Buntut Wine Berlabel Halal, PAKTA: Kemenag Mau Nyari Apa?

 Buntut Wine Berlabel Halal, PAKTA: Kemenag Mau Nyari Apa?

Mediaumat.id – Kendati sudah mencabut sertifikat halal produk Nabidz, Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana kembali mempertanyakan kepentingan Kementerian Agama (Kemenag) RI yang terkesan telah mengambil alih dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal kewenangan mengeluarkan status halal suatu produk.

“Sebelumnya status halal ini kan dikeluarkan oleh MUI dan itu sudah settle (tetap) di situ enggak ada masalah. Tapi tiba-tiba ditarik ke Kemenag. Ini Kemenag ini mau nyari apa ini?” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (28/8/2023).

Padahal, produk Nabidz yang memiliki label halal ini masuk dalam kategori minuman anggur beralkohol (wine) yang jelas keharamannya untuk dikonsumsi.

Untuk diketahui, seperti dilansir situs resminya, Kemenag menyebut bahwa MUI tetap berwenang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal, ini sebagai pemenuhan aspek hukum agama. Sedangkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag bertugas menerbitkan sertifikat halal MUI sebagai bentuk administrasi hukum agama ke hukum negara.

Karenanya, ia menilai ada suatu kepentingan terkait uang dalam hal pengurusan sertifikat halal dimaksud. “Apakah ketika untuk mengurus (sertifikasi) halal itu ada duitnya gitu? Ya jelas,” cetusnya.

Bagaimanapun juga, kata Erwin, untuk melakukan semacam penelitian sebagai bagian dari proses penetapan kehalalan suatu produk, tentu membutuhkan biaya, terlepas siapa yang memiliki kewenangan untuk itu.

Karenanya juga, Kemenag, perangkat pemerintah yang membidangi urusan agama dalam pemerintahan yang dahulu bernama departemen agama ini tak perlu banyak gaya. “Kemenag, menurut hemat saya jangan terlalu genitlah,” ucapnya.

Lagipula, Kemenag mestinya berurusan dengan administrasi keagamaan. “Itu urusan Kemenag itu,” tegasnya.

Self-Declare

Sekadar informasi, pasca-penerbitan sertifikasi halal yang kewenangannya beralih dari MUI ke Kemenag RI dalam suatu keputusan yang berlaku efektif terhitung mulai 1 Maret 2022, ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk mengurus sertifkat halal, yaitu pernyataan mandiri (self-declare), dan reguler.

Sementara, produk Nabidz yang memiliki label halal tersebut tak bisa dilepaskan dari jalur self-declare yang ke depannya menurut Erwin, bakal sangat mengerikan. “Ini akan sangat mengerikan ke depan,” sebutnya, yang berarti bakal sangat berbahaya terutama terhadap kaum Muslim yang notabene sebagai penduduk mayoritas di negeri ini.

Menurutnya lagi, self-declare memiliki kelemahan berkenaan dengan objektivitas status halal. Yakni bakalan sangat sulit ditegakkan. “Kelemahan yang pasti itu adalah berkaitan dengan objektivitas status halal itu akan sangat sulit untuk ditegakkan,” tukasnya.

Dengan kata lain, apabila sebatas self-declare, ia khawatir nantinya produk apa pun akan bisa dideklarasikan sebagai suatu yang halal tergantung kepada kepentingan seputar bisnis, sebagaimana yang ia paparkan sebelumnya.

Maka itu, kembali ia mengingatkan pemerintah agar mampu memberikan semacam kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk dengan sertifikat halal.

Pasalnya, kepastian tersebut perlu diberikan karena untuk menjamin dan memastikan kepada masyarakat bahwa produk yang diproduksi benar-benar halal untuk dikonsumsi.

Hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai upaya pemerintah dalam rangka memberikan fasilitas bagi masyarakat untuk menjalankan perintah sesuai dengan syariat Islam.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *