Bahas Keistimewaan Rajab, UIY: Sikap Mukmin Harus Sami’na wa Atha’na

 Bahas Keistimewaan Rajab, UIY: Sikap Mukmin Harus Sami’na wa Atha’na

Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menuturkan, ukuran keimanan mukmin kepada Al-Qur’an ada pada sikap sami’na wa atha’na (mendengar dan patuh).

“Kalau kita percaya pada Al-Qur’an mustinya sikap itu yang diambil juga oleh kita kan sami’na wa atha’na,” ujarnya dalam Focus to The Point: Rajab dan Pelajaran Keimanan dari Abu Bakar ra, Kamis (18/1/2024) di kanal YouTube UIY Official.

“Bukan sami’na wa ashaina (kami mendengar ucapanmu akan tetapi kami tidak akan taat kepada perintahmu), atau sami’na wa ‘pikir-pikir dahulu’, bukan,” sambungnya.

Artinya, ketika seseorang mengatakan sudah beriman kepada Al-Qur’an tetapi sikapnya itu masih tidak seperti yang disebut Al-Qur’an berarti sebenarnya dia belum (beriman).

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung,” demikian bunyi QS an-Nur: 51.

Atau, kata UIY lebih lanjut, tanda paling nyata keimanan yang penuh kepada Al-Qur’an adalah setiap pikiran dan perbuatan sejajar dengan yang disampaikan di Al-Qur’an. “Mustinya itu,” tandasnya.

Teladan Abu Bakar ra

Adalah sikap Abu Bakar, kata UIY memaparkan, yang seketika membenarkan kabar tentang Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Karenanya, ia pun mendapat gelar Ash-Shiddiq sehingga ia lebih dikenal dengan nama ‘Abu Bakar ash-Shiddiq’.

Sehingga, menurutnya, rujukan kekuatan iman mukminin pasca wafatnya Rasulullah SAW ada pada diri Abu Bakar ra. “Jika kita ingin merujuk seberapa kita mustinya punya kekuatan iman, (lihatlah) Abu Bakar,” cetus UIY.

Seperti diketahui bersama, setiap bulan Rajab kaum Muslim selalu memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj, yaitu diperjalankannya Nabi SAW pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratul Muntaha.

Maksudnya, selain menegaskan kenabian beliau SAW sekaligus kepemimpinan di atas para nabi dan rasul, peristiwa ini juga mengingatkannya kepada Sahabat Abu Bakar ra yang sekali lagi UIY sampaikan, tak perlu menimbang-nimbang lagi untuk sekadar mengimani kabar dari Rasulullah SAW tentang Isra’ Mi’raj.

“Ada satu hal yang penting selain harus selalu kita ingat selain soal biasanya orang menyebut tentang shalat, dsb. itu, tapi adalah tentang bagaimana Sayyidina Abu bakar itu mempercayai peristiwa ini,” paparnya.

Pasalnya, jangankan untuk ukuran di masa itu, saat sekarang saja, menurut UIY, tidak mudah akal manusia menjangkau untuk kemudian bisa langsung mempercayai.

Tetapi, karena sebelum-sebelumnya telah mengimani dalam hal ini segala yang terucap melalui Baginda Muhammad SAW, Abu Bakar pun menegaskan tidak mungkin mengingkari kabar seputar Isra’ Mi’raj.

Bahkan, lanjut UIY, dikatakan Abu Bakar akan selalu membenarkan meski yang disampaikan Rasulullah lebih sulit dipahami akal daripada Isra’ Mi’raj ini.

Tak ayal, kemuliaannya pun diakui Rasulullah SAW sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi, disebutkan bahwa beliau pernah bersabda, ‘Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar’.

Perkokoh Keyakinan

Karena itulah, UIY pun menekankan agar umat Islam senantiasa memperkokoh keyakinan kepada Al-Qur’an sebagai Kalamullah, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Anfal ayat kedua tentang bertambahnya keimanan setiap kali disebut nama Allah SWT.

Dengan kata lain, setelah beriman kepada Al-Qur’an, mestinya pula percaya kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan syariat Islam.

“Kalau kita percaya (Al-Qur’an), mustinya kita percaya juga kepada apa yang dikatakan tadi itu, berkaitan dengan syariah,” tandasnya.

Di antaranya, firman Allah di dalam QS al-Ahzab: 36 yang artinya, ‘Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka’.

Menurut UIY, itu adalah konsekuensi dari keimanan seseorang kepada Al-Qur’an. “Itu konsekuensi dari keimanan kita kepada Al-Qur’an,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *