Lagi! Orang tidak Berakal Menyebut Penguasa Pemilik Monotafsir Pancasila, Ngawur!
Oleh: Nasrudin Joha
Rupanya tidak sekali saja, tetapi pernyataan nyeleneh (baca: gila) keluar dari otak manusia yang mendapat mandat mengelola negeri ini. Si Pandir ini mengklaim penguasa-lah yang memiliki tafsir ada tidaknya pelanggaran Pancasila. Ini ungkapan gila, dari seorang yang bernalar rata-rata, untuk memberikan legitimasi pada kedzaliman penguasa.
Perppu ormas, selain menciptakan kediktatoran konstitusional juga telah memproduksi secara masif, manusia-manusia pandir yang bertutur tanpa berfikir. Sebelumnya, Victor Laiskodat menyebut Khilafah berbahaya, dan akan membunuh pejuangnya sebelum dibunuh. Khilafah ditafsirkan akan mewajibkan semua orang beragama Islam, menjalankan ibadah sholat, dan tidak mengizinkan pluralitas dan keberagaman.
Kali ini, masih berasal dari partai yang sama, Wakil Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan Pemerintah memiliki otoritas tunggal untuk menafsirkan Pancasila dengan dalih Pemerintah-lah yang memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga Pancasila.
Setali tiga uang dengan Victor, Johny mengeluarkan kata-kata ajaib yang tidak bisa dicerna dan dinalar penduduk bumi. Mungkin, ungkapan ini baru bisa dipahami maknanya jika disampaikan pada bangsa Jin dan Setan.
Ungkapan ngawur ini, jika tidak segera diklarifikasi puncaknya akan membawa negeri ini pada adagium lama. Hukum adalah penguasa. Negara adalah raja. Tidak boleh ada kritik, semua harus menjadi pemuja dan menyediakan sesaji bagi Raja dan penguasa sesembahannya.
Ungkapan Ngawur ini, jika ditelaah melalui kamus awam setidaknya memiliki beberapa keajaiban. Keajaiban pertama, seolah penguasa selalu benar, penguasa selalu menjaga Pancasila, dan memandang ormas dan rakyat pada pihak yang selalu salah dan keliru.
Padahal, siapakah yang menjual aset BUMN ? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa! Siapa yang memperpanjang kontrak karya Freeport untuk merampok emas di Papua? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa! Siapa yang memberi izin reklamasi yang merugikan nelayan dan rakyat ? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa! Siapa yang mendiamkan pembangunannya Meikarta tanpa izin ? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa! Siapa yang mendiamkan kebangkitan komunisme PKI ? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa! Siapa yang menumpuk Hutang hingga 4000 T? Rakyat? Ormas? Jawabnya penguasa!
Keajaiban Kedua, kewajiban menjaga kedaulatan negara ini adalah kewajiban kolektif kolegial. Rakyat memiliki beban, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan penguasa untuk mempertahankan setiap jengkal tanah bumi pertiwi ini.
Siapakah yang membayar pajak untuk para pegawai negara ? Penguasa? Rakyat-lah yang melakukannya! Siapa yang menggaji tentara dan polisi ? Penguasa? Rakyat-lah yang melakukannya! Siapakah yang menggaji anggota dewan yang kerja sambil tidur, para politisi busuk pengkhianat bangsa, Penguasa? Rakyat-lah yang melakukannya!
Keajaiban ketiga, ungkapan Johny disampaikan sesaat pasca disahkannya Perppu menjadi UU. Jelas, ungkapan ini mewakili suasana kebatinan penguasa yang sejak awal memang berniat mempraktikkan diktatorisme dalam mengelola negara.
Omongan Johny baru bisa dibenarkan jika dia mewakili penguasa menanggung pajak seluruh rakyat Indonesia. Sekaligus, dia yang harus menjadi pihak penjamin Hutang-Hutang negara, bukan rakyat.
Waspada, akan bermunculan Viktor-Victor dan Johny-Johny selanjutnya
Hanya di rezim ruwet Jokodul ini, muncul manusia-manusia ajaib seperti Victor, makhluk aneh seperti Nathan, Iwan Bopeng, Abu Janda. Hanya di rezim ini, agama dilecehkan, Al Quran dihinakan, ulama di kriminalisasi, tentara tidak dihargai.
Rezim ini akan terus memproduksi makhluk sejenis, jika rakyat tidak bergerak serentak untuk memotong tunas-tunas rezim sampai ke akar-akarnya, hingga tidak ada sedikitpun sisa rezim yang menyembul ke ruang publik dan mengeluarkan berbagai ujaran kekacauan.
Rezim abal-abal, amatiran, yang tidak mau Nurut jika diatur, tidak becus jika mengatur. Jika kalah ngambek, jika menang amatiran memimpin dan mengelola negeri. Rezim jailangkung politik, rezim ngambekan, dan ugal-ugalan mengelola uang rakyat. Rezim ini harus dihentikan, tidak perlu menunggu ritual lima tahunan.
Keadaan ini jika terus dibiarkan, akan terus memproduksi berbagai malapetaka dan bala yang akan menimpa rakyat. Hanya saja, masih banyak tokoh terbaik dari negeri ini, yang baru mengintip dibalik jendela, enggan keluar rumah untuk menyatakan agitasi kebenaran.
Padahal, umat dan rakyat telah lama menunggunya. Semua sudah jengah, bosan, marah, dan ingin segera mengakhiri berbagai penderitaan yang ditimpakan rezim. [].