Hardiknas 2023, Siyasah Institute: Pendidikan Masih Suram

 Hardiknas 2023, Siyasah Institute: Pendidikan Masih Suram

Mediaumat.id – Memperingati Hari Pendidikan Nasional yang ke-64, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai, kondisi pendidikan Indonesia saat ini masih suram.

“Hari Pendidikan Nasional 2023, masih suram,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (2/5/2023).

Ia pun menyebutkan beberapa indikasinya. Pertama, minimnya pendidikan tinggi. Tidak bisa dipungkiri, pendidikan yang tinggi menjadi salah satu modal kemajuan suatu negara. Namun, saat ini hanya sekitar 6 persen penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.

Kedua, angka putus sekolah tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, angka putus sekolah di Indonesia mengalami kenaikan pada 2022. Kondisi tersebut terjadi di seluruh jenjang pendidikan, baik sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

“Secara rinci, angka putus sekolah di jenjang SD sebesar 0,13 persen. Di jenjang SMP, angka putus sekolah sebesar 1,06 persen. Sementara, angka putus sekolah di jenjang SMA sebesar 1,38 persen,” bebernya.

Ketiga, sekolah lalu menganggur. “Apakah setelah lulus pendidikan kemudian mereka mendapatkan pekerjaan? Sayangnya tidak semudah itu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8.746.008 orang pada Februari 2021. Jumlahnya meningkat 26,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” terangnya

Iwan mengatakan, mayoritas pengangguran terbuka Indonesia adalah tamatan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah umum (SMU). Jumlahnya mencapai 2.305.093 orang hingga Februari 2021.

“Sementara itu, SLTA kejuruan atau sekolah menengah kejuruan (SMK) mengikuti dengan 2.089.137 orang menganggur. Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tepat di bawahnya sebab masih ada 1.515.089 orang tak bekerja,” ujarnya.

“Sedangkan jumlah sarjana yang menganggur menurut BPS mencapai 1 juta orang. Lulusan sarjana dan diploma mendominasi jumlah pengangguran hingga 12 persen di Indonesia.  Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI, Ida Fauziah, mengatakan jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi ini karena tidak adanya link and match dengan pasar kerja,” tambahnya.

Keempat, krisis moral pelajar dan mahasiswa. Masalah dunia pendidikan bukan soal angka putus sekolah, rendahnya tingkat pendidikan, angka pengangguran dan kualitas infrastruktur, tapi juga output yang dihasilkan. Salah satu parameternya adalah moralitas para pelajar dan mahasiswa.

“Untuk hal ini, lagi-lagi masyarakat harus mengelus dada. Pasalnya, berbagai persoalan moralitas hingga kriminalitas dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa,” katanya.

Iwan menceritakan, beberapa waktu lalu di Cianjur seorang pelajar SMA membunuh kekasihnya yang hamil karena menuntut mereka menikah. Bukannya menikahi sang kekasih, remaja lelaki pelajar ini malah menghabisi nyawa kekasihnya.

“Di Sukabumi, tiga pelajar SMP membacok seorang pelajar SD. Kejamnya, kejadian itu dilakukan sambil direkam. Kejahatan dengan kekerasan berupa pembacokan juga terjadi di beberapa daerah seperti Bogor, Bandung, atau di Jogja yang dikenal dengan aksi klitih. Pelakunya rata-rata pelajar, dan seringkali mereka lakukan random/acak tanpa memilih korban,” ujarnya.

Kasus seks di luar nikah, menurut Iwan, juga marak. Masyarakat dihebohkan dengan ramainya ribuan pelajar minta dispensasi nikah saat sekolah. Rata-rata pemohon mengajukannya dikarenakan sudah hamil diluar pernikahan.  Hal ini terjadi di banyak kota seperti Malang, Tanggerang, Bogor, Yogyakarta, dan lain sebagainya.

“Virus LGBT juga marak di kalangan pelajar. Beberapa waktu lalu ditemukan komunitas LGBT di media sosial di tingkat pelajar. Belum lagi pelajar dan mahasiswa yang berprofesi sebagai gigolo, gay, dan lesbian, atau simpanan, baik untuk kalangan straight maupun pelaku LGBT,” tambahnya.

“Kekerasan dan tindak penyimpangan seksual bukan saja terjadi di sekolah umum, tapi juga masuk di lingkungan pondok pesantren. Sejumlah tindak kekerasan antar santri yang mengakibatkan kematian beberapa kali terjadi. Seperti di Rembang, seorang santri tewas setelah jadi korban pembakaran oleh kakak kelasnya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *