Pemred Al-Wa’ie: Kasus Suap Mantan Pejabat MA Gerus Kepercayaan Publik

 Pemred Al-Wa’ie: Kasus Suap Mantan Pejabat MA Gerus Kepercayaan Publik

Mediaumat.info – Selain mengusik keadilan hukum di tengah masyarakat, kasus dugaan suap dengan ditangkapnya mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar, dinilai makin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan penegakan hukum di negeri ini.

“Ini jelas membuat masyarakat semakin tidak percaya terkait penegakan hukum di negeri ini,” ujar Farid Wadjdi, Pemimpin Redaksi Majalah Al-Waie, dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (30/10/2024) di Radio Dakta 107.0 MHz FM Bekasi.

Apalagi, menurutnya, jumlah uang yang ditemukan mencapai Rp920 miliar. Tak hanya itu, ditemukan juga 51 kilo gram emas di kediaman mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung RI tersebut.

Ditambah kondisi ekonomi masyarakat saat ini, terutama kelas menengah ke bawah yang sedang terhimpit. Sehingga sekadar mendapatkan uang untuk biaya kontrakan saja berat luar biasa. “Di saat masyarakat sekarang ini untuk mencari tujuh ratus ribu (rupiah) dalam satu bulan untuk kontrakan, itu beratnya luar biasa,” cetus Farid.

Dikabarkan sebelumnya, Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Zarof Ricar di Jimbaran, Bali, pada Kamis (24/10) malam, terkait kasus suap tiga hakim yang memberikan vonis bebas Gregorius Ronald Tannur.

Diinformasikan pula, pemufakatan jahat tersebut untuk memuluskan vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan terhadap Dini Sera.

Faktor Dasar

Terjadinya tindak pidana yang melibatkan pejabat negara dinilai bukan karena persoalan rendahnya gaji, apalagi untuk level pejabat lingkungan MA. Paling tidak, menurut Farid, ada dua faktor mendasar yang menjadi penyebabnya.

Pertama, faktor hilangnya ketakwaan. “Yang paling mendasar itu adalah faktor ketakwaan yang sekarang ini semakin hilang di tengah-tengah pejabat kita,” sebut Farid, yang berarti rasa takut kepada Allah untuk mengambil uang haram sudah tidak ada lagi.

Kemudian faktor yang kedua, ia menyinggung sistem kapitalisme yang secara tidak langsung membangun para individu menjadi meterialistik, yakni menempatkan kebahagiaan pada harta.

Makanya tak heran, seberapa pun banyak menumpuk harta tak akan pernah bisa cukup menghilangkan rasa haus seseorang yang pada dasarnya memang rakus.

Namun demikian, kata Farid lebih jauh, perkara ini bukan sekadar persoalan kerakusan individu saja. Tetapi lebih kepada kerakusan sistem. “Ini kerakusan sistem,” tandasnya.

Ia pun mengungkapkan sebuah fenomena bahwa aktivitas politik yang digunakan untuk mendapatkan uang dan sebaliknya uang akan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik.

Maraknya budaya politik yang muncul dari sistem demokrasi ini ia sebut sebagai lingkaran setan. “Politic to money, money to politic. Jadi bukan sekadar uang itu untuk dirinya, tetapi uang itu untuk mempertahankan kekuasaannya,” lugasnya.

Maknanya, uang akan digunakan untuk kampanye, pencitraan, membayar para buzzer (pendengung), bahkan untuk membayar hakim supaya terbebas dari kasus yang menjerat sehingga citranya tetap bersih.

Islam

Adalah Islam, sistem yang menurut Farid, memiliki prinsip penekanan pada keadilan distribusi harta. “Hendaklah harta itu jangan beredar di kalangan orang kaya saja,” ucapnya, mengutip QS al-Hasyr: 7.

Bahkan di dalam sistem Islam, kekayaan pejabat tidak sebatas dicatat seperti halnya LHKPN saat ini yang hanya wajib disampaikan oleh penyelenggara negara mengenai harta kekayaan yang dimilikinya saat pertama kali menjabat, mutasi, atau promosi.

Tetapi, juga akan dilakukan penghitungan untuk mengetahui selisih antara pendapatan normal selama menjabat dengan LHKPN. “Kalau ada kelebihan, dia harus membuktikan (halal tidaknya harta). Ini yang disebut dengan pembuktian terbalik,” ungkap Farid, sembari menerangkan metode ini telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra.

Dengan kata lain, meski jujur sekalipun, pencatatan LHKPN yang diberlakukan saat ini tak akan memberikan implikasi rasa takut terhadap penegakan hukum. Sebab, sekali lagi menurut Farid, hanya dicatat dan tidak ada pertanggungjawaban di akhir jabatan.

“Saya kira itu beberapa faktor yang menyebabkan makelar kasus itu meluas seperti saat sekarang ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *