IJM: Selayaknya Hak-Hak Suara Tidak Terbelenggu dengan Ancaman Delik KUHP
Mediaumat.id – Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana berharap hak-hak suara tidak terbelenggu dengan ancaman delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Selayaknya hak-hak bersuara tidak terbelenggu dengan ancaman delik dalam KUHP maupun undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” ungkapnya dalam video Oposisi Kritis Bisa Dijerat Segudang Pasal? melalui kanal YouTube Justice Monitor, Ahad (13/8/2023).
Hal itu disampaikan, karena menurutnya, seiring dengan berkembangnya nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
“Saat ini publik menghendaki sebuah kemerdekaan dalam berpendapat sehingga tumbuh dan berkembang pula kualitas kontrol yang dihasilkan terhadap semua proses dan hasil pembangunan,” tandasnya.
Namun Agung kecewa, sebab pada kenyataannya pemerintah justru seolah-olah antikritik. Ia mengutip pernyataan Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan yang mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi terkesan antikritik.
“Setidaknya itu yang dipertontonkan para pendukung dan relawannya. Kalau perlu para pengkritik itu dipenjara dengan tuduhan menghina presiden atau menyebarkan informasi bohong dan ujaran kebencian,” ucap Agung mengutip pendapat Anthony.
Menurut Agung, aparat penegak hukum pemerintahan Jokowi, semakin suka menggunakan pasal pidana, penyiaran berita bohong dan keonaran, yang ternyata lebih kejam dari pemerintahan penjajah. Masyarakat, lanjutnya, menduga keras upaya ini untuk membungkam kritik.
“Apalagi kalau kita cermati, sebelumnya terjadi revisi besar-besaran terhadap KUHP dan peraturan perundang-undangan yang lain, terutama pasal-pasal yang berpotensi bisa digunakan untuk memenjarakan wartawan, buruh, oposisi, demonstran, penceramah, dan pembicara dalam diskusi serta aktivis advokasi,” bebernya.
Dengan menggunakan pasal-pasal itu yang sekarang berlaku putusan hakim, sambungnya, dapat membungkam kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan menyampaikan pendapat.[] Irianti Aminatun