Fenomenal
Oleh Asri Supatmiati | Jurnalis
Aksi Bela Islam 212 memang fenomenal. Setahun lewat, umat Islam belum (dan tidak akan pernah) move on darinya. Makanya, baru setahun, reuni sudah digelar. Dasar genit ?, kata para pembenci 212.
Biasanya kan reuni itu nanti, kalau sudah 5-10 tahun.
Eh tapi, efek reuni ternyata tak kalah fenomenal. Apalagi setelah dipanggungkan di Indonesia Lawyer Club (ILC), sebuah acara yang cukup fenomenal. Buktinya, berbagai ulasan pasca ILC masih bergemuruh hingga detik ini. ?
Walaupun, saya sedikit membatin, kenapa tajuk ILC “212: Perlukah Reuni?” Padahal pelaksanaannya sudah lewat. Kalau tema ini dibahas sebelum reuni, cocok. Lah ini, reuni sudah terlaksana, kok masih dipertanyakan perlu tidaknya. Harusnya lebih maju, misal membincangkan “Agenda Politik di Balik Reuni 212.” ??
Tapi, sudahlah. Toh sebagian nara sumbernya, ternyata level kecerdasannya tidak ke arah sana. Pantas saja dicari tema yang ringan. Lah ringan aja terjungkal-jungkal, apalagi ke arah politik yang konon katanya berat ?.
Padahal, ekspektasi saya, soal agenda politik ini yang akan mengemuka. Yo wis, tetap terima kasih pada TV One, yang sukses bikin acara fenomenal.
Paling tidak, ILC menghapus dahaga para penggemar Ustaz Felix Siauw yang berkali-kali gagal ingin menyimak pengajiannya, karena dibubarkan kelompok Abu Janda. Berkat ILC, nggak hanya penggemarnya, jutaan pemirsa malah ditausiyahi massal. Live, seantero nusantara (untungnya nggak dibubarin Abu Janda, sebab dia ikut manggung di sana. Jadi, lain kali supaya pengajian Ustaz Felix nggak dibubarin, apa perlu kasih dia mic. Mayan buat hiburan jamaah ?). Pastinya, itu jadi moment tak terlupakan.
Ya, sebuah moment fenomenal memang sulit dilupakan. Melekat di benak. Terpatri dalam hati. Dan, dalam suatu periode masa, akan selalu tercipta sebuah fenomena yang fenomenal. Populer, menjadi pusat perhatian, berdampak luas dan menjadi trend setter. Selain moment, bisa pula tokoh, gagasan atau peradaban fenomenal.
Masalahnya, ada fenomena yang baik, ada pula yang buruk. Tentu, standar baik-buruk yang saya maksud adalah dalam kaca mata Islam.
Di era Orde Lama, nama Soekarno jelas fenomenal. Dunia mengenangnya sebagai tokoh besar. Di era Orde Baru, Soeharto tiada duanya. The smiling general ini tetap dikenang di benak para pengagumnya. Nama presiden lain penggantinya, tidak cukup terkenang dibanding dua nama ini. Karena, maaf, hampir tidak ada gagasan brilian, gebrakan inovatif yang orisinil, terobosan out of the box atau jargon-jargon politik yang menjadi brand mereka.
Soekarno dan Soeharto ini fenomenal dalam kebaikan atau keburukan, silakan nilai sendiri. Yang jelas, di masa lalu, Islam punya sosok fenomenal dalam pemerintahan. Seperti Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Aziz yang sangat masyur dengan kepemimpinannya yang menyejahterakan. Juga Harun Ar-rasyid, Al-Mu’tashim Billah dan sebagainya.
Nah, di kancah dakwah, ketika Ustaz Jeffry Al Bukhory (alm) muncul di lingkungan selebriti, bisa dibilang fenomenal. Ustaz-ustaz lain yang muncul kemudian, dan berusaha menggantikan perannya, tak mampu mengambil alih fenomena ini. Ketika Aa Gym begitu menyentuh hati jutaan jamaah, beliau fenomenal. Seperti halnya KH Zainuddin MZ, sang dai sejuta umat yang fenomenal di eranya. Atau Buya Hamka di era Orde Lama.
Contoh lain, ketika Tukul Arwana dipuja di jagad banyolan, ialah fenomenal. Padahal modalnya mem-bully fisik diri sendiri. Sesuatu yang baru di kancah perlawakan. Ahok, yang seluruh Indonesia pasti tahu namanya, sejatinya juga fenomenal. Mulutnya yang cablak, sampai-sampai dijuluki mulut jamban, adalah sesuatu yang revolusioner di kalangan birokrat. Bagaimana dengan fenomena Abu Janda dan Denny Siregar yang sedang jadi perbincangan? Ini sih bukan fenomenal, tapi mengenaskan. ?
Beda dengan Ustaz Felix Siauw yang cukup fenomenal. Parameternya? Sang Ustaz membuat gebrakan dengan memulai dakwah di media sosial. Sukses merajai Twitter, Instagram dan Facebook dengan isu-isu kekinian, dipandang dari kaca mata Islam. Banyak orang berubah dan berhijrah, setelah membaca bait-bait gagasannya yang makjleb-makjleb.
Followernya pun mencapai jutaan. Tapi, bukan sekadar follower ukuran fenomenalnya. Wawasan Islam dan jam terbangnya dalam dakwah offline juga tak diragukan. Bukan hanya di Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Ini bukan bermaksud menyanjung Sang Ustaz. Tapi, harus jujur diakui, kiprahnya cukup revolusioner di kancah dakwah. Mualaf, tapi kok piawai ngomong Islam. Kita yang Islam sejak dalam kandungan saja, malu. ?
Pastinya, sosok fenomenal seperti ini jumlahnya tak banyak. Hanya muncul di satu periode zaman. Entah 10 tahun sekali, 20 atau bahkan 100 tahun sekali. Allah turunkan para sosok fenomenal untuk menguji manusia. Mau ikut teladan fenomenal kebaikan atau keburukan.
Karena, fitrah manusia selalu mencari role model. Manusia adalah tipe follower. Bahkan tokoh yang menjadi panutan pun, sejatinya seorang follower. Dia terinspirasi dari yang lain juga. Ustaz Felix yang banyak follower-nya, juga mem-follow para gurunya, relasinya, temannya, kerabatnya, dll. Untuk apa? Terus belajar. Menyerap inspirasi. Karena kita, idealnya adalah seorang pembelajar.
Sejauh pantauan saya, cuma satu akun Instagram, seorang motivator besar –dulu– yang tidak mem-follow siapa-siapa, kecuali istri dan anak-anaknya. Tapi, gara-gara skandal anak kandung yang tak diakui, namanya tak lagi fenomenal.
Yup, sosok fenomenal juga manusia. Tidak sempurna. Ada sisi baik dan buruknya. Ada godaan dan tantangannya. Besar banget, bahkan. Jika tidak kuat, bisa-bisa berbalik 180 derajat. Dari fenomenal yang tak terlupakan, jadi diabaikan. Tenggelam oleh zaman.
Masih ingat bagaimana fitnah menerpa KH Zainuddin MZ (alm) terkait pengakuan seorang wanita? Juga Aa Gym yang dihujat karena nikah kedua? Sebaliknya, beribu puji ditujukan untuk Ahok yang katanya “berlian”. Tapi gara-gara Al-Maidah, dia pun ditenggelamkan. Itulah manusia. Tidak maksum.
Beda dengan Rasulullah Saw yang terjaga pribadinya. Beliaulah sosok paling fenomenal sepanjang masa yang layak dijadikan teladan. Tak hanya Muslim, non-Muslim pun mengakui kebesarannya. Orang yang sejak lahir tidak membawa kontroversi, kecuali di mata kafirun yang menolak kebenaran. Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya pemimpin yang diakui sejarah sebagai pembawa perubahan paling revolusioner. Apa yang dibawanya? Islam.
Sosok fenomenal ini diturunkan Allah SWT di saat kejahiliyahan merajalela di dunia. Membawa kabar gembira akan sebuah solusi bagi problematika kehidupan manusia. Lazimnya membawa sesuatu yang beda dengan yang kebanyakan diyakini manusia saat itu, tentu saja ditentang dan dihambat luar biasa. Cacian, nyinyiran, fitnah hingga serangan fisik.
Tapi, akhirnya Rasulullah SAW berhasil membuktikan bahwa gagasan yang diturunkan Allah SWT melalui tangannya layak diterapkan. Layak dijadikan solusi. Sukses membawa perubahan revolusioner pada setiap individu, masyarakat, bangsa dan bahkan peradaban dunia. Buktinya, Islam kelak kemudian menguasai hampir 2/3 dunia.
Bermula di Madinah, beliau mendirikan peradaban Islam pertama. Lalu sepeninggalnya, digantikan dengan model sistem Khilafah di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan seterusnya. Apakah berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Model Khilafah ini rupanya menjadi sistem pemerintahan fenomenal yang kemudian eksis selama 1.300 tahun lebih lamanya.
Bagi yang hobi piknik kitab-kitab sejarah, tidak merem dengan kisah-kisah kegemilangan Islam, bukti tak terbantahkan itu ada. Selama 13 abad lebih lamanya, peradaban Islam pernah menjadi sebuah fenomena yang fenomenal. Ini tak bisa ditutup-tutupi.
Maka, di tengah kejahiliyahan modern zaman now, jika ada sosok-sosok fenomenal yang membawa ajaran fenomenal sebagaimana dibawa Rasulullah SAW, dia layak didengar. Karena, bukankah kita senantiasa diajarkan: “lihat apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan?”
Ini bukan mendewakan Ustaz Felix. Apalagi menyamakannya dengan Kanjeng Nabi. Sama sekali tidak level. Tapi, lihat yang dibawanya. Kita teliti, apakah konten dakwah yang dibawa sosok fenomenal masa kini, sama dengan yang didakwahkan Nabi. Termasuk ketika dia mengenalkan panji Rasulullah SAW, yang ternyata, kita sebagai Muslim sejak lahir pun, bahkan tak pernah mengenalnya. Malu.
Juga, membawa ajaran Khilafah yang di kitab-kitab klasik, bahkan buku ajar Madrasah Aliyah keluaran Departemen Agama pun, ternyata ada. Tapi, kita belum pernah mendengarnya selama ini. Belum pernah mengkajinya. Khilafah itu ajaran Islam, ternyata kita baru tahu sekarang. Sebuah gagasan lama yang tampak baru di mata manusia zaman now. Saking tidak pahamnya.
Inilah fenomena, di mana pemahaman Islam kita, jauh sekali dibanding umat Rasulullah SAW di zaman old. Sampai-sampai ajaran Islam pun diabaikan. Walhasil, pantas saja jika saat ini, wajah Islam belum menampakkan diri sebagai peradaban fenomenal. Sebab masih sibuk dipertanyakan, diperdebatkan, dan belum diterapkan.
Maka, aksi 212 dan reuninya, hanyalah moment pengingat tentang Islam. Di sana banyak ustaz-ustaz yang menyampaikan tausiyah. Membuat melek Islam. Melek bendera Rasul. Melek Khilafah. Melek persatuan umat. Melek penerapan Islam.
Dari moment itu, tak sedikit yang tadinya awam Islam, kini rajin ‘piknik’. Yah, lebih suka ‘piknik’ aksi bela Islam, daripada piknik konser musik, misalnya. Buktinya, artis-artis pun ikut larut di dalamnya. Lama-lama mereka akan ‘piknik’ kitab, ‘piknik’ kajian, ‘piknik’ ke ustaz, dll.?
Jadi, maslahat 212 itu ada. Minimal menciptakan moment fenomenal, dimana dampak moment ini akan terus meluas tiada ujung. Bahkan, gara-gara membincangkan kembali 212 di ILC, kita jadi tahu sosok Abu Janda yang begitu ganas di media sosial, ternyata keok di layar kaca. Allah SWT membukakan kedok, mana yang layak dibela. Apakah ajaran Abu Janda yang suka membubarkan pengajian, atau konten Islam yang diusung Ustaz Felix yang notabene penggiat pengajian. Makanya banyak yang tobat. Sungguh fenomenal![]