Penembakan Massal Terjadi (Lagi) di AS, Siyasah Institute: Akibat Kerakusan dan Lobi Produsen Senjata
Mediaumat.id – Penembakan massal yang sering terjadi di AS, terbaru dalam kasus penembakan massal pesta ulang tahun di Alabama yang tewaskan empat orang, dinilai Direktur Siyasah Institute Iwan Januar akibat kerakusan dan lobi produsen senjata. “Kerakusan dan lobi produsen senjata,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (17/4/2023)
Menurutnya, walau sudah berkali-kali terjadi penembakan massal, tapi pemerintah AS tetap tidak melakukan pelarangan kepemilikan senjata. Bahkan pembatasan dan pengetatan pun tidak dilakukan.
Padahal, kata Iwan, di AS tingkat pembunuhan atau pembunuhan massal dengan menggunakan senpi adalah yang tertinggi di antara negara-negara maju. “Lebih dari 11.000 orang di AS tewas dibunuh dengan menggunakan senjata api pada 2016. Jumlah tersebut mencapai dua-pertiga dari keseluruhan pembunuhan,” ujarnya.
Iwan mengatakan, AS sejak tahun 1788 mengizinkan warganya memiliki senjata api sesuai amanat Amandemen Kedua. Tujuan peraturan itu adalah untuk memberdayakan milisi di negara bagian yang dulu berjasa mengusir Inggris dari tanah Amerika.
Aturan itu, beber Iwan, menghilangkan kewenangan untuk melucuti senjata warga negara yang ingin membela diri. Sebagian rakyat AS yang mendukung kepemilikan senjata sipil merasa amandemen kedua konstitusi AS berhasil menegaskan hak-hak mereka.
“Konstitusi ini diperkuat dengan kehadiran asosiasi kepemilikan senjata terbesar di AS, National Riffle Association (NRA). Kelompok ini didirikan pada tahun 1871 oleh dua veteran Perang Saudara AS. Tujuannya sebagai kelompok rekreasi untuk ‘mempromosikan dan mendorong aktivitas menembak secara ilmiah’,” jelasnya.
Menurutnya, NRA aktif melakukan lobi politik untuk menentang pelarangan atau pembatasan kepemilikan senjata, walaupun mereka mendukung dua upaya kontrol dan pengawasan senjata, yaitu UU Senjata Api Nasional tahun 1934 dan UU Pengendalian Senjata tahun 1968.
Pada tahun 1975, lanjut Iwan, NRA mulai mencoba mempengaruhi kebijakan secara langsung melalui badan lobi yang mereka bentuk, yaitu Institute for Legislative Action. Dua tahun setelahnya, badan ini membentuk Komite Aksi Politik untuk menyalurkan dana kepada legislator.
“NRA gelontorkan dana besar untuk aktivitas mereka. Baik untuk kegiatan mereka maupun untuk lobi politik. Di tahun 2020, NRA menghabiskan anggaran sekitar US$250 juta atau Rp3,6 triliun per tahun. Angka ini terbesar dibandingkan gabungan anggaran semua kelompok advokasi pengendalian senjata di AS,” bebernya.
Dalam hal lobi, lanjut Iwan, resminya NRA melaporkan menggunakan sekitar US$3 juta – hampir Rp43 miliar — per tahun untuk mengatur kebijakan terkait hak kepemilikan senjata. Anggaran yang dihabiskan untuk melobi legislator pada tahun 2014 adalah US$3,3 juta atau Rp 48 miliar.
“Angka itu hanya pengeluaran yang tercatat untuk para pembuat undang-undang. Anggaran yang cukup besar mereka habiskan melalui Political Action Committee dan kontribusi independen, oleh karenanya jumlah pastinya sulit dilacak,” katanya.
Iwan mengungkap, NRA bisa jadi kelompok yang paling populer dalam lobi politik kepemilikan senjata. Tapi bukan mereka yang paling kuat dan paling besar gelontorkan anggaran untuk lobi politik. Ada The National Shooting Sports Foundation (NSSF) yang berpusat di Newton, Connecticut.
“Kelompok ini mengguyur Kongres dengan dana sebesar US$ 15.5 juta – lebih dari Rp 224 miliar — sejak tahun 2019, jauh di atas NRA,” terangnya.
Iwan menjelaskan, NSSF adalah representasi industri senjata api di AS, termasuk lebih dari 9500 pabrik, retail dan lapangan tembak. Kelompok ini punya dukungan kuat untuk akses senjata semi-otomatis, termasuk yang digunakan penembakan di Uvalde.
“Itu membuat NSSF menjadi kekuatan di Capitol Hill ketika anggota parlemen Demokrat berjuang untuk menyusun undang-undang kompromi tentang senjata yang mungkin diterima Partai Republik, setelah penembakan di sekolah massal Uvalde,” tambahnya.
Meskipun jumlah warga yang mendukung pembatasan senjata terus meningkat akibat berulangnya penembakan massal, tapi kata Iwan, kekuatan lobi ini jauh lebih kuat. Lobi, kedekatan dan uang membuat banyak anggota Kongres yang akhirnya meloloskan keserakahan mereka. Padahal, setiap saat nyawa warga AS terancam ‘orang gila’ yang bisa memuntahkan senjata semi-otomatis pada mereka, dimana saja dan kapan saja.
“Jangan lupa, beginilah demokrasi. Siapa saja bisa melobi eksekutif dan legislatif bahkan yudikatif untuk meloloskan kepentingan mereka. Ada yang sah secara hukum, namun banyak lobi dan kucuran uang yang tak terlacak,” jelasnya.
Jadi, beber Iwan, ketika ada yang mengatakan kalau hanya demokrasi di Indonesia yang bermasalah karena banyak pejabat terkena OTT dan dibui, itu keliru besar. Demokrasi di negara-negara besar seperti AS juga sarat dengan politik uang, hanya saja mereka lebih rapi memainkannya. “Sulit untuk dilacak,” paparnya.
Bahkan untuk suatu kebijakan yang membahayakan nyawa rakyat sendiri, menurut Iwan, eksekutif dan legislatif tega membela kepentingan kaum industrialis untuk menjadi kekuatan oligarki.
“Beginilah demokrasi yang menjamin kebebasan kepemilikan/bisnis dan kebebasan kepribadian seperti bersenjata. Negara bahkan tak bisa membatasi warganya memiliki senjata. Sad but true,” tandasnya
Pelajaran Penting
Iwan mengatakan, ada dua pelajaran penting dari kasus penembakan massal yang berulang kali terjadi.
Pertama, warga Amerika Serikat banyak mengalami persoalan sosial akut hingga depresi. “Rata-rata pelaku penembakan massal adalah pribadi yang punya persoalan kejiwaan, tertekan, depresi, korban bullying di lingkungan, broken home,” ujarnya.
Salvador Ramos, aktor penembakan massal di Uvalde, diceritakan oleh atasan dan rekan kerjanya di satu restoran cepat saji sebagai pribadi tertutup, kurang bersosialisasi, namun agresif/pemarah. Ia pernah mengancam seorang pegawai perempuan di tempat kerjanya.
“Ramos juga nampaknya bermasalah dengan keluarganya. Sebelum menembaki anak-anak SD, Ramos lebih dulu menembak neneknya di rumah. Kejadian itu ia ceritakan pada salah seorang temannya di media sosial, sebelum menyerang para pelajar SD,” tutur Iwan.
Balik ke belakang jauh ke bulan Mei 1998, Iwan mengungkap, ada seorang remaja usia 15 tahun bernama Kip Kinkel melakukan penembakan massal terhadap sejumlah pelajar di SMA Thurston High School di Springfield, Oregon, Amerika Serikat. Sebelum melakukan penyerangan di sekolah, Kinkel yang saat itu berusia 15 tahun terlebih dahulu menembak mati ayahnya yang sedang minum kopi. Lalu menembak ibunya di garasi setelah mengucapkan, “I love you, Mom.”
Lalu pada 21 Mei, beber Iwan, dengan menggunakan Ford Explorer ibunya ia berangkat ke sekolah menengah. Kinkel menyiapkan lima senjata; dua pisau berburu, senapan, pistol Glock 19 9×19 mm, dan pistol Ruger MK II kaliber .22. Dia membawa 1.127 butir amunisi. Kinkel pun mulai melakukan penembakan yang menghantam 37 siswa dan menewaskan dua orang, sebelum dibekuk sejumlah pelajar lain dan polisi.
“Kip Kinkel ternyata remaja yang bermasalah. Barbara Coloros dalam bukunya Stop Bullying menuliskan Kinkel adalah pelajar korban bully (perundungan) di sekolahnya,” ungkapnya.
Kedua, AS menghadapi peningkatan rasisme dan diskriminasi. Sebagian kasus penembakan massal dilatarbelakangi politik dan ideologi, seperti rasisme dan diskriminasi.
“Serangan ke sebuah supermarket di Buffalo, New York dan Gereja Presbiterian Jenewa di Laguna Woods, yang menewaskan 10 orang warga kulit hitam didasari rasisme. Pelaku serangan, Payton Gendron 18 tahun pendukung supremasi kulit putih. Ia sudah merilis manifesto 180 halaman yang merinci pandangan rasis dan anti-Semitnya,” ujarnya.
Liga Anti-Defamasi atau ADL pada tahun 2020 menyebutkan telah terjadi peningkatan propaganda rasisme menjadi dua kali lipat tahun lalu.
“Dalam laporan terbaru, liga anti-kebencian itu mencatat sebanyak 2.713 kasus kebencian terjadi tahun 2019. Hanya dalam 2 tahun terakhir, propaganda supremasi kulit putih di Amerika naik menjadi rata-rata 7 kasus dalam satu hari,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it