FORKEI: Lebih Untungkan Investor, Hilirisasi Nikel Harus Ditolak!

 FORKEI: Lebih Untungkan Investor, Hilirisasi Nikel Harus Ditolak!

Mediaumat.info – Analisis Senior Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI) Lukman Noerrochim, Ph.D. menyatakan skema hilirisasi nikel di era Jokowi ini lebih menguntungkan investor dibanding negara Indonesia sehingga harus ditolak.

“Ya tentu, kalau skemanya masih sekarang ini harus kita tolak,” ujarnya dalam Kabar Petang: Hilirisasi Jokowi, Mengembalikan RI ke Zaman VOC? di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (15/2/2024).

Keuntungan untuk negaranya sangat kecil karena hanya dapat royalti saja, namun kerugiannya sangat jelas.

“Dan kerugiannya itu jelas, tadi sudah disampaikan kerugiannya antara lain kerusakan lingkungan yang tentu perlu waktu lama karena merestorasi kerusakan kembali lingkungan tersebut yang sebenarnya juga butuh biaya yang luar biasa,” bebernya.

Terkait kerusakan lingkungan ini, menurut Lukman, masalah besar baik masyarakat Indonesia dan juga para penerus 10-20 tahun yang akan datang.

“Tambang nikel ini punya umur batasan sebenarnya, mulai prediksi kurang lebih mungkin ya tidak lebih dari 15 tahun sudah berakhir, namun kalau dieksploitasi besar-besaran terus seperti kondisi sekarang ini maka 15 tahun itu sudah habis,” ungkapnya.

Maka dari itu lanjutnya, program hilirisasi ini yang tentu sudah merusak lingkungan, memberikan dampak yang signifikan pada pendapatan negara, dan lebih jauh lagi mempengaruhi masa depan penerus bangsa ini.

Awal Hilirisasi

Awal mula hilirisasi menurut pengamatan Lukman itu sejak tahun 2000. Ditandai dengan sudah adanya penambang-penambang ilegal yang menambang bahan mentah nikel kemudian langsung dijual.

“Jadi tahun 2000 sudah banyak kapal-kapal dari Cina itu berlabuh di Sulawesi Utara (Sulut) dan Sulawesi Tengah (Sulteng),” ujarnya.

Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibuat Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) untuk mengatur peningkatan nilai produk mentah menjadi produk setengah jadi atau diolah dengan smelter yang harapannya berbentuk veronikel.

“Yang diharapkan UU tersebut pabrik-pabrik itu tidak boleh mengekspor langsung bahan mentah, jadi diolah dulu dengan smelter,” bebernya.

Sejak kurun waktu 2009 sampai 2015, kata Lukman, belum ada perusahaan yang belum mampu melaksanakan amanat dari UU Minerba. “Karena kesulitan, untuk berinvestasi di smelter itu cukup besar dan kebutuhannya tinggi,” ungkapnya.

Di era Jokowi, lanjutnya, ada revisi UU Minerba No. 3 tahun 2020 untuk memudahkan investor dan banyak intensifnya terutama potongan pajak.

“Sehingga dari revisi UU tersebut banyak sekali perusahaan-perusahaan Cina itu berinvestasi di wilayah tambang di Sulut dan Sulteng dengan mendirikan industri-industri smelter nikel, dan sejak tahun 2020 itulah banyak sekali eksploitasi besar-besaran di bidang nikel,” jelasnya.

Royalti

Lukman beberkan negara hanya mendapatkan royalti saja dari hilirisasi.

“Dari ekspor nikel itu kita mendapatkan pendapatan negara hanya berupa royalti saja yaitu penerimaan pemajakan dari perseroan terbatas (PT) yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2022, tarifnya itu hanya 2% dari harga, tapi untuk kursnya karena ada revisi UU No. 3 tahun 2020 itu cuman 1,5%,” ungkapnya.

Sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN), kata Lukman, sangat kecil bahkan bisa mencapai angka nol. Pajak ekspor dan pajak penghasilan (PPh) terhadap smelter mendapatkan fasilitas free (tidak dipungut) pajak hampir 20 tahun.

“Artinya mereka (investor nikel) free bebas tidak membayar pajak sama sekali,” keluhnya.

Jadi sebenarnya, ungkapnya, dari angka Rp515 triliun dari hilirisasi ekspor nikel itu, negeri ini hanya menerima 8 triliun.

“Ini sangat-sangat kecil sekali,” ungkapnya.

Lukman mengeluhkan, nilai tersebut tidak berbanding dengan kesejahteraan atau peningkatan ekonomi penduduk di daerah penambangan.

“Nah, pertambahan ekonomi di daerah penambang itu naik sampai beberapa persen karena investasi dan ekspor, tapi pertumbuhan ini sedikit ada kesenjangan baru, karena sebagian besar pertumbuhannya itu hanya dinikmati oleh para investor di pertambangan tersebut,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *