Tempatkan Perempuan di Shaf Laki-Laki, Panji Gumilang Lebih Hormati Istri Ketimbang Hukum Islam?
Mediaumat.id – Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun Indramayu, Jawa Barat, Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, dinilai lebih menghormati istrinya ketimbang hukum Islam.
“Tampaknya pimpinan Al-Zaytun itu lebih menghormati istrinya daripada menghormati hukum Islam,” ujar Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi dalam Kajian Fikih Masjid: Hukum Shalat Ied Kontroversial, Selasa (2/5/2023) di kanal YouTube Real Masjid 2.0.
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, pimpinan ponpes tersebut menempatkan seorang perempuan yang ternyata istrinya, di dalam shaf laki-laki pada pelaksanaan shalat Idul Fitri tempo hari.
Padahal, sambung Kiai Shiddiq, syariat Islam telah dengan tegas mengharamkan ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa dasar yang memang dibolehkan.
Artinya, secara umum hukum ikhtilat adalah haram kecuali terdapat dalil syariah khusus yang membolehkan. Semisal, aktivitas jual beli, menuntut ilmu, berobat, seperti termaktub di dalam kitab Al-Ikhtilath Baina ar-Rijal wa an-Nisaa`, hlm. 7, karya Imam Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani.
Untuk dipahami pula, tambah Kiai Shiddiq, suatu perbuatan bisa dikatakan ikhtilat, apabila memenuhi dua unsur sekaligus, yaitu adanya pertemuan (ijtima’), dan interaksi (ittishal) antara laki-laki dan perempuan di satu tempat.
Sah, Tetapi…
Kendati demikian, secara umum shalat tersebut sah selama memenuhi segala rukun dan syarat shalat. “Shalat itu sah atau tidak sah, itu tidak dilihat atau tidak ada hubungannya dengan keberadaan wanita di shaf laki-laki,” terangnya.
Tetapi pada saat yang sama, papar Kiai Shiddiq, mereka telah melakukan keharaman. “Pada saat yang sama karena di shaf laki-laki itu ada perempuannya, nah di situlah ada keharaman atau dosa yang mereka lakukan,” imbuhnya.
Sehingga dasar yang dipakai Panji Gumilang yaitu untuk menghormati perempuan, hanyalah alasan yang bersifat akal, bukan syar’iyah. “Kalau kita bicara hukum Islam, alasan atau dalil itu harus bersifat syar’iyah atau syariah, yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Tidak boleh bersumber kepada keinginan kita sendiri,” tegas Kiai Shiddiq.
Penyimpangan Lain
Ternyata tak hanya penyimpangan ikhtilat, yang terjadi dalam pelaksanaan shalat tersebut. “Selain persoalan ikhtilat ini, ada penyimpangan syariah yang lain,” tutur Kiai Shiddiq.
Di antaranya, terdapat jarak yang sangat longgar antar jemaah, yang menurut Kiai Shiddiq tidaklah tepat. Diketahui, pimpinan Ponpes yang menyebut dirinya Syekh Panji mengatakan kala itu tengah mengamalkan QS al-Mujadilah ayat sebelas, tentang perintah melapangkan majelis.
Padahal, asbabunnuzul ayat ini, kata Kiai Shiddiq menjelaskan, berkenaan dengan melapangkan majelis di luar shalat seperti majelis zikir atau majelis ilmu lainnya.
Terlebih terdapat hadits sahih yang memerintahkan agar merapatkan shaf shalat seperti diriwayatkan Imam Abu Dawud, no. 666, dan Ahmad no. 5724, yang artinya:
‘Luruskanlah shaf (barisan), dan sejajarkanlah pundak-pundak kalian, tutuplah barisan yang lowong, dan bersikap lunaklah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan jangan biarkan barisan yang lowong untuk dimasuki setan. Dan barang siapa menyambung barisan shalat, Allah akan menjalin hubungan dengannya. Sebaliknya barang siapa memutuskan barisan shalat, Allah akan memutuskan hubungan dengannya.’
Penyimpangan berikutnya, meletakkan kursi di dalam masjid. “Dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri di Al-Zaytun tersebut, juga jelas sekali ada kursi-kursi yang diletakkan secara teratur di dalam masjid,” bebernya.
Ia memandang, meletakkan kursi di tempat ibadah adalah kebiasaan kaum kafir, khususnya Nasrani, sebagai sarana agar jemaah yang hadir dapat lebih nyaman mendengar khotbah.
“Kaum Nasrani biasa meletakkan kursi-kursi, baik kursi yang memanjang maupun kursi-kursi satuan (bukan memanjang), di dalam tempat ibadah mereka,” ulasnya, dengan menampilkan gambar gereja dan katedral yang memang di dalamnya tertata kursi dimaksud.
Tak ayal, meletakkan kursi di masjid seperti itu, dianggapnya sebagai bentuk tasyabbuh bil kuffar, atau menyerupai kaum kafir yang hukumnya haram. “Kecuali bagi yang sakit. Dia ketika shalat tidak kuat berdiri, itu dia boleh duduk menggunakan kursi,” sahutnya.
Pun demikian dengan isi khotbah yang menurut Kiai Shiddiq tak pas, sebab mengajarkan sikap yang justru pro kepada entitas penjajah Yahudi.
Dilansir dari situs republika.co.id, Selasa (25/4/2023), Profesor AS Panji Gumilang tampak menginginkan ada hubungan diplomatik antara Indonesia dengan entitas penjajah Yahudi. “Israel tidak sedang menjajah Palestina, tapi hanya membagi tanah Palestina menjadi dua wilayah,” demikian kata Panji saat itu.
Sementara, kata Kiai Shiddiq, dalam sebuah kaidah fikih disebutkan, ‘Tidak boleh seorang pun melakukan tasharruf (perbuatan hukum seperti memanfaatkan, menjual, membagikan, dsb.) terhadap milik orang lain tanpa seizin pemiliknya’ (Muhammad Mustafa az-Zuhaili, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 551).
Jelaslah, kembali Kiai Shiddiq menegaskan, entitas penjajah Yahudi, Amerika Serikat atau siapa pun tidak punya hak untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua negara.
Bahkan ini sebenarnya bukanlah membagi, tetapi merampas. “Tanah Palestina itu bukan miliknya. Itu namanya merampas, wong bukan miliknya kok dibagi,” pungkasnya, seraya menyebut berbagai penyimpangan yang terjadi di ponpes ini berbahaya baik secara ibadah, lebih-lebih politik.[] Zainul Krian