Sahkan UU Kementerian, DPR Mestinya Bekerja untuk Rakyat
Mediaumat.info – Terkait dugaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bekerja untuk kepentingan penguasa dan elite politik lantaran mengesahkan revisi UU Kementerian Negara yang tidak lagi membatasi jumlah kementerian, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroki mengingatkan lembaga tersebut mestinya bekerja untuk rakyat.
“DPR mestinya bekerja untuk rakyat, karena dia dikatakan dewan perwakilan rakyat,” ujarnya dalam Bincang Santai: DPR Revisi UU Kementerian, untuk Kepentingan Siapa? di kanal YouTube Bincang Bersama Sahabat Wahyu, Senin (30/9/2024).
Sebab kalau tidak, sambungnya, lebih baik berhenti menjadi anggota DPR agar tak menambah dosa lebih banyak lagi. Artinya, tak semestinya anggota dewan dimaksud, bekerja justru untuk kepentingan penguasa yang kerap menghasilkan produk perundang-undangan yang tak memihak kepada rakyat secara umum.
Diberitakan sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam rapat paripurna pada Kamis (19/9/2024) mengubah sejumlah perubahan ketentuan pasal di UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Dengan dalih untuk memudahkan presiden dalam menyusun kementerian, sekaligus mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, demokratis, dan efektif, salah satu poin perubahan adalah tidak adanya batasan jumlah pembantu presiden.
Maksudnya, DPR telah membuka jalan bagi presiden untuk membentuk kabinet jumbo yang menurut Wahyudi, bisa dipastikan bakal bertambah pula beban rakyat. Pasalnya, penambahan nomenklatur kementerian beririsan dengan pembiayaan yang juga makin membengkak.
“Dari penambahan biaya itu, biayanya diambil dari mana? Dari rakyat. Mengambilnya caranya bagaimana? Dinaikin pajak-pajaknya, dipajakin semua itu rakyat,” ungkapnya.
Padahal, masih banyak permasalahan hidup masyarakat yang perlu ditangani dengan serius. Sebutlah angka kriminalitas yang tak kunjung reda, makin maraknya judi online hingga penyalahgunaan narkoba yang nyata-nyata merusak mentalitas dan moralitas anak bangsa.
Belum lagi masalah pendidikan dasar maupun tinggi, yang relatif sulit diakses terutama rakyat menengah ke bawah. “Enggak muncul undang-undang yang berkaitan dengan itu,” tandasnya, terkait ketidakadilan pemerataan kebutuhan dasar yang kerap terjadi di negeri ini.
Islam
Lantas, Wahyudi pun membandingkan dengan ketika sistem Islam diberlakukan. Khalifah, dalam hal ini penguasa negara khilafah, memiliki dua pembantu yang mengemban tanggung jawab pemerintahan serta mengatur berbagai hal dengan pendapat dan ijtihadnya.
Adalah mu’awin at-tafwidh, pembantu khalifah yang bertugas membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan, dan mu’awin at-tanfidz, semacam sekretaris khalifah yang bertugas sebagai instansi penghubung antara khalifah dengan instansi-instansi negara.
“Itu sangat simpel saya lihat,” kata Wahyudi, yang berarti jauh lebih praktis dibanding sistem demokrasi dengan jumlah kementerian yang bahkan saat ini tak dibatasi.
Lebih jauh, sistem pemerintahan Islam pun sudah diteladankan oleh para Khulafaur Rasyidin. Yang dengannya, umat bisa belajar dan memahami setiap detail dari karakteristik pemerintahan Islam yang rahmatan lil alamin.
Bukan tanpa sebab, Rasulullah SAW sudah memerintahkan umat agar senantiasa mengikuti sunnah beliau SAW dan para sahabat yang empat, termasuk dalam bernegara.
“Wajib atasmu berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpetunjuk sesudahku. Maka peganglah kuat-kuat dengan gerahammu,” pungkas Wahyudi, mengutip HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Abu Na’im. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat