RUU Kesehatan Mendorong Liberalisasi Kesehatan?
Mediaumat.id – Dasar pertimbangan dalam RUU Kesehatan yang terdapat penegasan secara jelas tanpa keraguan yaitu bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional, dinilai mendorong liberalisasi kesehatan
“Terdapat dua frasa yang dinilai mendorong liberalisasi kesehatan yaitu menciptakan kemandirian dan mendorong industri kesehatan,” ujar Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan kepada Mediaumat.id, Kamis (15/5/2023).
Mengutip pendapat Shaffer dalam bukunya yang berjudul Child Development, Chandra mengataka,n kemandirian adalah sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Oleh karena itu, jika berdasarkan definisi tersebut, Chandra mempertanyakan, apakah pemerintah bermaksud mendorong agar rakyatnya tidak bergantung kepada pemerintah dalam hal kesehatan dan mendorong agar rakyatnya agar berupaya sendiri untuk memperoleh fasilitas kesehatan? Apakah negara tidak masuk kategori berlepas diri dari urusan rakyatnya dengan menjauhkan peran negara dalam urusan pelayanan kesehatan dan cenderung menyerahkan pada mekanisme pasar?
Padahal, kata Chandra, kewajiban negara adalah menjamin kesehatan bagi setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1, UUD 1945 pasal 34 ayat 3; UU No. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Sedangkan BPJS tidak murni tanggung jawab negara karena masyarakat turut serta menanggung biaya kesehatan dengan cara iuran, masyarakat saling bahu-membahu atau gotong royong dengan mengumpulkan iuran bulanan termasuk rakyat miskin pun mesti iuran BPJS jika ingin mendapatkan fasilitas kesehatan,” ungkapnya.
Akan tetapi jika frasa industri kesehatan apabila dimaknai perlu dikembangkan oleh negara tanpa swastanisasi/privatisasi untuk mengurangi ketergantungan pada obat dan alat kesehatan impor, maka, menurut Chandra, ini sangat baik.
Namun, sanggah Chandra, jika dimaknai sebagai privatisasi/swastanisasi maka akan menjadi persoalan karena dikhawatirkan akan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Masyarakat seolah-olah berhadapan dengan pasar yang diasumsikan mempunyai tangan tak terlihat (invisible hands) dan akan menghasilkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi semua pihak.
Dengan kata lain, privatisasi yang bertujuan untuk efisiensi anggaran negara dapat berdampak negatif pada warga, bahkan menghasilkan perubahan sosial negatif yakni terfragmentasinya masyarakat oleh pasar sehingga membuat mereka semakin tidak berdaya.
“Potensi perubahan paradigma dari health care menjadi health industry dapat menghilangkan substansi utama dari pelayanan kesehatan. Semoga yang demikian tidak terjadi,” pungkasnya.[] Agung Sumartono