Impor Beras Tinggi, FAKKTA: Pemerintah Tak Sungguh-sungguh Pikirkan Pertanian

 Impor Beras Tinggi, FAKKTA: Pemerintah Tak Sungguh-sungguh Pikirkan Pertanian

Mediaumat.info – Menanggapi sepanjang pemerintahan Jokowi impor beras tembus 9,4 juta ton sehingga menjadi terbesar dibanding era presiden sebelumnya, Ekonom Forum Analisis Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan memang pemerintah tidak memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana agar produktivitas pertanian tetap tumbuh.

“Memang pemerintah tidak memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana agar produktivitas pertanian kita ini tetap tumbuh, kemudian juga mampu memenuhi kebutuhan domestik sehingga tidak bergantung pada impor,” ujarnya dalam Kabar Petang: Petani Menderita di Era Jokowi? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (27/8/2024).

Ishak melihat sangat miris, di tengah meningkatnya populasi penduduk Indonesia yang notabene juga meningkatkan permintaan untuk konsumsi pangan justru produktivitas pertanian terus menurun sehingga harus mengimpor dari negara lain.

Menurut Ishak, salah satu yang harus dilakukan adalah bagaimana agar luas lahan pertanian khususnya di sentra-sentra produksi beras seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Banten ini bisa tetap terjaga.

Menurutnya, memang ada undang-undang tentang perlindungan lahan, tapi kata Ishak undang-undang ini sangat tidak produktif. Hal itu dibuktikan masyarakat pemilik lahan khususnya para petani itu dengan mudah mengkonversi lahan mereka ke sektor non-pertanian.

Ishak menilai, hal itu karena memang keuntungan yang bisa diperoleh dari lahan pertanian ini sangat kecil, bahkan para petani bisa mengalami kerugian karena biaya produksi yang terus naik.

Misalnya, biaya pupuk, biaya BBM untuk traktor, biaya bibit dan biaya tenaga kerja serta sewa lahan. “Padahal sekitar 63% dari petani Indonesia adalah petani gurem, yakni mereka ini petani-petani yang menyewa lahan pertanian untuk bisa tetap mendapatkan penghasilan,” jelasnya.

Ishak memandang, dengan biaya-biaya yang semuanya naik sementara harga jual padinya itu relatif tidak menjanjikan, sementara biaya kebuhan biaya kebutuhan hidup misalnya biaya sekolah, biaya kesehatan, biaya konsumsi terus meningkat akibat inflasi yang tinggi akibatnya tidak ada lagi harapan untuk mengandalkan usaha di sektor pertanian.

“Maka kemudian ini dijual kepada investor yang memiliki kepentingan untuk membangun usaha-usaha non-pertanian,” pungkasnya. [] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *