Perbedaan Antara Nabi dan Rasul

 Perbedaan Antara Nabi dan Rasul

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I dalam kajian tentang Para Nabi dan Rasul halaman 130 sebagai berikut:

“Sayiduna Musa as adalah nabi sebab kepadanya diwahyukan syariat dan juga seorang rasul sebab syariat yang diwahyukan kepadanya adalah risalah miliknya. Sayiduna Harun adalah seorang nabi sebab kepadanya diwahyukan syariat, tetapi bukan seorang rasul sebab syariat yang diwahyukan kepadanya untuk dia sampaikan kepada yang lain adalah bukan risalah miliknya melainkan adalah risalah milik Musa as”.

Bagaimana kita mengaitkan antara apa yang disebutkan di buku asy-Syakhshiyyah dengan apa yang ditetapkan di al-Kitab, Allah SWT berfirman:

﴿فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ

“Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu” (TQS Thaha [20]: 47).

﴿فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 16).

Yang mana ada di semua tafsir bahwa beliau adalah rasul dan nabi?

[Om Qutibah Odah]

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal perbedaan antara nabi dan rasul pada beberapa pendapat yang beragam, kami sebutkan sebagiannya:

1- Nabi adalah orang yang kepadanya diwahyukan taklif dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, dan jika diperintahkan untuk menyampaikannya maka dia adalah rasul … Dinyatakan di Fathu al-Bârî oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

[Fathu al-Bârî oleh Ibnu Hajar (11/112)

… lafal an-nubuwwah dan ar-risâlah berbeda dalam asal penetapan bahasa. An-nubuwwah dari an-naba` yaitu al-khabar (informasi). Jadi nabi dalam ‘urf adalah orang yang diberi informasi dari sisi Allah dengan perintah yang mengharuskan taklif, dan jika diperintahkan menyampaikannya kepada orang lain maka dia adalah rasul, dan jika tidak, maka dia nabi bukan rasul. Atas dasar ini, setiap rasul adalah nabi dan tidak sebaliknya. Nabi dan rasul berserikat dalam perkara yang umum yaitu an-naba` (informasi) dan berbeda dalam risalah. Jika Anda katakan “fulân rasûl” maka itu mengandung bahwa dia adalah nabi dan rasul. Dan jika Anda katakan “fulân nabiyyun” maka tidak meniscayakan dia adalah rasul …].

2- Bahwa rasul adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan ada kitab bersamanya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu secara mutlak. Badruddin al-‘Ayni menyatakan di al-Binâyah Syarhu al-Hidâyah sebagai berikut: [al-Binâyah Syarhu al-Hidâyah (1/116)

“… kemudian, perbedaan antara rasul dan nabi: bahwa rasul adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan ada kitab bersamanya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu secara mutlak baik disertai dengan kitab atau tidak disertai dengan kitab seperti Yusya’ as. Jadi nabi itu lebih umum dari rasul: demikian dikatakan oleh syaikh Qiwamuddin al-Ataraziy di dalam Syarhu-nya, dan beliau dalam hal itu mengikuti pengarang an-Nihâyah yang mana ia berkata: “rasul adalah nabi yang ada kitab bersamanya, seperti Musa as. Sedangkan nabi adalah orang yang diberi informasi dari Allah meski tidak ada kitab bersamanya seperti Yusya’ as. Dari sini ia berkata, Nabi as bersabda:

«عُلَمَاءُ أُمَّتِي كَأَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ»

“Ulama umatku seperti para nabi Bani Israil”.

Dan beliau tidak bersabda: “seperti para rasul Bani Israil”. Keduanya diikuti oleh asy-syaikh Akmaluddin rahimahullah dan perbedaan di antara keduanya demikian …].

3- Bahwa rasul adalah orang yang kepadanya diwahyukan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Adapun nabi adalah orang yang kepadanya diwahyukan syariat rasul-rasul lainnya dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Jadi rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariat dirinya sendiri, dan nabi adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariat orang lain”. Dan ini adalah pendapat yang kami pilih dan telah kami jelaskan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I halaman 35-38 file word:

[Para Nabi dan Rasul: Nabi dan rasul adalah dua lafal yang berbeda, tetapi keduanya bertemu pada diwahyukannya syariat kepada keduanya. Dan perbedaan antara keduanya adalah bahwa rasul adalah orang yang kepadanya diwahyukan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan nabi adalah orang yang kepadanya diwahyukan syariat rasul selain dia dan dia diperintahkan untuk menyampaikannya. Jadi rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariat dirinya sendiri, sedangkan nabi adalah orang yang diperintahkan menyampaikan syariat orang lain. Qadhi al-Baydhawi berkata di dalam tafsir firman Allah SWT:

﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi” (TQS al-Hajj [22]: 52).

“Rasul adalah orang yang Allah utus dengan syariat baru yang dia seru manusia kepadanya. Dan nabi adalah orang yang Allah utus untuk meneguhkan syariat sebelumnya”. Jadi sayiduna Musa adalah seorang nabi sebab kepadanya diwahyukan syariat, dan sekaligus seorang rasul sebab syariat yang diwahyukan kepadanya adalah risalah miliknya. Dan sayiduna Harun adalah seorang nabi sebab kepadannya diwahyukan syariat, tetapi ia bukan seorang rasul sebab syariat yang diwahyukan kepadanya untuk disampaikan kepada orang lain adalah bukan risalah miliknya melainkan adalah risalah milik Musa. Dan sayiduna Muhammad adalah seorang nabi sebab kepada beliau diwahyukan syariat dan sekaligus seorang rasul sebab syariat yang diwahyukan kepada beliau adalah risalah milik beliau…].

Pendapat ini adalah yang lebih dalam dan lebih tepat (shawâb) … Dan hadis-hadis Nabi saw menjelaskan realita nabi dan perbedaan antara nabi dan rasul … Misalnya, di dalam hadis muttafaq ‘alayhi dari Abu Hazim, ia berkata: aku duduk mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun dan aku mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw, beliau bersabda:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ؛ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dahulu Abni Israil diurusi oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah dan mereka banyak”. Mereka berkata: “lalu apa yang Anda perintahkan?” Beliau bersabda: “penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama, berilah mereka hak mereka karena Allah akan menanyai mereka atas apa yang mereka diminta memeliharanya”.

Dan jelas dari hadis ini bahwa para nabi Bani Israil mengurusi urusan mereka. Yang demikian itu dengan syariat Musa as sebagaimana yang telah diketahui dan sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadis itu sendiri yang mana hadis itu menyerupakan tabiat aktifitas para khalifah dengan aktifitas para nabi Bani Israil, yakni dari sisi pemeliharaan rakyat. Jadi sebagaimana bahwa para nabi Bani Israil, mereka mengurusi manusia dengan syariat Musa as, maka demikian juga para khalifah mengurusi urusan kaum Muslim dengan syariat Muhammad saw … Dan ini berarti bahwa para nabi Bani Israil tidak membawa syariat baru tetapi mereka mengikuti syariat Musa as. Jadi hadis ini menunjukkan bahwa nabi adalah orang yang diberi wahyu dan diperintahkan menyampaikannya kepada manusia, tetapi tidak menyampaikan syariat baru melainkan menyampaikan syariat rasul terdahulu … Dan dari yang demikian itu juga dipahami baaw rasul adalah orang yang membawa syariat baru yang mungkin diikuti oleh para nabi yang datang sesudahnya, sebagaimana kondisi pada para nabi Bani Israil kepada Musa as … Jadi hadis yang diisyaratkan di atas termasuk dalil atas hakikat perbedaan antara nabi dan rasul.

Kedua: realita sayiduna Harun as:

1- Sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam teks kutipan di atas dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, kami katakan: [sayiduna Musa adalah seorang nabi karena kepadanya diwahyukan syariat dan juga seorang rasul karena syariat yang disyariatkan kepadanya merupakan risalah miliknya. Dan sayiduna Harun adalah seorang nabi karena kepadanya diwahyukan syariat tetapi ia bukan seorang rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya untuk ia sampaikan kepada yang lain adalah bukan risalah miliknya melainkan risalah milik Musa]. Artinya, kami berdasarkan definisi yang rajih menurut kami untuk rasul dan nabi, kami putuskan bahwa Harun as adalah seorang nabi dan bukan seorang rasul dengan mafhum ini, sebab Harun as dalam perkara syariat adalah mengikuti Musa as. Dan nas-nas syariah bersaksi dengan yang demikian, sebagaimana yang dijelaskan di bawah.

2- Berkaitan dengan dua ayat mulia yang Anda sebutkan di pertanyaan maka kita telaah tafsirnya dengan ringkas dari beberapa buku tafsir:

a- Tafsîr an-Nasafî (2/297 dengan penomoran syamilah secara otomatis).

Firman Allah ﴿فَأْتِيَاهُ﴾ –“Maka datanglah kamu berdua kepadanya- yakni Fir’aun ﴿فَقُولا إِنَّا رَسُولاَ رَبّكَ﴾  – katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu”– kepadamu … maka datangi dia oleh kamu berdua dan tunaikanlah risalah dan katakan oleh kamu berdua kepadanya apa yang diperintahkan kepada kamu berdua. ﴿قَالَ فَمَن رَّبُّكُمَا يا موسى Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?”– Fir’aun berbicara kepada keduanya kemudian menyeru salah satu dari keduanya karena Musa adalah yang pokok dalam kenabian dan Harun mengikutinya …].

Dan juga dinyatakan di Tafsîr an-Nasafî (2/464 dengan penomoran syamilah secara otomatis)

Firman Allah ﴿فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ –“Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 16)- lafal rasûl tidak dinyatakan secara mutsanna sebagaimana dalam firman Allah ﴿إِنَّا رَسُولاَ رَبّكَ﴾ – kami berdua adalah utusan Tuhanmu-. Sebab ar-rasûl kadang dengan makna al-mursal (yang diutus) dan kadang dengan makna ar-risâlah, jadi dijadikan di sana dengan makna al-mursal sehingga tidak harus dinyatakan sebagai isim dua (mutsanna), dan di sini dijadikan dengan makna ar-risâlah sehingga sama dalam penyifatan dengannya antara satu, dua dan jamak; atau karena keduanya sama di atas satu syariat seolah-olah satu rasul; atau diinginkan bahwa masing-masing dari kami ﴿أَنْ أَرْسِلْ﴾ -agar kamu lepaskan- dengan makna yakni arsil -lepaskan- karena ar-rasûl mengandung makna al-irsâl ­-pelepasan-, dan di dalamnya makna ucapan ﴿مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ﴾ – Bani Israil (pergi) beserta kami -, yang dimaksudkan “lepaskan mereka pergi bersama kami ke Palestina”, dan Palestina adalah tempat tinggal keduanya lalu keduanya mendatangi pintunya dan tidak diizinkan untuk keduanya selama satu tahun sampai penjaga pintu berkata: “di sini ada orang yang mengaku bahwa dia utusan Tuhan semesata alam, maka Fir’aun berkata: “izinkan dia, supaya kita bisa menertawakannya. Maka keduanya menunaikan risalah kepada Fir’aun dan Fir’aun mengenali Musa …].

b- Tafsîr al-Qurthubî (13/93)

… firman Allah SWT:

﴿فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 16).

Abu Ubaidah berkata: “Rasul dengan makna arrisâlah, dan takdir atas yang demikian “sesungguhnya kami memiliki risalah Tuhan semesta alam… Abu Ubaid berkata: boleh jadi ar-rasûl dalam makna dua dan jamak, orang arab berkata: “hadzâ rasûliy wa wakîliy wa hadzâni rasûliy wa wakîliy wa ha`ulâ`i rasûliy wa wakîliy -ini utusanku dan wakilku, dan dua orang ini utusanku dan wakilku dan mereka utusanku dan wakilku-. Dan darinya firman Allah SWT: ﴿فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي﴾ –karena sesunguhnya mereka adalah musuh bagiku (TQS asy-Syu’ara’ [26]: 77)-. Dan dikatakan: maknanya adalah bahwa masing-masing dari kami adalah rasul Tuhan semesta alam].

c- Dan dengan mengkaji dua ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang di dalamnya disebutkan Harun as dengan lafal al-irsâl dan ar-risâlah, menjadi jelas bahwa penyebutan beliau di dalam ayat-ayat itu dengan lafal al-irsâl adalah selalu bersama Musa as yakni mengikuti Musa. Misalnya firman Allah SWT:

﴿ثُمَّ أَرْسَلْنَا مُوسَى وَأَخَاهُ هَارُونَ بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ

“Kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda (Kebesaran) Kami, dan bukti yang nyata” (TQS al-Mu`minun [23]: 45).

﴿وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku” (TQS al-Qashshash [28]: 34).

﴿وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * قَوْمَ فِرْعَوْنَ أَلَا يَتَّقُونَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ * وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِي فَأَرْسِلْ إِلَى هَارُونَ * وَلَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ * قَالَ كَلَّا فَاذْهَبَا بِآيَاتِنَا إِنَّا مَعَكُمْ مُسْتَمِعُونَ * فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولَا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَنْ أَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zalim itu, (*) (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?” (*) Berkata Musa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. (*) Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. (*) Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. (*) Allah berfirman: “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan), (*) Maka datanglah kamu berdua kepada Fir’aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, (*) lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 10-17).

﴿اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي * اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى * فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى * قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى * قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى * فَأْتِيَاهُ فَقُولَا إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى * إِنَّا قَدْ أُوحِيَ إِلَيْنَا أَنَّ الْعَذَابَ عَلَى مَنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى

“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; (*) Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; (*) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (*) Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas”. (*) Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. (*) Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk. (*) Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling” (TQS Thaha [20]: 42-48).

Jelas dari nas-nas ini semuanya bahwa Harun as tidak menyendiri dengan sifat ar-risâlah, tetapi pembicaraan tentangnya dengan sifat ini adalah tentang Musa as dan tentang Harun as secara bersama. Artinya, bahwa Harun as tidak independen dan menyendiri dengan sifat ar-risâlah.

d- Tetapi ketika datang pembicaraan di dalam al-Quran al-Karim tentang Harun as secara sendiri independen dari sifat tersebut maka Harun disebut nabi dan tidak disebut rasul. Ini pada waktu yang al-Quran menetapkan untuk Musa as sifat rasul dan nabi sekaligus. Allah SWT berfirman:

﴿وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصاً وَكَانَ رَسُولاً نَبِيّاً * وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيّاً * وَوَهَبْنَا لَهُ مِنْ رَحْمَتِنَا أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al-Kitab (al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi. (*) Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami). (*) Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi(TQS Maryam [19]: 51-53).

Jadi Musa as, Allah berfirman tentangnya bahwa dia ﴿رَسُولاً نَبِيّاً﴾ –seorang rasul dan seorang nabi-. Adapun Harun as setelah itu secara langsung maka al-Quran tidak menetapkan untuknya sifat ar-risâlah tetapi cukup mensifatinya dengan kenabian ﴿أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيّاً﴾ – yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi-. Ini menegaskan pemahaman yang menjadi pendapat kami bahwa Musa as adalah seorang rasul dan seorang nabi karena syariat baru yang dikirimkan untuknya dan diperintahkan untuk ia sampaikan. Adapun Harun as maka ia adalah seorang nabi dan bukan seorang rasul karena ia mengikuti Musa as dan diperintahkan untuk menyampaikan risalah Musa as dan syariatnya tanpa ia independen dengan syariat baru. Dinyatakan dalam tafsir ayat ini di Tafsîr Ibni Katsîr sebagai berikut:

Tafsîr Ibni Katsîr (5/237)

… Ketika Allah SWT menyebutkan Ibrahim al-khalîl dan memujinya, Allah meng’athafkan dengan menyebutkan Musa al-kalîm, maka Allah berfirman:

﴿وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al-Kitab (al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih” (TQS Maryam [19]: 51.

Dan ﴿وَكَانَ رَسُولا نَبِيّاً﴾ –dan dia seorang rasul dan seorang nabi-. Dihimpun untuknya dua sifat. Musa termasuk rasul senior ulu al-‘azmi yang lima orang, yaitu: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka dan kepada semua para nabi … Dan firman Allah:

﴿وَوَهَبْنَا لَهُ مِنْ رَحْمَتِنَا أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيّاً

“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi” (TQS Maryam [19]: 53).

Yakni, dan kami jawab permintaannya dan permohonannya pada saudaranya, maka kami jadikan dia (Harun) sebagai seorang nabi. Sebagaimana Allah berfirman di ayat yang lain:

﴿وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku” (TQS al-Qashshash [28]: 34).

Dan Allah berfirman:

﴿قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa” (TQS Thaha [20]: 36).

Dan Allah berfirman:

﴿فَأَرْسِلْ إِلَى هَارُونَ * وَلَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ

“Maka utuslah (Jibril) kepada Harun (*) Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 13-14).

Karena itu sebagian ulama salaf berkata: tidak ada syafaat seseorang di dunia yang lebih agung dari syafaat Musa pada Harun agar menjadi seorang nabi. Allah SWT berfirman:

﴿وَوَهَبْنَا لَهُ مِنْ رَحْمَتِنَا أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيّاً

“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi” (TQS Maryam [19]: 53).

Ibnu Jarir berkata: “telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Dawud dari Ikrimah, ia berkata: Ibnu ‘Abbas berkata: firman Allah:

﴿وَوَهَبْنَا لَهُ مِنْ رَحْمَتِنَا أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيّاً

“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi” (TQS Maryam [19]: 53).

Ia berkata: Harun lebih besar dari Musa, tetapi yang diinginkan: anugerahkan kenabian kepadanya].

3- Dari apa yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa sesuai definisi yang kami adopsi untuk nabi dan rasul maka Musa as adalah nabi karena kepadanya diwahyukan syariat untuk dia sampaikan dan juga seorang rasul karena kepadanya diwahyukan syariat miliknya. Adapun Harun as, ia adalah seorang nabi karena kepadanya diwahyukan syariat, tetapi ia bukan rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya untuk dia sampikan bnukan syariat miliknya tetapi adalah syariat milik saudaranya yakni Musa as.

Ini yang kami rajihkan dalam masalah ini dan itu merupakan pendapat mutabbanat di kita, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

12 Syawal 1444 H

02 Mei 2023 M

 

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/88622.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/788892249464813

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *