukan botol pembasmi serangga yang diduga diminum para korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jombang, AKP Gatot Setyo Budi mengatakan, tiga anak saat ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia. Kondisi sang ibu saat ini kritis dan masih dirawat di rumah sakit umum daerah Kabupaten Jombang. . (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180116145515-20-269325/satu-keluarga-di-jombang-diduga-bunuh-diri) Selasa, 16/01/2018 15:11 WIB.
Sementara itu, berdasarkan rata-rata statistik, dalam sehari setidaknya ada dua hingga tiga orang yang melakukan bunuh diri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2015. Angka tersebut adalah yang tercatat di kepolisian. Angka riil di lapangan bisa jadi lebih tinggi.
World Health Organization (WHO), badan di bawah PBB yang bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional, memiliki data tersendiri. Berdasarkan data perkiraan WHO, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada 2012 adalah 10.000. Tren angka tersebut meningkat dibanding jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada 2010 yang hanya setengahnya, yakni sebesar 5.000.
Secara global, WHO menyatakan ada 800.000 orang lebih di wilayah seluruh dunia yang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya, dan ada lebih banyak orang lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri. Ada indikasi, sebenarnya ada lebih dari 20 orang lain yang mencoba untuk bunuh diri untuk setiap orang dewasa yang telah meninggal akibat bunuh diri.
WHO menambahkan, sebanyak 75% kasus bunuh diri di dunia terjadi di negara-negara yang berpendapatan ekonomi rendah dan menengah.
Namun di negara maju seperti Amerika Serikat pun kasus bunuh diri marak dijumpai. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebut setiap tahunnya 10.000 orang Amerika Serikat meninggal akibat bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar ketiga bagi anak-anak muda yang berusia antara 10 hingga 24 tahun di sana. Kurang lebih ada sekitar 4.600 anak muda yang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya. (https://kumparan.com/@kumparansains/tren-bunuh-diri-di-indonesia-dan-mancanegara, Minggu 19 Maret 2017 -09.07)
Depresi Sosial Penyebab Bunuh Diri
Tekanan yang menimpa masyarakat dapat berasal dari 4 jalan.
Pertama, diri sendiri. Individu yang memiliki pandangan hidup keliru, cenderung materialis dan sekular, jauh dari tuntunan agama, serta menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan hidupnya akan cenderung mudah mengalami depresi. Depresi terjadi biasanya ketika ia gagal mencapai apa yang diinginkannya, sementara pada saat yang sama, kesabaran dan ketawakalannya kepada Allah Swt. lemah.
Kedua, keluarga yang tidak harmonis, broken home, dan kurang tertata. Tempat hidup utama sehari-hari seperti itu merupakan tekanan bagi para penghuninya. Alih-alih rumah merupakan surga, justru sebaliknya, “rumahku adalah nerakaku”. Tak ada orang yang hidup tenang, tenteram, damai dan bahagia dalam ‘neraka’ keluarga.
Ketiga, masyarakat yang cenderung cuwek, individualis, dan apatis terhadap lingkungan sosial sebagai konsekuensi logis dari paham individualisme. Bahkan, dari internal masyarakat muncul berbagai kelompok atau media massa yang justru menanamkan bibit-bibit depresi. Rangsangan-rangsangan untuk menjadi kaya, kehidupan yang serba enak tanpa kerja keras, kebahagiaan yang seakan hanya di dunia ini, dan kehidupan serba instan yang terus dihidupkan di masyarakat merupakan bibit lain munculnya depresi sosial.
Keempat, negara yang tidak peduli terhadap masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan beban hidup masyarakat lainnya. Kebijakan negara yang membebani rakyat seperti biaya sekolah makin mahal, harga BBM dan listrik dinaikkan terus, dan penggusuran merupakan faktor pemicu lain depresi sosial.
Itulah empat pemicu depresi sosial di tengah-tengah masyarakat secara kolektif, baik satu saja maupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Semua faktor penyebab lahirnya depresi tersebut haruslah diminimalkan, bahkan diusahakan agar lenyap. Individu, keluarga, masyarakat, dan negara yang berkarakteristik seperti itu harus diubah.
Memperkuat Daya Tahan Dengan Syariat Islam
Selain menghilangkan keempat faktor penyebabnya, solusi untuk mengatasi depresi sosial pun harus ditempuh dengan mengubah penyebab-penyebab tersebut. Jalurnya pun mutlak melalui empat pendekatan secara menyeluruh dan terpadu. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
Pertama, solusi individu. Pada zaman Jahiliah, orang-orang yang ditinggal mati oleh saudaranya suka menunjukkan gejala depresi/stress. Rasulullah saw. mengarahkan umatnya untuk tidak berbuat seperti itu. Beliau bersabda: ”Tidaklah termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, menyobek-nyobek baju, dan menjerit-jerit seperti jeritan orang Jahiliah”. (HR al-Bukhari dan Muslim). Nabi saw. juga mencela sikap hidup hedonistik dan materialistik yang menyebabkan manusia hanya mengejar kehidupan dan kesenangan dunia, yang jika tidak tercapai, dapat menimbulkan depresi sosial.
Walhasil, Rasulullah saw. selalu menanamkan pandangan hidup yang sahih dan lurus, yakni pandangan hidup Islam yang didasarkan pada akidah Islam; menanamkan bahwa kebahagiaan hidup adalah diperolehnya ridha Allah, bukan dicapainya hal-hal yang bersifat duniawi dan material, karena semua itu bersifat sementara. Penanaman pikiran dan pemahaman seperti ini dilakukan melalui pembinaan baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Oleh sebab itu, setiap orang harus ‘memaksa’ dirinya untuk terus mengkaji Islam secara tepat; bukan untuk kepuasan intelektual, melainkan untuk diyakini, dihayati, dan diamalkan.
Dengan pengamalan tersebut ia akan menjadi orang yang memiliki keyakinan teguh, cita-cita kuat, tawakal hebat, dan optimisme tinggi; zikirnya rajin, shalatnya khusyuk, dan ibadah lainnya melekat dalam dirinya; perjuangan dan pengorbanannya untuk Islam pun membara. Ia akan berbuat di dunia dengan keyakinan Allah Swt. akan menolongnya, kesulitan dipandang sebagai ujian hidupnya, dan pandangannya jauh tertuju ke depan, ke akhirat. Dia berbuat di dunia untuk mencapai kebahagiaan hakiki, yaitu ridha Allah al-Khaliq. Jika ini dilakukan niscaya seseorang akan terhindar dari depresi.
Kedua, solusi keluarga. Betul, depresi tidak selalu terjadi pada keluarga yang berantakan. Ada juga orang yang berasal dari keluarga baik mengalami depresi. Namun, secara umum keluarga yang tak tertata berpeluang lebih besar melahirkan masyarakat yang depresi.
Allah Swt. Mahatahu terhadap karakteristik manusia yang diciptakannya. Dia adalah Zat Yang Mahalembut yang menurunkan konsep keluarga keluarga yang islami, harmonis, serta jauh dari hal-hal yang dapat merusak pondasi dan pilar-pilar keluarga; sehingga terbentuk keluarga yang ‘sakînah, mawaddah, wa rahmah’. Dalam konteks keluarga ini, hubungan suami-istri dalam rumahtangga bukanlah hubungan antara tuan dan pekerjanya, tetapi hubungan yang saling bersahabat dan saling menolong satu sama lain. Allah Swt. berfirman:”Mereka itu (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami) dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS al-Baqarah [2]: 187).
Realitas pakaian memiliki dua fungsi: keluar sebagai penutup; sementara ke dalam sebagai pelindung. Ketika hal ini diterapkan maka yang akan datang bukanlah depresi, melainkan ketenangan (sakînah) yang diliputi dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah), seperti yang dinyatakan dalam surat ar-Rum (30) ayat 21. Kemunculan depresi di tengah keluarga merupakan isyarat adanya kekurangberesan dalam keluarga tersebut, khususnya suami dan istri, di samping anggota keluarga lainnya. Allah Swt. memerintahkan agar kita menjaga keluarga kita: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (QS at-Tahrim [66]: 6).
Ketiga, solusi masyarakat. Kehidupan masyarakat, kata Nabi, seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal. Jika ada seseorang yang hendak mengambil air dengan melobangi kapal dan tidak ada orang lain yang mencegahnya, niscaya yang tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh anggota masyarakat terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Masyarakat yang para anggotanya mengembangkan bibit-bibit depresi, jika dibiarkan, akan melahirkan masyarakat yang depresi. Sebaliknya, warga masyarakat yang menumbuhsuburkan kebaikan akan mewujudkan masyarakat yang juga baik. Oleh sebab itu, agar masyarakat memiliki daya tahan dalam menghadapi depresi/stress sosial harus ada upaya untuk menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial; menciptakan atmosfir keimanan; serta mengembangkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat Madinah pada zaman Nabi saw. merupakan contoh ideal untuk hal ini.
Para sahabat, baik Muhajirin maupun Anshar, bahu-membahu dan saling mengasihi satu sama lain. Rasulullah mempersaudarakan mereka dan menanamkan sikap saling membantu dalam kekurangan di antara sesamanya. Nuansa keimanan begitu dominan baik di pasar Madinah, kebun-kebun kurma, dan tempat berkumpul lainnya. Mereka juga saling mengajak berbuat kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Masyarakat saat itu menyatu menjadi masyarakat dakwah. Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian saling membenci, saling menghasut, saling membelakangi, dan saling memutuskan tali persahabatan. Akan tetapi, jadilah kalian itu hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”(HR al-Bukhari dan Muslim).
Keempat, solusi negara/pemerintah. Pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam menciptakan depresi di tengah-tengah masyarakat ataukah tidak. Betapa tidak, di tangannyalah wewenang mengurusi rakyat berada. Baiknya manusia bergantung pada baiknya ulama dan penguasa. Sebaliknya, rusaknya manusia bergantung pada rusaknya ulama dan penguasa. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Ada dua golongan manusia jika mereka baik maka manusia akan menjadi baik dan jika keduanya rusak maka manusia akan rusak. Kedua golongan itu adalah ulama dan penguasa.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Al-Hilyah; Az-Zubaidi dalam Ittihâf as-Sa‘dah al-Muttaqîn, I/78; At-Tibrizi dalam Misykât al-Mashâbih, hlm. 205; Al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanz al-‘Umâl, 14706 dan 29007).
Pada mulanya, pemenuhan dan kesejahteraan manusia merupakan tugas individu itu sendiri dengan cara bekerja. Jika ia tidak dapat memenuhinya maka negara wajib menyediakannya. Islam telah menetapkan aturan dari Allah Swt. yang wajib dilakukan oleh pemerintah demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan masyarakat dan menjauhnya gejala depresi sosial dari mereka. Pemerintah wajib menunaikan kewajibannya untuk menjamin terpenuhinya segala kebutuhan pokok setiap individu masyarakat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan rasa aman. Rasulullah saw. bersabda: ”Pemimpin manusia (kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, negara wajib membina masyarakat dengan akidah Islam melalui sistem pendidikan Islam; mengatur media massa hingga tidak menyebarkan budaya hedonistik dan materialistik yang bersumber dari ideologi kapitalisme atau sosialisme; menerapkan hukum-hukum Islam secara total; serta mencampakkan akidah dan sistem kehidupan yang materialis dan sekuler. Hanya dengan sikap tegas dari penguasa untuk melakukan hal tersebut deprsei sosial dapat dicegah.
Depresi/stress sosial merupakan persoalan kompleks, dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Oleh sebab itu, solusi untuk mengatasinya harus tepat dan komprehensif, tidak bersifat parsial dan individual. Artinya, diperlukan peran masyarakat dan negara untuk mengatasinya, bukan sekadar peran individu dan keluarga saja. Dasarnya pun bukanlah sistem hidup kapitalisme ataupun sosialisme yang justru mengandung bibit-bibit penyebab deprsei/stress, melainkan Islam. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS al-An‘am [6]: 153).
Catatan Kaki :
1) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180116145515-20-269325/satu-keluarga-di-jombang-diduga-bunuh-diri Selasa, 16/01/2018 15:11 WIB
2) (https://kumparan.com/@kumparansains/tren-bunuh-diri-di-indonesia-dan-mancanegara, Minggu 19 Maret 2017 -09.07)