Bantahan Syar’i Atas Syubhat Liberalistik dalam Isu LGBT [Bag. I]
Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari | Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat, Penulis Buku Tafsir & Balaghah ”Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah
A. Pernyataan-Pernyataan Kontroversial Aktivis Pendukung LGBT
Dalam salah satu program acara TvOne, Fakta, yang mengangkat tajuk LGBT Antara HAM dan Agama, pada Senin (8/1/18) malam. Aan Anshori, salah seorang pendukung LGBT, mengeluarkan statemen-statemen yang kontroversial, menyoal umat Islam, al-Qur’an, Tuhan dan LGBT:
Pertama, Ia menuduh sebagian besar umat Islam, gagal memahami keberagaman manusia, dan tidak memahami Al-Qur’an secara fair. Ia menuduh, “Saya harus katakan, sebagian besar umat, tidak paham dan gagal membaca kitab sucinya (Al-Qur’an) secara fair” katanya. (Baca: Aan Anshori Sebut Al-Qur’an Legalkan LGBT)
Kedua, Ia mengklaim bahwa LGBT merupakan given, pemberian Tuhan, Ia menegaskan hal tersebut untuk membawa asumsi pendengar, membenarkan LGBT dengan konsep takdir. Ironisnya, Aan menyandarkan pendapatnya pada salah satu ayat Al-Qur’an, dimana ia keliru menyebutkan nomor ayat. Ia mengklaim, “No. That its not theory. Di An-Nur 30 itu ada term yang mengatakan ulil irba minar rijal (Laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual kepada perempuan). Terjemahannya begitu.” katanya (Lihat video asli di LGBT Antara HAM dan Agama di detik 7:18 sd 7:19).
Ketiga, Ia mengklaim bahwa kedudukan al-Qur’an yang shalih li kulli zaman wa makan, artinya al-Qur’an kompatibel dengan zaman apapun: maka ia harus berdialektika dengan realitas itu sendiri, sehingga Aan tampak jelas menggiring opini pendengar untuk menyimpulkan: al-Qur’an di zaman ini harus menjustifikasi penyimpangan seksual LGBT.
Benarkah seluruh asumsi Aan di atas?! Ini yang akan kami kritisi dan luruskan satu persatu berdasarkan petunjuk al-Qur’an, al-Sunnah dan penjelasan para ulama mu’tabar, yakni para ulama yang menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ilmu, bukan orang awam yang menafsirkan al-Qur’an dengan hawa nafsu.
B. Bantahan Syar’i & Argumentatif (Bag. I): Benarkah QS. Al-Nûr Ayat 31 Menjadi Dalil LGBT?
Aan Anshori, menjustifikasi LGBT dengan dalih potongan kalimat (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ) dalam ayat al-Qur’an surat al-Nûr yang disebutnya ayat ke-30. Aan dalam hal ini jelas keliru menyebutkan nomor ayat, potongan ayat yang dimaksud olehnya bukan pada ayat ke-30, tapi ayat ke-31. Allah Swt berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {٣١}
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Nûr [24]: 31)
Tak berhenti pada kekeliruan menyebutkan ayat al-Qur’an, yang lebih berbahaya adalah kesesatan menggunakan ayat al-Qur’an untuk menjustifikasi kemungkaran. Padahal jelas kaidahnya: ayat yang agung ini tak boleh dipahami sepotong-sepotong, tak boleh ditafsirkan sembarang oleh orang yang bukan ahlinya, dan tak boleh ditafsirkan serampangan untuk menjustifikasi kemungkaran, sehingga itu semua menabrak banyak nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya.
1. Meluruskan Kaidah Pembahasan: Adab Berdalil dengan Ayat Al-Qur’an
Islam menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman hidup manusia, istimewanya Islam pun menetapkan kaidah-kaidah agung dan terperinci dalam memahami keduanya, mencakup perkara paling prinsipil menyoal kaidah-kaidah berdalil dengan ayat al-Qur’an dan al-Sunnah.
Salah satu poin paling mendasar: memahami al-Qur’an dan al-Sunnah dan berdalil dengan keduanya wajib dengan ilmu dan adabnya. Jika tak memahami ilmunya, maka wajib merujukkan pandangannya kepada para ahli ilmu (ulama), yakni mereka yang mempelajari keduanya dan meraih kemampuan memahaminya dengan benar. Jika berbicara tentang ilmu empiris (sains) saja harus dilandasi konvensi keilmuan, apalagi memahami ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi pedoman kehidupan. Prinsip ini termasuk keumuman apa yang Allah perintahkan:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ {٧}
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 7)
Ayat ini jelas diawali dengan redaksi perintah (fi’l al-amr) kata fas’alû, bertanyalah kalian, bertanya kepada siapa? Bertanya kepada ahl al-dzikr. Sayyidina ’Ali bin Abi Thalib r.a sebagaimana dinukil Imam al-Sam’ani (w. 489 H) menafsirkan ahl al-dzikr, yakni ulama umat ini.[1] Imam Abu Muhammad Sahl al-Tusatri (w. 283 H) menuturkan bahwa yang dimaksud ahl al-dzikr dalam ayat tersebut adalah para ahli ilmu yang memahami tentang Allah dan perintah-perintah-Nya.[2]
Adapun orang yang menafsirkan ayat al-Qur’an sekehendak hawa nafsunya, maka termasuk golongan mereka yang dikecam dalam hadits dari Ibn ‘Abbas r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ»
“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Bazzar)[3]
Sehingga jika ada orang awam yang berani menafsirkan al-Qur’an tanpa ilmu, maka secara prinsipil telah tertolak dan tidak bernilai ilmiah sama sekali. Terlebih jika penafsirannya menyimpang dan menyalahi banyak nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya. Ini kritik mendasar pertama, lalu bagaimana mendudukkan dalil QS. Al-Nûr [24]: 31 pada tempatnya berdasarkan ilmunya para ulama mu’tabar?
2. Mendudukkan Dalil (QS. Al-Nûr [24]: 31) Pada Tempatnya dengan Ilmunya
Ayat ini merupakan ayat insyâ’i (mengandung perintah dan penjelasan hukum) dalam topik batasan aurat (’perhiasan’) wanita di hadapan objek-objek yang dirinci dalam ayat, di samping perintah Allah untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan dari hal-hal yang diharamkan syari’at, serta perintah untuk mengenakan khimar (kerudung).
Adapun kalimat (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ), konteksnya berkaitan dengan seseorang yang tak memiliki hasrat terhadap wanita, dengan karakteristik yang kemudian dirinci oleh para ulama. Para ulama merinci penafsiran potongan ayat (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ) ini di antaranya yakni: Orang yang sakit akalnya, ini merupakan pendapat Ibn Abbas r.a.:
وهو مغفل في عقله، لا يكترث للنساء، ولا يشتهيهنّ
Yakni orang yang sakit akalnya, tidak berhasrat pada kaum wanita dan tidak menginginkannya.[4]
Dimana pendapat inilah yang dikuatkan oleh ulama mu’tabar, al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. ), dalam maqalah-nya:
والمختار في تفسير غير أولي الإربة أنه المغفل في عقله الذي لا يكترث للنساء ولا يشتهيهن كذا قاله ابن عباس وغيره
Pendapat yang terpilih sebagai tafsir atas frasa ulil irbat adalah seseorang yang sakit akalnya, yang tidak berhasrat pada kaum wanita dan tidak menginginkannya, ini adalah pendapat Ibn Abbas r.a. dan selainnya.
Menanggapi Aan Anshori, Ustadz Abdul Somad Lc MA menyatakan, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang utuh dan tidak boleh dicomot lalu ditafsirkan sesuka sendiri, “Dimana orang bisa berkata Al-Qur’an melegitimasi LGBT? Yang dimaksud laki-laki yang tidak tertatik kepada wanita, kata Imam Nawawi, adalah seorang yang akalnya kacau (sehingga) tidak tertarik kepada perempuan karena sudah tua, sakit. Bukan LGBT. Bukan homos*ksual.” katanya tegas.
Sebagai bukti penguat, Ustadz Abdul Somad menyebutkan ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengasingkan seorang laki-laki karena mengenakan heena padahal heena merupakan hiasan bagi perempuan. Berikutnya, lanjut Ustadz Somad, Nabi juga menyatakan bahwa Allah melaknat seorang laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Abdul Somad pun menegaskan bahwa al-Qur’an menutup semua pintu menuju zina, sedangkan pelaku LGBT lebih mungkar daripada pelaku zina (lihat: dakwahmedia.co, 9/1/2018)
Sebagian ulama lainnya menafsirkan (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ) yakni laki-laki yang tidak berhasrat kepada wanita dan hanya berhasrat pada makanan, ini merupakan pendapat Mujahid r.a[5], sedangkan Imam al-Zuhri menafsirkannya sebagai orang pandir (ahmaq, bodoh tak berhasrat pada wanita).[6] Termasuk di antara penafsirannya adalah pria yang sudah tua renta, yang tidak lagi berhasrat pada wanita dan tidak menginginkannya, baik fisik maupun batinnya.
Namun sampai di sini, ayat yang agung ini sama sekali tak bisa dijadikan dalih pembenaran atas penyimpangan seksual LGBT, tidak bisa dan takkan bisa karena tak ada indikasi yang menunjukkan pembenaran tersebut, tidak secara tekstual (manthûq), tidak pula secara kontekstual (mafhûm); dalam kajian bahasa, tafsir dan hukumnya.
Batasan laki-laki yang tak berhasrat pada wanita, bukan berarti membenarkan hasrat pada laki-laki ala kelompok gay LGBT, dimana ayat yang agung ini sama sekali tidak menunjukkan pembenaran atas perilaku LGBT, lalu mengapa disinggung subjek wanita? Karena ayat ini berbicara dalam topik perbuatan aktivitas wanita yang dituntut oleh Allah ’Azza wa Jalla.
Diperjelas dengan bukti: dari seluruh penafsiran para ulama mu’tabar terkait ayat ini, tiada satu pun dari mereka yang menjustifikasi perilaku LGBT (penderita homoseksual/biseksual), tidak para ulama ahli tafsir (mufassirîn), tidak pula ahli fikih (fuqahâ’). Padahal pada saat yang sama, mereka pun menguraikan keharaman perilaku menyimpang seksual seperti praktik liwath (homoseksual), lesbianisme, dan lainnya dalam buku-buku dan pengajaran mereka. Diperjelas dengan banyaknya dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang secara tegas berbicara dalam topik-topik terkait penyimpangan seksual LGBT.
Maka terang benderang bahwa seluruh asumsi liberalistik yang menjustifikasi penyimpangan LGBT di atas, terbantahkan secara argumentatif dari hal yang paling mendasar hingga cabang-cabangnya.
والله أعلم بالصواب
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
Bersambung (1/2). []
[1] Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani al-Syafi’i, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz III, hlm. 370.
[2] Sahl bin ‘Abdullah al-Tusatri, Tafsîr al-Tusatri, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1423 H, juz I, hlm. 104.
[3] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2950) ia berkata: ”Hadits ini hasan shahih.”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 4757).
[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H/2000, juz ke-19, hlm. 161.
[5] Ibid, lihat pula: Mujahid al-Makki, Tafsîr Mujâhid, Mesir: Dâr al-Fikr al-Islâmi, cet. I, 1410 H, hlm. 492.
[6] Ibid.