Pakar: Pemicu Kezaliman Rezim adalah Surplus Kekuasaan
Mediaumat.info – Pakar Linguistik Forensik Prof. Aceng Rehendi Syaifullah menuturkan pemicu terjadinya kezaliman rezim karena surplus kekuasaan.
“Para pihak yang memperkuat rezim ini untuk terjadinya tindak kezaliman ini pemicunya adalah surplus kekuasaan,” ujarnya dalam Diskusi Online: Rezim Makin Keterlaluan, Dunia Kampus Bereaksi Keras, Ahad (4/2/2024) di kanal YouTube Media Umat.
Prof. Aceng menilai surplus kekuasaan itu datang bukan hanya dari kalangan politisi partai, tapi juga dari kalangan kampus itu sendiri yang ikut melegitimasi itu.
“Sehingga rezim ini sangat pede untuk melakukan penafsiran-penafsiran sesuai kepentingannya, terhadap kaidah-kaidah kesepakatan konstitusi termasuk yang terakhir ini,” ungkapnya.
Menurutnya, ketika muncul reaksi-reaksi sekarang dari kalangan kampus, tidak akan menggoyang kekuasaan rezim ini.
Prof. Aceng beralasan sekian lama kampus ini dipelihara, didominasi oleh narasi-narasi kekuasaan yang memang memperkuat posisi rezim ini.
Ia juga meragukan efektivitas suara kampus yang baru muncul belakangan ini. “Ini gaungnya sedemikian rupa karena suara yang muncul, respons yang muncul dari Istana itu stempel partisan,” ulasnya.
Menurutnya, ini bukan sebuah penyadaran bahwa mereka mengakui sebuah kesalahan, kemudian melakukan semacam instropeksi untuk memperbaiki, tapi ini sebuah perlawanan.
Jadi, terangnya, apa pun yang dikemukakan kalangan kampus, akan diidentifikasi sebagai aksi politik yang sifatnya praktis juga.
“Jadi, sepertinya ini bukan suara moralitas, suara yang menjunjung nilai-nilai kebenaran akademik dan sebagainya. Tapi ini diidentifikasi sebagai suara yang menyerukan kepentingan lawan-lawan politik yang sedang bertarung di panggung kekuasaan jadi sangat praktis sekali,” bebernya.
Kekuatan Steril
Prof. Aceng menilai masyarakat harus memikirkan alternatif lain, kekuatan yang masih steril dari kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan sehingga suaranya ini lebih memiliki daya tekan secara moral.
Menurutnya, tidak tahu kalangan mana karena hampir semua lapisan di tengah masyarakat itu sudah terkontaminasi sedemikian rupa.
“Hanya ada kekuatan-kekuatan pinggiran, misalnya, yang menyuarakan suara-suara steril dari itu tapi dari struktur tidak memiliki jalur yang efektif,” ungkapnya.
Jadi, tegas Prof. Aceng, suaranya itu tidak begitu terasa tekanannya kepada kekuasaan karena kalangan ini cenderung bermain di luar struktur dan itu sebuah pilihannya.
“Misalnya, teman-teman yang bergerak di gerakan dakwah Islam kaffah dan sebagainya,” ungkapnya.
Prof. Aceng berharap, ini merupakan sebuah kekuatan alternatif daya dobrak, daya saing tapi secara praktis berada di arena atau di luar sistem.
“Sehingga, gerakannya bisa penetrasi ke lapisan bawah untuk sosialisasi daripada memengaruhi keputusan di tingkat elite kekuasaan yang sekarang ini dirasakan semakin melebar dari standar-standar yang disepakati,” pungkasnya. [] Muhammad Nur