Arab Saudi Bergolak

 Arab Saudi Bergolak

Kultur politik kerajaan Arab Saudi yang memang dikuasai oleh klan tertentu (Ibnu Saud), kini semakin dipersempit dengan keluarga tertentu (Salman).

Dinamika politik Arab Saudi menjadi perhatian dunia belakangan ini. Di tahun ketiga kepemimpinan Raja Salman berbagai peristiwa politik silih berganti di jazirah Arab ini. Dalam politik luar negeri di Timur Tengah, Arab Saudi kini berkonflik dengan hampir semua negara Arab. Ikut campur dalam krisis Yaman. Menggalang pengucilan terhadap Qatar. Membuka konflik lama dengan Iran. Dan yang terbaru, Saudi diduga menjadi dalang atas mundurnya PM Libanon Saad Hariri 4 November lalu.

Kondisi politik dalam negeri tidak kalah menghebohkan. Raja Salman dua kali mengganti posisi putra mahkota, penerus kepemimpinan kerajaan Arab Saudi. Awalnya, Muqrin bin Abdul Aziz, saudara tiri Salman, diangkat menjadi Putra Mahkota pada awal-awal Raja Salman berkuasa sesuai dengan wasiat raja sebelumnya. Muqrin kemudian digantikan oleh Muhammad bin Nayef bin Abdul Aziz, keponakan Salman. Tidak lama menjabat sebagai putra mahkota, bin Nayef kemudian diganti oleh Muhammad bin Salman, putra Salman. Pergantian ini dilakukan dengan diawali dengan perombakan aturan tradisi suksesi di Arab Saudi. Tentunya hal ini menimbulkan spekulasi dan dugaan pemusatkan kekuasaan di tangan raja Salman.kan

Gebrakan kemudian dilakukan Muhammad bin Salman. Ia meluncurkan Visi 2030 yang akan menjadi pedoman pembangunan Arab Saudi di masa depan. Visi ini tidak hanya memuat rencana pembangunan secara fisik dan ekonomi, namun juga perubahan sosial budaya yang ‘baru’, membangun nilai-nilai Islam yang lebih moderat.

Per November 2017 ini dibentuk Lembaga Anti Korupsi yang dipimpin langsung oleh Muhammad bin Salman. Lembaga ini langsung melakukan eksekusi yang menghebohkan dunia dengan melakukan penangkapan belasan para pangeran dan menteri dan mantan menteri yang diduga melakukan tindakan korupsi dan membekukan aset-aset ekonominya.

Luar biasanya, penangkapan para pangeran ini dibarengi dengan insiden tewasnya beberapa pangeran dalam kecelakaan helikopter, baku tembak di istana kerajaan dan pencopotan dan pergeseran jabatan publik. Ini menimbulkan berbagai spekulasi terhadap tindakan Muhammad bin Salman.

Konsolidasi Politik

Apa yang dilakukan Raja Salman dan putranya Muhammad bin Salman adalah melakukan konsolidasi politik. Kultur politik kerajaan Arab Saudi yang memang dikuasai oleh klan tertentu (Ibnu Saud), kini semakin dipersempit dengan keluarga tertentu (Salman).

Pasca mengangkat putranya menjadi putra mahkota, Salman mencopot para pejabat lain yang dianggap menjadi pesaing putranya. Pangeran Mutib bin Abdullah dicopot dari posisi Menteri Pertahanan Nasional/Kepala Garda Nasional berkaitan dengan isu korupsi. Garda Nasional telah dikuasai oleh mantan Raja Abdullah dan kemudian anaknya ini sejak 51 tahun lalu. Bersamaan dengan itu dicopot pula Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Abdullah bin Sultan bin Mohammed Al-Sultan.

Kematian Pangeran Mansour bin Muqrin yang misterius dalam kecelakaan pesawat di perbatasan Yaman (6/11) pun akan mengurangi kelompok kritis dalam Istana. Bin Muqrin diketahui mengirim sebuah surat kepada sekitar 1.000 pangeran yang mendesak mereka untuk tidak memberikan dukungan suksesi takhta Bin Salman. Ayah Mansour, yaitu Muqrin bin Abdul Aziz sendiri, pernah diangkat menjadi Putra Mahkota pada awal-awal Raja Salman berkuasa.

Peristiwa terakhir terbunuhnya Pangeran Abdul Aziz bin Fahd bin Abdul Aziz setelah terjadi baku tembak dengan aparat keamanan, dalam operasi penangkapan terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan Bin Salman juga akan memicu masalah baru. Pangeran Abdulaziz Bin Fahd sebelumnya, ditempatkan dalam tahanan rumah setelah menjadi pengkritik yang vokal terhadap kebijakan luar negeri pemerintah, khususnya berkaitan dengan hubungan UEA dan konflik Palestina-Israel.

Pengangkatan Muhammad bin Salman, sampai kini menuai kontroversi, pasalnya, sebelum diangkat menjadi putra mahkota, Raja Salman terlebih dahulu mengamendemen ketentuan huruf “B” (bahasa Arab huruf Ba’) yang memuat ketentuan pelarangan mengangkat anak kandung sebagai putra mahkota. Padahal itu adalah ketentuan dari Raja Abdul Aziz Al Saud.

 

Moderasi Islam

Melalui visi 2030, Muhammad bin Salman gencar mempromosikan Islam moderat. Ia mengkritik pemberlakukan Islam di Arab Saudi selama 30 tahun belakangan ini yang menurutnya dipicu akibat kegalauan merespon Revolusi Iran 1979.

Dalam sebuah wawancara dengan reporter Aljazirah terkait Islam moderat, ia sudah memberikan sinyalemen bahwa negeri itu sedang berupaya membersihkan negerinya dari radikalisme Islam.

Kerajaan Arab Saudi juga membentuk lembaga baru yang bertugas memastikan ajaran Nabi Muhammad tidak dipakai untuk menjustifikasi tindakan kelompok militan atau teroris. Lembaga tersebut dibentuk berdasarkan dekrit Raja Salman dan berkedudukan di kota Madinah, beranggotakan pakar-pakar Islam dari seluruh dunia. Kementerian Informasi Saudi mengatakan bahwa para pakar ini akan berusaha meminimalkan interpretasi ajaran Islam yang keliru yang dipakai untuk membenarkan tindakan teroris atau kelompok ekstrem.

Langkah konkret lainnya adalah keluarnya keputusan Raja Salman bahwa wanita di Arab Saudi secara hukum diizinkan memperoleh surat izin mengemudi dari bulan Juni 2018. Selain bahwa mulai tahun 2018, Arab Saudi akan mengizinkan perempuan menyaksikan pertandingan olahraga di dalam stadion.

Penguatan Hegemoni AS

Apa yang terjadi di Arab Saudi belakangan ini tidak terlepas dari penguatan hegemoni Amerika Serikat di negeri petro dolar ini.

Sebagaimana diketahui bahwa intrusive system tradisional dari Arab Saudi adalah Inggris. Karena Inggrislah yang membidani lahirnya kerajaan Arab Saudi dengan mendorongnya melakukan pemberontakan kepada Kekhilafahan Turki Utsmani. Pasca Perang Dunia Kedua, lambat laun dominasi Inggris mulai tergeser oleh Amerika Serikat yang mengeluarkan Twin Pillar Policy di Timur Tengah. Arab Saudi dan Iran (sebelum Revolusi 1979) adalah dua pilar Amerika Serikat di kawasan ini. Namun demikian, Inggris tetap berusaha menjaga pengaruhnya melalui raja-raja yang loyal kepadanya.

Pasca wafatnya Raja Khalid, pengaruh Inggris semakin menurun karena kedekatan penggantinya Raja Fadh ke Amerika Serikat. Hubungan itu sempat turun pada masa Raja Abdullah yang dekat dengan Inggris. Kini, Raja Salman kembali mengokohkan hubungan Arab Saudi dengan Amerika Serikat.

Pada masa pemerintahannya, Raja Salman menandatangani kesepakatan kerja sama persenjataan dan perusahaan energi raksasa Aramco yang diperkirakan mencapai $150 miliar atau RP 1.999 triliun.

Raja Salman juga mengangkat anaknya Khaled bin Salman yang mantan pilot, menjadi duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat. Sebelumnya Muhammad bin Salman pun memiliki hubungan yang sangat erat dengan Amerika Serikat.

Bahkan dalam kasus penanganan korupsi baru-baru ini, Raja Saudi Salman menelepon Presiden Amerika (AS) Serikat Donald Trump pada Ahad (5/11).

Inilah yang menunjukkan bahwa kedekatan Arab Saudi dengan Amerika Serikat semakin vulgar ditampilkan seolah Arab Saudi menjadi Deputi Keamanan Amerika Serikat di Timur Tengah. []Budi Mulyana – Dosen Hubungan Internasional Unikom Bandung

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *