Maulid Sekadar Seremonial, Praktik Politik Jauh dari Tuntunan Rasulullah SAW
Mediaumat.info – Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Chusnul Mar’iyah, Ph.D. menyatakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam konteks tafsir rezim yang berkuasa sekadar seremonial karena praktik politik yang terjadi jauh dari tuntunan Rasulullah SAW.
“Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam konteks tafsir regime yang berkuasa sekarang ini hanya sekadar seremonial peringatan lahirnya Rasulullah SAW karena praktik politik yang terjadi jauh dari tuntunan Rasulullah SAW,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (14/9/2024).
Menurutnya, rekrutmen pemimpin hari ini sangat jauh dari karakter yang diajarkan oleh Rasulullah SAW seperti konsep-konsep amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), shiddiq (jujur) dan fathanah (cerdas), baik legislatif, eksekutif di semua tingkatan. Proses pemilu banyak diatur oleh oligarki politik parpol yang kongkalikong (sekongkol) dengan oligarki ekonomi, para bandar.
“Di mana kita meletakkan peradaban Islam? Sering kali politisi dan elite mengatakan politik jauhkan dari agama. Padahal the virtue of politics (keutamaan politik) yang paling tinggi berdasar morality (moralitas) agama. Dalam Islamic democratic governance dasar kedaulatannya adalah kedaulatan Tuhan. Filsafat, pemikian, dan etika publik, keadilan, HAM, harusnya didasarkan pada agama. Namun dalam praktiknya HAM pun masih dipisahkan antara hak dan etik,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Chusnul, tingkah laku politik para aktor politik harusnya takut pada Allah saat nanti di Yaumil Hisab agar menjauhkan diri dari praktik politik yang korup. Kekuasaan dan jabatan harus dipandang sebagai ujian dalam kehidupan dunia.
“Untuk apakah berkuasa? Bagaimana proses mendapatkan kekuasaan/jabatan tersebut? Apa amanah yang harus dijalankan. Mampukah kita untuk tunduk pada aturan Sang Pencipta dalam kehidupan politik kita?” ujarnya agar politisi merenungkan pertanyaan-pertanyaannya tersebut.
Ia juga mengajak para politisi merenungkan sistem mana yang lebih adil, yang dibuat manusia atau Tuhan.
“Kalau tujuan bernegara para pendiri bangsa yang jumlah rakyat Muslim terbesar di dunia, tidak mempercayai value (nilai) dalam agama Islam yang agung itu. Pertanyaan saya legal sistem mana yang lebih baik dan lebih adil? Yang dibuat oleh DPR dan presiden atau yang dibuat oleh Sang Pencipta orang-orang DPR dan presiden tersebut?” tanyanya.
Diskursus narasi tentang agama dan politik, kata Chusnul, harus terus menerus dikaji lebih luas agar rakyat tidak agamafobia, dan secara khusus tidak islamofobia. Tantangan ideologi liberalisme, materialisme dan islamofobia harus dilawan. Keberhasilan pembangunan suatu negara tidak diukur dari beton-beton tinggi, tapi pembangunan yang tepat sasaran, dan membuat rakyat cerdas, sejahtera serta bahagia di dunia dan di akhirat. Dibutuhkan kemampuan untuk merebut tafsir politik Islam dalam negara modern yang mengarah ke sekularisme ini. [] Rasman
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat