Radikalisme: Antara Realitas dan Mitos
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
Dalih seperti “Global War on Terror”, “Global War on Radicalism” dicanangkan Negara Adidaya kapitalis, dalih ini telah menyebabkan umat Islam merasakan rasa sakit yang bahkan tidak pantas dirasakan oleh hewan. Invasi militer dan berbagai pelecehan sebagai konsekuensi yang mengikutinya.
Banyak inkonsistensi dalam narasi ‘War on Terror’ dan ‘War on Radicalism’ serta manipulasi atmosfer ketakutan yang diciptakan untuk menyerang gagasan-gagasan politik Islam yang telah mendapat banyak dukungan luas di dunia Muslim. Slogan-slogan ini digunakan untuk melanjutkan penganiayaan terhadap umat Islam. Sementara slogan radikalisme menjadi selimut palsu yang digunakan secara langsung untuk menargetkan setiap Muslim dimanapun dia berada selama dia menyerukan upaya membangun kepribadian Islam secara individu atau sebagai masyarakat Islam sebagai cara hidup yang sempurna.
Istilah radikal sendiri tidak menghasilkan makna yang baik atau buruk dari sesuatu. Namun istilah ini telah diberi definisi baru oleh Amerika Serikat dan Eropa. Mereka membuat terorisme dan radikalisme identik menodai citra mereka yang ingin menghidupkan kembali tata dunia kapitalistik. Akidah Islam sebagai pengganti kapitalisme yang rusak adalah sasarannya. Siapapun yang telah dicap sebagai radikal dengan cara yang sama seperti mereka dicap sebagai teroris. Ini bukan hal baru, karena berbagai fitnah lainnya secara historis telah digunakan. Upaya ambisius yang destruktif dilakukan rezim kapitalis untuk ‘mereformasi Islam’.
Aneka undang-undang, gaya politik atau kebijakan melawan radikalisme dan terorisme membuahkan masalah. Muncul berbagai ketidakadilan terhadap umat Islam di seluruh dunia pada umumnya. Sangat menyedihkan melihat apa yang dihadapi umat Islam di Suriah, Palestina, Afghanistan, Uzbekistan, Yordania, Irak, Myanmar, Yaman, dll. semua mengalami masa-masa sulit di bawah slogan ‘kampanye melawan radikalisme’ yang dipelopori AS di seluruh dunia di mana negara-negara yang telah menerima untuk digunakan dalam kampanye berbahaya ini didukung penuh, termasuk kucuran dana.
Kita hidup di abad ini, kita mengalami hidup susah di bawah naungan peradaban Kapitalisme Barat yang korup serta berasal dari pikiran manusia yang lemah. Peradaban Kapitalisme masih terus berlanjut dan masih konstan disponsori dan diadvokasi di seluruh dunia oleh Amerika Serikat dan sekutunya melalui slogan seperti Freedom, Demokrasi, perdagangan bebas dll. Namun Anda menyaksikan tawaran mereka gagal memenuhi euforia perubahan masyarakat, makin terpuruk.
Lalu keinginan kaum muslim untuk kembali ke dalam sistem Islam menguat setelah menyaksikan kegagalan Kapitalisme dalam menguasai dunia. Karena itu, Amerika dan sekutunya telah menetapkan undang-undang, metode dan kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan atau menghalangi kecepatan umat Islam yang menuntut perubahan ideologis Islam; Akibatnya, di antara kebijakan tersebut adalah perang melawan teror, perang melawan radikalisasi, dll.
Banyak ulama dan aktivis yang menentang kesalahpahaman tentang radikalisasi, ‘ekstremisme’ dan kekerasan politik, dengan cara menjelaskan ajaran-ajaran politik Islam dan memetakan jalan ke depan untuk masa depan. Buah dari dakwah adalah kondisi dimana kaum muslimin saat ini terbangun dari sikap diamnya, menantang usaha untuk pendiskreditan Islam dan pemeluknya, mereka mulai memahami kewajiban pembentukan sistem politik Islam yang independen di dunia Muslim, dengan istilah khilafah.
Sejumlah manuver dan argumen telah disosialisasikan kepada publik untuk menyarankan agar sistem Khilafah menjadi kewajiban yang tidak diinginkan bahkan ide-idenya harus ditentang, termasuk upaya untuk menghubungkan konsep khilafah dengan kekerasan. Maka yang tampak justru kegagalan dalam wacana Barat tentang Khilafah.
Gagasan politik Islam dipandang sebagai ancaman potensial bukan untuk keamanan, tapi untuk mempertahankan kontrol, eksploitasi dan dominasi raksasa kapitalis agar invasi politik dan ekonomi mereka yang terus berlanjut selama beberapa dekade. Namun bagi kaum muslim, gagasan khilafah berarti pembebasan dari tirani dan penindasan, ini terkait dengan prinsip dan sejarah mereka dan kemampuan untuk menentukan takdir politik mereka sendiri.
Kekejaman ini dihadapi umat Islam namun sangat mengejutkan. Ironisnya sikap media massa pragmatis pro kolonialisme Barat, turut membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membenarkan pembunuhan orang-orang Muslim sambil mengucapkan selamat dan memuji pejabat dan institusi yang ditugaskan memerangi terorisme untuk pekerjaan baik mereka. Dalam tragedi pemboman misalkan, sebelum penyelidikan dilakukan, Anda akan mendengar media memberikan pernyataan tipis yang mengatakan bahwa “seorang teroris” telah mengebom daerah tertentu, atau dengan kalimat yang lain, selama tersangka adalah seorang Muslim.
Kita jangan sampai jatuh ke dalam perangkap yang diletakkan oleh Barat atas adu domba kaum muslim dengan cap Radikal Muslim dan Muslim Moderat. Yang jelas, banyak data terungkap hingga pada kesimpulan final bahwa gembong teroris adalah Amerika Serikat dan ‘Israel’ yang secara terbuka melihat untuk menargetkan kaum Muslim dan Islam dalam perang panjang.[]