Shira’ Fikri dan Kifah Siyasi yang Dilakukan Nabi SAW dan Para Sahabat
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Karakter dakwah Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Alquran, dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW bersifat hadm wa bina’ [menghancurkan dan membangun]. Islam diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk diterapkan di tengah kehidupan, bukan sekadar disampaikan. Allah berfirman, “Hendaklah kamu [Muhammad] memerintah di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” [TQS al-Maidah: 49]
Tugas dan misi ini tidak mungkin bisa diwujudkan oleh Nabi, jika berbagai bangunan dan pondasi pemikiran kufur dan rusak dibiarkan, tidak dihancurkan dan diganti dengan bangunan dan pondasi pemikiran Islam yang benar dan kokoh. Karena itu, Allah menitahkan kepada Nabi SAW, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [TQS an-Nahl: 125].
Makna “dakwah dengan hikmah” di dalam ayat ini adalah dengan hujjah yang kokoh dan mengakar. Sedangkan ma’uidhah hasanah [pelajaran yang baik] maksudnya adalah menyeru akal dengan memengaruhi perasaan, dan menyeru perasaan dengan memengaruhi akal. Adapun makna “bantahlah dengan argumen yang lebih baik” tak lain adalah dengan merobohkan keyakinan mereka, lalu mengganti dengan keyakinan baru. Semuanya ini membuktikan karakter dakwah Islam yang diemban oleh Nabi, yaitu hadm wa bina’. Karena dengan cara seperti itulah, apa yang dititahkan oleh Allah dalam TQS al-Maidah: 49 tadi bisa diwujudkan.
Karena itu, aktivitas dakwah Nabi adalah aktivitas intelektual [fikri] dan politik [siyasi]. Aktivitas intelektual dan politik yang paling menonjol adalah: shira’ fikri [pertaruangan intelektual] dan kifah siyasi [perjuangan politik].
Adapun aktivitas yang dilakukan oleh Nabi SAW baik ketika fase pembinaan maupun fase tafa’ul adalah shira’ fikri [perang pemikiran]. Aktivitas ini dilakukan terus-menerus sejak pertama kali dakwah dilakukan hingga kapan pun. Metodenya bisa melalui pembinaan intensif [tsaqafah murakkazah] maupun pembinaan umum [tsaqafah ‘ammah]. Materinya mulai dari akidah. Lihatlah, bagaimana Alquran menyerang keyakinan kaum kafir terhadap Latta, Uzza, Manat dan Hubal, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang Musyrik) menganggap al-Latta dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” [TQS an-Najm: 19-22]
Setelah itu, Allah SWT memberikan gambaran penjelasan tentang tuhan yang seharusnya mereka sembah, “Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [TQS al-Ikhlas: 1-4]. Dan banyak sekali nash-nash Alquran yang lain. Tidak hanya membahas ketuhanan, tetapi juga berbagai masalah yang dihadapi manusia, dan bagaimana cara berpikir yang benar dalam menghadapinya. Mulai dari masalah rezeki, jodoh, ajal, kematian dan sebagainya. Aktivitas shira’ fikri terus-menerus dilakukan, baik ketika mengajak kaum kafir itu memeluk Islam, atau setelah mereka menjadi Muslim.
Sebagai contoh, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” [TQS Fathir: 5-6]. Ayat ini mengingatkan orang Mukmin akan kebenaran janji Allah, dan jangan sampai janji Allah yang gaib itu tidak mereka yakini, sebaliknya mereka lebih percaya kepada setan. Ini juga merupakan bentuk aktivitas shira’ fikri.
Karena itu, aktivitas shira’ fikri ini lebih intensif, dan dilakukan terus-menerus sejak dini sampai kapan pun. Dalam ketiga fase dakwah Nabi, shira’ fikri ini dilakukan secara intensif dan terus-menerus. Bahkan, ketika negara Islam di Madinah sudah berdiri. Dua contoh bisa dikemukakan di sini, misalnya, ketika kaum Anshar hampir berperang kembali karena fitnah Syasy bin Qais, orang Yahudi yang hendak mengadu domba mereka. Nabi SAW pun mengingatkan mereka tentang bahaya fanatisme kesukuan, dengan mengatakan, “Innaha muntinatun [sesungguhnya fanatisme kesukuan itu busuk].”
Pasca perang Hunain, ketika kaum Muslim mendapatkan ghanimah yang banyak, tetapi ghanimah itu diberikan kepada kaum Quraisy yang baru saja memeluk Islam, atas pertimbangan muallafati qulubuhum [para tokoh kabilah yang harus diikat hatinya]. Kaum Anshar nyaris tidak mendapatkan apa-apa, kecuali yang memang membutuhkan. Mereka sempat berburuk sangka kepada Nabi, tetapi kemudian Nabi SAW berhasil memadamkan bisikan jahat setan yang dihembuskan ke dalam kalbu mereka. Mereka lebih memilih pulang ke Madinah bersama Nabi, ketimbang kaum Quraisy yang kembali ke Makkah dengan harta ghanimah-nya.
Semuanya ini merupakan bentuk shira’ fikri, yang dilakukan oleh Nabi, meski negara Islam dan masyarakatnya sudah tegak di Madinah al-Munawwarah. Ini membuktikan, bahwa aktivitas shira’ fikri ini dilakukan terus-menerus tanpa henti. Bahkan, Allah secara spesifik dan eksplisit menegaskan, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [TQS al-Ashr: 1-3]
Sedangkan aktivitas kifah siyasi [perjuangan politik], yang terkait dengan kemaslahatan dan politik kekinian [mashlahat wa siyasiyyah aniyyah] dilakukan ketika Rasulullah SAW dan para sahabat memasuki fase kedua, yaitu tafa’ul ma’a al-ummah. Aktivitas ini dilakukan dengan menyerang berbagai interaksi yang dilakukan kaum kafir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah.
Mulai dari kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya.” [TQS at-Takwir: 8], muamalah di tengah-tengah umat, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.” [TQS al-Muthaffifin: 1-4] sampai soal politik internasional, “Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di dataran terendah, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.” [TQS ar-Rum: 1-5]
Begitulah, aktivitas shira’ fikri [pertarungan intelektual] dan kifah siyasi [perjuangan politik] dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat ketika berdakwah. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 208