Salahkah KPK Tetapkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Tersangka Suap Basarnas? Begini Kata LBH Pelita Umat

 Salahkah KPK Tetapkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Tersangka Suap Basarnas? Begini Kata LBH Pelita Umat

Mediaumat.id – Permintaan maaf KPK kepada rombongan petinggi TNI karena dianggap ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas mendapat tanggapan dari Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan.

“Apakah KPK salah, telah sesuai hukum dan tidak melebihi kewenangannya? Mari kita pahami kewenangan KPK, kewenangan Pengadilan Militer dan kewenangan Pengadilan Tipikor,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (29/7/2023).

Chandra merujuk Pasal 42 UU KPK yang menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

“Serta Pasal 89 ayat (1) KUHAP, apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum,” ungkapnya.

Menurutnya, Pasal 89 ayat (1) ini mengamanatkan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada peradilan militer.

Lebih lanjut, kata Chandra, hal ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Pengadilan Militer menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

“Kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,” bebernya.

Oleh karena itu, Chandra berpendapat, selama belum ada keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) maka KPK masih dapat memungkinkan berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer.

Terkait kapan perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, kata Chandra, hal ini dapat merujuk pada Undang-undang Peradilan Militer yaitu untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur dari segi “titik berat kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu.

“Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kerugian lebih banyak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,” tegasnya.

“Apabila titik berat kerugian ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada lebih banyak kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer,” tambahnya.

Chandra menilai, apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana titik beratnya merugikan “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak pidananya lebih banyak dari kalangan sipil, pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer.

“Selama kerugian yang ditimbulkan tidak merugikan kepentingan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari TNI, berlakulah prinsip perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *