Siyasah Institute: Demokrasi Memang Koruptif dan Manipulatif

 Siyasah Institute: Demokrasi Memang Koruptif dan Manipulatif

Mediaumat.info – Menanggapi film dokumenter Dirty Vote (Pemilu Kotor) yang viral di media sosial beberapa hari ini, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menyatakan, sedari awal demokrasi memang membuka lebar-lebar peluang terjadinya berbagai tindak koruptif dan manipulatif.

“Demokrasi sedari awal telah membuka pintu lebar bagi terjadinya berbagai tindak koruptif dan manipulatif,” ujarnya kepada media-umat.info, Jumat (16/2/2024).

Bahkan, menurut Iwan, setidaknya ada empat hal yang menyebabkan hal itu makin masif terjadi.

Pertama, sistem demokrasi memarjinalkan iman dan takwa atau nilai-nilai agama. Artinya, agama dan nilai-nilainya cenderung menjadi profan dan seremonial belaka, serta tidak menjadi pijakan rakyat dan pejabat dalam menjalankan negeri ini.

Untuk diketahui, demokrasi sendiri menginduk pada falsafah sekulerisme atau paham memisahkan agama dari kehidupan di tempat asal, Eropa. Tak hanya itu, demokrasi sendiri adalah antitesis dari sistem teokrasi yang mengungkung Eropa berabad-abad, dan membawanya ke era kegelapan dalam naungan rezim gereja dan para kaisar.

Karenanya, pantas apabila indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transparency International terus merosot. Bahkan negeri ini masih berada dalam jajaran lima besar negara terkorup di ASEAN.

Sementara para pelaku koruptor sendiri didominasi beragama Islam berkarakter hipokrit dan oportunis. “Dengan ‘memangkas’ agama Islam, sekulerisme dan demokrasi akan melahirkan para pejabat dan wakil rakyat dengan karakter hipokrit dan oportunis,” tandasnya.

Kedua, demokrasi meletakkan kedaulatan atau hak penyusunan konstitusi dan legislasinya mutlak pada manusia, bukan pada Tuhan yang notabene pemilik hukum atas seluruh makhluk-Nya.

Hal ini mengakibatkan suatu undang-undang dan peraturan, bisa ditarik ulur atau direkayasa sesuai syahwat kekuasaan. “Halal dan haram ditentukan oleh hawa nafsu manusia dengan merebut peran Tuhan sebagai pemilik dan pembuat hukum,” tuturnya.

Sebutlah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berikut pasal kontroversial seputar potensi pelegalan zina, UU Cipta Kerja, hingga UU Minerba yang diduga kuat juga dibuat untuk kepentingan korporasi.

“Terbukti banyak undang-undang yang lahir dalam sistem demokrasi bukan kehendak rakyat, tapi pesanan dari korporasi besar baik lokal maupun asing,” ungkapnya.

Ketiga, dalam penyusunan konstitusi di negara-negara dunia ketiga juga rawan mendapatkan intervensi dari asing.

Mengutip pernyataan Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI pada 2010 silam, misalnya, diungkapkan ada 76 UU yang penyusunan drafnya melibatkan pihak asing.

Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior (alm) Rizal Ramli tentang sejumlah produk perundang-undangan yang lahir karena pesanan kaum neolib, seperti UU Migas dan UU Penanaman Modal.

“Umumnya, kata Rizal, modus itu dilakukan dengan utang negara yang ditukar dengan undang-undang, seperti pada tahun 2003 telah lahir Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara,” kutip Iwan.

Keempat, kegagalan dalam konsep pembagian kekuasaan untuk mencegah terjadinya abuse power ala trias politica, dalam hal ini Montesquieu, di dalam sistem buatan manusia tersebut.

Dengan istilah lain, ketika parlemen (legislatif) yang berisi parpol berkoalisi dengan pemerintah (eksekutif), maka yang terjadi justru kolaborasi saling menguatkan. Sehingga penyalahgunaan wewenang atas legislatif pun tak terhindarkan.

Sistem Setan

Untuk itulah, Iwan pun menyebut demokrasi tak lebih dari sistem pemerintahan yang kotor (dirty government) karena memang memperturutkan hawa nafsu manusia.

Bahkan lebih dari itu, ia juga menyebutnya sebagai sistem setan. “Demokrasi itu evil system karena memusuhi agama, juga membuat manusia terdorong mengerdilkan bahkan menyerang agama,” paparnya.

Kendati sekalipun terdapat sanggahan berikut anggapan jika bersandar kepada Islam, maka demokrasi menjadi islami, hipotesis ini bertabrakan dengan realita demokrasi yang secara harfiah memang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan kepada Tuhan.

“Bukankah itu berarti mencederai paham keislaman seorang Muslim bahwa hukum Allah mutlak harus dijalankan tanpa reserve atau persetujuan orang lain, walaupun itu suara mayoritas?” pungkasnya, sembari menyampaikan QS Al-Ahzab: 36 yang artinya:

‘Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang Mukmin dan perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.’ [] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *